Mohon tunggu...
Ardy Milik
Ardy Milik Mohon Tunggu... Relawan - akrabi ruang dan waktu

KampungNTT (Komunitas Penulis Kompasiana Kupang-NTT)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Simpan Pokok Makan Bunga

26 April 2019   23:38 Diperbarui: 27 April 2019   10:32 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah simpan pokok makan bunga hidup tumbuh laris manis dalam dunia akuntasi, tabung menabung, koperasi, perbankan, dagang saham hingga termutakhir uang elektronik (bitcoin). 

Siapa sangka frasa ini berkembangan biak, lagi subur sabar dalam hidup keseharian yang paling pilu galau juga tawa canda. Subur karena terus dihidupi sebagian kecil anak manusia. Sabar sebab hadapi jenis manusia yang banyak maunya. Butuh ketelatenan tingkat dewa. 

Simpan Pokok Makan Bunga berarti mendapat keuntungan dari pokok modal yang terus menerus ditambah secara konstan. Simpanan Pokok; menyimpan uang pada lembaga keuangan tertentu sebagai modal pada lembaga keuangan tersebut selama nasabah tidak memutuskan untuk menarik kembali modalnya dari lembaga keuangan tempat ia menaruh harap akan mahar yang dibayar dari tabungan sampai membeli sebuah rumah di perumahan dengan mencicil.

Bunga berarti laba atau keuntungan dari akumulasi pokok per periode. Besaran bunga bunga diukur dari kesetian menjalani kisah tabung menabung setiap bulannya dengan cinta yang tetap utuh untuk menabung. 

Menurut saya, istilah simpan pokok makan bunga telah merangsek masuk dunia hidup paling riil dengan gesit mengejar gebetannya penuh keringat dan air mata, lagi patah arang karena upah tak cukup buat traktir maitua (bahasa Melayu Kupang artinya Pacar) makan seporsi nasi se'i (se'i, daging sapi atau babi dengan metode pengasapan khas Timor-NTT). Kami jadi satu dalam dua piring porsi nasi se'i. Apakah hati satu cinta, tak soal. Intinya bisa traktir. 

Menurut saya sesuai pengamalan pengamalan, simpan pokok makan bunga adalah bentuk dari suatu kebaikan yang akan menarik kebaikan lainnya. Melahirkan beragam bentuk kebaikan. 

Saling terhubung. Sambung menyambung menjadi satu. Sampai, saat sayang sayangnya kemudian pergi tinggalkan sakit hati. Berhasrat merokok, cuma tersisa punting-puntung rokok. Terjepit. Bingung. Tetiba malaikat penyelamat datang bawa pelepasan. 

Beberapa bukti riil pengamatan sekaligus pengalaman nyata-simpan pokok makan bunga akan saya tunjukan. Entah karna saling butuh. Mungkin karena tanggungjawab sebagai manusia paling berdosa sejagat hendak menebus dosanya. Atau, sama pengalamannya, hingga tergerak. Iba. Ulur tangan. Kaki melangkah. Tawar bantuan. Lepaskan masa lajang-lepaskan dahaga pailit-utang melilit leher terus dikejar penagih utang.

Demikian kisahnya;

Pertama, kehabisan bensin di tengah jalan. Sejak berhasil melewati proses panjang jatuh bangun mengejarmu. Berhasil kendarai sepeda motor. Sialnya, bagi sebagian kawula muda penganut praktek saku kritis. Bukanlah kemutlakan bahwa bensin motornya tetap terisi sepanjang nafas agar bisa sekota bersama kekasih dengan Honda Revo 110 CC. 

Kala kehabisan bensin di tengah jalan. Pundi pundi rupiah di dompet lusuh hanya pundi masa pra reformasi, atau cuma selembar Kapitan Patimura (pecahan kertas seribu rupiah).

Menggadai helmt, Kartu Tanda Penduduk yang proses pengurusannya berbulan bahkan bertahun bahkan sempat dikorupsi, sampai gadai gawai adalah kewajiban. Kalau tak mau ditinggalkan gebetan, setelah lama menunggu. Atau pacar diambil orang karena tak punya modal. 

Mungkin juga, lupa dompet atau gawai sementara harus menghadiri wawancara terakhir pekerjaan yang baru didapatkan setelah sogok sana sini, atau ada 'orang dalam' keluarga sahabat kenalan atau dengan idealisme membakar. Sebotol bensin itu nyawa.

