Ramainya berita pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law membuat masyarakat geger. Hal ini karena dalam rancangan undang-undang tersebut banyak merugikan para pekerja.Â
Mulai dari tenaga kerja asing, kontrak, upah, insentif, cuti dan lain sebagainya dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja.Â
Warganet marah dan geram, masalah ini ramai dibicarakan di dunia maya. Banyak yang memprotes keras pengesahan tersebut, karena dinilai tidak adil dan mengorbankan pekerja Indonesia hanya untuk mendapatkan segolontoran investasi dari pihak asing.Â
Jika melihat kejadian ini,  wajar saja masyarakat terutama pekerja industri  mengamuk dan menuntut keadilan. Mereka melawan pemerintah agar segera merubah keputusannya.Â
Dalam peristiwa ini, para aktivis pekerja buruh tidak akan diam dan tunduk pada keputusan yang telah dibuat oleh kekuasaan. Ya, Satu-satunya jalan melawan penindasan ini.Â
Lain halnya dengan Tukang Nasgor Keliling, ketika saya sedang berkeluh sambil membaca berita, Ia pun menjawab sembari memasak.
"Kejam emang pemerintah sekarang mas, tapi mereka ngelawan kayak preman barbar aja, menang rame, ngamuk gak karuan di Internet. Kayak udah mau kiamat aja. Untung saya bukan Buruh."
Saya tertawa tidak habis pikir. Memang tidak semua terkena dampaknya, dan dunia belum kiamat. Tapi apa dampak Omnibus Law terhadap pekerja yang "tidak terikat dengan negara"?Â
Ya, dalam hal ini, seperti Tukang Nasi Goreng, Abang-Abang Batagor, Cilok Pedagang Kaki Lima, Penjual Koran, Warung Lalapan, dsb. Mereka mungkin terheran-heran dengan tingkah laku di warganet yang mungkin diantaranya juga belum punya bekerja (atau karena ada tenaga kerja asing yang bikin geregetan karena kompetisi makin ketat)Â
Celetukan bapak nasgor membuat saya merenung. Mengingatkan saya dengan  Stoisisme.Â
Para pekerja Buruh diperlihatkan protes terhadap kekuasaan atau menuntut keadilan dan rasa kemanusiaan. Artinya, mereka membentuk perlawanan terhadap situasi politik yang merugikan kelompoknya (negatif).Â