Walikota sore hari pukul 16.05 WITA. Hujan rintik perlahan basahi Kota Karang. Aba Gorantokan, memasuki halaman tempat pertemuan Kompasianers Kupang di Fatululi-Kupang-NTT. Aba menempuh jarak sekitar 110 km dari Kota Soe, Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, untuk mengikuti pertemuan Kompasianers Kupang yang ke dua. Â Dalam pertemuan ini; Aba akan bertatap muka dengan teman-teman Kompasianers Kupang yang selama ini hanya bersua melalui media sosial.
Ya! Pada 23 Desember 2018, Kompasianers Kupang melangsungkan pertemuan ke dua dengan tema "Artikel Wisata yang Mantul (Mantap Betul)." Tempat pertemuan berlokasi di Jln. R.W. Mongisidi II, Pasir Panjang, Kelapa Lima, Kota Kupang NTT-atau lebih dikenal dengan sebutan Fatululi. Â
Sebelum mengikuti pertemuan ini, Ketua Komunitas Kompasianers Kupang memberikan tugas, sebagai syarat untuk mengikuti pertemuan ini: pertama, membaca tiga artikel bertema wisata yang sudah ditentukan, di antaranya:
- https://www.kompasiana.com/petrus_rabu/5c1b61d0bde5751e2d4676e2/melihat-hamparan-tanah-perjanjian-dari-puncak-gunung-nebo-di-yordania;
- https://www.kompasiana.com/nprih/5c19975812ae943bdc3e50f5/eksotisitas-betari-durga-di-candi-sambisari-yogyakarta;
- https://www.kompasiana.com/nprih/5c19975812ae943bdc3e50f5/eksotisitas-betari-durga-di-candi-sambisari-yogyakarta.
Kedua; temukan tiga kekuatan dari setiap artikel tersebut; Ketiga, temukan kelemahan dari ketiga artikel tersebut; Keempat, jelaskan tiga alasan, artikel mana yang paling disukai; Kelima, temukan tiga bentuk kalimat yang kurang tepat dari ketiga artikel tersebut; keenam; pilih satu paragraph dari setiap artikel tersebut dan parafrasing paragraf itu dengan struktur paragraf bentuk kalimat, dan diksi yang tepat; ketujuh, tentukan tiga paragraf yang tidak tepat (yang seharusnya dipenggal atau digabung) dari ketiga bacaan tersebut.
Tugas yang menantang. Memacu nalar. Menguras akal. Di tengah rintik hujan yang terus berguyuran diskusi sore berlangsung alot dan menarik. Tepat pukul 17.00 WITA, 6 anggota Kompasianers Kupang yang sempat hadir, yakni: Tilaria Padika, Arnold Adoe, Sayidati Hajar, Aba Gorantokan, Aryz Bara dan Ardy Milik mulai membahas artikel wisata itu satu per satu. Kopi Flores jadi bensin untuk otak. Pisang goreng memicu kata terus mengalir.
Menakar Teks
Dalam artikel Pertama, empat anggota Kompasianers sepakat bahwa artikel pertama dengan judul; https://www.kompasiana.com/petrus_rabu/5c1b61d0bde5751e2d4676e2/melihat-hamparan-tanah-perjanjian-dari-puncak-gunung-nebo-di-yordania- merupakan artikel yang menarik, mampu mendeskripsikan pengalaman ziarah rohaninya dengan baik, menggunakan gaya bertutur dalam menceritakan kisahnya dan memasukan unsur sejarah dalam penulisan, contohnya: Gereja Byzantium yang dibangun pada tahun 400 BC. "Pada abad ke VII, terjadi gempa dashyat menghancurkan gereja tersebut, lalu pada tahun 1933, pastor-pastor Fransiskan dari Italia membangun kembali gereja dan mengelolanya hingga saat ini."[1]
Artikel Kedua, https://www.kompasiana.com/nprih/5c19975812ae943bdc3e50f5/eksotisitas-betari-durga-di-candi-sambisari-yogyakarta; merupakan artikel yang kaya dengan pengetahuan tentang khazanah Hindu di Nusantara. Penulis berusaha mendeskripsikan sebuah situs Hindu Candi Sambisari di DI Yogyakarta dengan menggunakan beberapa pilihan kata yang tidak biasa digunakan, namun terdapat dalam Bahasa Indonesia. Dalam penulisannya, artikel ini mencoba memadatkan setiap kalimat hingga mengunakan diksi metafor. Akibatnya, beberapa kalimat menjadi rancu dan korelasi antar kata tidak padu. Misalnya, kalimat "Siaga melindungi wujud kasih pemeliharaan untuk keluarga terkasih"-"Keberadaan arca Betara Durga juga mencubit perhatian"-"Semakin menarik menguliknya jelang hari ibu."
Tilaria Padika berujar "pilihan kata dan pemadatan dalam Artikel ini, dapat diterima bila menuliskan prosa-puisi modern yang membolehkan pemadatan kata hingga tidak harus mengikuti beberapa tatanan bahasa Indonesia baku-tetapi dalam penulisan feature seperti ini akan menimbulkan kerancuan dan ketidakmampuan pembaca menyerap isi cerita. Untungnya, penulis mampu menempatkan foto sesuai deskripsinya sehingga pembaca terbantu untuk membayangkan deskripsi dalam artikel ini."
Artikel ketiga, https://www.kompasiana.com/nprih/5c19975812ae943bdc3e50f5/eksotisitas-betari-durga-di-candi-sambisari-yogyakarta. Artikel ini mampu menguraikan pengalaman kunjungannya dengan detil. Penulis mampu membahasakan pengamatannya di lapangan lalu menuangankannya dalam tulisan dengan cukup baik. Ada beberapa catatan, di antaranya: pada paragraf ke empat "Mereka mengambil dari tempat pengolahan ikan." Kalimat ini menjadi rancu karena tanpa keterangan apa yang diambil dari tempat pengolahan ikan tersebut.
Aba Gorantokan menilai "Artikel ini unik. Penulis mampu mengambil locus yang tidak familiar dan mampu menceritakannya dengan baik. Kekuatannya terdapat pada penggalan-penggalan kalimat dan kata yang padat dan kuat." "Artikel ini dapat menjadi contoh dalam penulisan feature" sambungnya.
Bagi calon Pendeta Aryz Bara, kalimat "Tapi begitulah nelayan. Hidup di atas ombak. Ini pilihan atau keterpaksaan ekonomi, nyatanya mereka masih melakoni" akan menjadi kekuatan deskriptif dan argumentatif yang kuat dalam tulisan ini jikalau penulis menghilangkan kata sambung 'tapi' dan melanjutkan penjelasan 'nyatanya mereka masih melakoni..."
Demikianlah beberapa catatan dalam pertemuan Kompasianers Kupang. Membedah karya. Bertukar pikiran. Saling mengisi. Pertemuan ini ditutup dengan kesepakatan untuk melakukan pertemuan rutin per tiga minggu sekali. Peserta yang hadir berpikir mereka sangat terbantu dalam proses kreatif menulis dengan adanya diskusi. Membakar asa untuk terus menulis. Menghentak nalar agar terus berpacu dalam karya.
Kompasianers Kupang
Kompasianers Kupang adalah sebuah komunitas kreatif dalam bidang tulis menulis pada laman Kompasiana.com. Komunitas ini berdiri bulan Oktober 2018. Sebagai komunitas yang baru tumbuh, akan mekar, terus berkembang, hingga mampu melebarkan sayap; anggota komunitas ini cukup aktif dalam menghasilkan tulisan-tulisan demi menanggapi situasi aktual atau pun membahasakan pengalaman yang dialami.
Kini, anggota Kompasianers Kupang berjumlah 15 orang. Anggota komunitas Kompasianers Kupang percaya bahwa menulis adalah bentuk pengabdian dan keberpihakan pada kehidupan sosial pada masa nanti, kini dan lalu. Bahwasanya setiap penulis memiliki tanggungjawab sosial terhadap kondisi dimana dia hidup. Diam sama dengan mati. Tidak bersuara adalah pengecut. Tugas penulis adalah menyuarakan yang tidak tersuarakan!
Anggota Kompasianers Kupang terdiri dari; Aktivis gerakan, Peneliti, Penulis, Akademisi dan Pegiat sosial. Dalam beberapa kegiatan sosial, Kompasianers Kupang cukup berkontribusi dalam menyukseskan kegiatan tersebut, seperti; berpartisipasi pada Malam Refleksi menjelang HUT NTT yang ke 60, 19 Desember 2018. Kompasianers Kupang turut menggerakan kegiatan tersebut, menghasilkan tulisan, memproduksi video hingga hadir pada acara puncak malam refleksi.
Melihat Perjalanan Penulisan
Menutup diskusi sore menjelang Natal, Kompasianers Kupang membaca karya Linda Christanty yang berjudul 'Continental Club' sebuah feature tentang pengalaman perjalanan menikmati musik dan sejarah di kota-kota selatan Amerika Serikat. Feature yang dalam dan menarik. Dapat mengajak pembaca untuk 'hadir' dan 'merasakan' pengalaman Linda Christanty tanpa harus berada di sana. Menampilkan unsur sejarah sebagai horizon pengetahuan yang membangun sejarah dunia. Sampai jumpa kawan pada pertemuan berikutnya. Pramoedya Ananta Toer mengatakan "Menulis adalah kerja untuk keabadian."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H