Saat itu, kita akui bahwa pedagang kaki lima adalah manusia paling bermurah hati. Tanpa pandang kelas apalagi buluh. Musuhnya Polisi Pamong Praja yang cenderung main gusur sana sini. Lain halnya, para emak dan aba yang siap sedia 24 jam itu sering mematok harga dagangannya tergantung waktu; beda harga jualan malam dan siang.

Kedua, menolong atau ditolong pengendara motor saat lagi butuh tumpangan gratis. Tesis bahwa jalanan dunia keras, bisa dipatahkan argumennya ketika bersua haru biru kisah jalanan. Pada perjalanan sepulang konsultasi skripsi. Tengah hari bolong. Kering kerontang. Panas matahari buat didih. Keringat mengucur melalui sela sela rambut tebal-kaki tangan. Paduan suara kantung tengah merdu berkumandang. 

Tetiba, lewat di samping seorang pengendara kendaraan bermotor baik hati lagi lucu. Muka sangar hati bingar, tawarkan tumpangan. Mengantar sampai ke tujuan dengan selamat sentosa menyelamatkan salah satu anak manusia yang dilanda badai kelaparan. 

Sejak pagi hanya ditopang segelas kopi pahit sepahit hidupnya; skripsi yang terus diperbaiki dan diperbaiki lagi. Memang, lebih mudah menaklukan hati pujaan jati dari pada hati dosen pembimbing yang tak ada hati.

Ketiga, tersesat di daerah baru dan ditawari makanan minuman ala kadarnya. Ajibnya, muncul dalam meja jamuan luar biasa nikmatnya. Apalagi gratis. Ayam yang baru saja bertengger genapi mimpi buruknya semalam. Jadi santapan tamu tak dikenal. Begitulah kekerabatan. Perasaan senasib sepenanggungan. Hingga kini, masih hidup damai. Mengurat akar di pedesaan pedesaan di wilayah Nusa Tenggara Timur. 

Meski televisi sajikan sinetron yang membuat mama mama siap sedia bertaktah depan televisi. Geliat politik jadi santapan bapak bapak, friksi politis jadi cair ketika bertemu orang baru. Tamu adalah berkat. Tidak peduli, siapa-apa-partai, caleg atau presiden pilihanmu.

Keempat, berbagi hotspot seluler. Wujud kiamat masa kini: saat lagi seru serunya chatingan dengan pujaan hati yang mungkin akan berpindah hati, dengan gebetan yang lagi semangat 45 dikejar, atau kangen kangenan pada kekasih nun jauh di sana. Paketan data kritis. Sekarat.

Tanda centang satu pada aplikasi whatsapp, munculkan pertanyaan. Sedang apa? Bersama siapa? Berbuat apa? Demikian rentetan pertanyaan yang muncul. Kecamuk di dada. Teman yang berbagi paketan data seketika dinobatkan jadi sahabat terbaik. Puja pujian berhamburan. Sampai lupa memuji kekasih. Begitulah liku lika simpan pokok makan bunga. Berbagi. Kapan pun. Dimana pun. Itulah kata kuncinya. 

Dari istilah simpan pokok makan bunga, saya menarik pelajaran; Apa yang saya saya tabur hari ini. Mungkin kecil. Tak berfaedah. Lumrah. Garing. Tawar. Tiada menarik. Siapa sangka, dalam amuk badai kehidupan di hari lainnya. Benih yang saya taburkan beroleh upahnya melalui tangan orang lain. Apakah mereka tangan tangan tak kelihatan? Perpanjangan tangan dari tangan yang telah berjumpa dalam logika simpan pokok makan? Entahlah.

Satu yang pasti. Aku mencintaimu. Tanpa alasan. Alasannya aku mencintaimu. Demikian nazarku, Dian. Eh, maksudnya. Saya meyakini hukum emas tertua setua ius talionis-mata ganti mata, gigi ganti gigi-yang logikanya berbalik "jangan berbuat kepada orang lain, apa yang tidak kau kehendaki orang lain perbuat kepadamu." 

Maka, saya berbuat yang tidak saya kehendaki orang lain perbuat kepada saya bukan dengan tujuan supaya orang lain berbuat hal yang sama pada saya. Bukan. Bukan itu. Kamu tak kuat. Begitu juga saya. Mari kau dan aku jadi kita. Saya berbuat demikian, karena saya tau dan mau berbuat demikian. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun