Perilaku mengumpat sendiri bisa dikategorikan sebagai agresi verbal atau perundungan jika ditujukan (niat) untuk menyakiti orang lain. Terus, bagaimana jika orang tersebut (subjek dan objek) tidak merasa tersinggung?
Ya santai, berarti itu baik-baik saja. Namun perlu dilihat juga konteksnya, misal di sekolah ada sekumpulan siswa mengejek siswa lain meskipun siswa tersebut baik-baik saja, tetap perlu tindakan lebih lanjut, seperti mencari sumber masalah atau alasan dibalik terjadinya kejadian itu dan memberi nasihat ataupun hukuman. Tindakan preventifnya adalah membuat peraturan tertentu yang membuat siswa tidak menggunakan kata-kata kasar, dan pastinya itu sudah ada sejak dulu di sekolah-sekolah
Contoh yang lain, seorang supersivor pabrik mengeluh kepada para bawahannya, karena kerjanya tidak becus sehingga tidak bisa terselesaikan sesuai jadwal. Supersivor itu pun menggunakan kata-kata kasar untuk mengekspresikan kemarahannya kepada para bawahan. Jika para bawahannya sudah memahami dan terbiasa kalau si supersivor ketika marah sering mengumpat, ya itu normal dan tidak masalah.
Agresi verbal yang sama dengan perilaku agresi lain dilihat dari niat si pelaku dan perasaan sakit hati korban. Jika mengumpat dikategorikan sebagai agresi verbal ataupun verbal abuse, lebih mudah untuk meninjaunya dari kedua hal tersebut.
Namun permasalahannya adalah, mengumpat terkadang bukan sesuatu yang diniatkan dan secara spontan saja keluar. Tapi bagaimana sesuatu yang tidak diniatkan ini bisa menyinggung banyak orang? Sampai (Ehem) Lutfi Agizal terganggu dengan kata 'Anjay'.
Sepertinya terjadi bias moral, bahwa kita selalu melihat kejadian atau peristiwa terlalu sederhana. Terutama dalam hal ini adalah permasalahan interaksi sosial di masyarakat (yang itu pastinya relatif tapi juga kompleks). Pelarangan penggunaan kata umpatan seperti 'Anjay' tidak bisa menyelesaikan permasalahan etika dan sopan santun. Dan  bisa saja hal itu (etika dan sopan santun) yang diresahkan oleh Lutfi Agizal.
Mengumpat itu salah satu cara manusia dalam berekspresi. Tapi ketika mengekspresikannya harus tahu konteks dan tempat. Mengumpat itu sudah menjadi hal yang biasa dalam interaksi sosial dan bisa dimaknai dengan 'kejujuran' saat merespon suatu hal.Â
Jika permasalahan etika dan sopan santun bisa diselesaikan dengan menghapus suatu kata umpatan, hanya untuk membuat orang tidak tersinggung dan tersakiti hatinya, itu terlalu berlebihan.Â
Kata umpatan itu tidak akan ada habisnya, apalagi makna mengumpat itu adalah berkata 'kasar'. 'Kasar' ini menurut siapa? yang mendengar kan? yang merasa tersinggung kan?Â
Kenapa kok gak kata 'aduh','dasar', 'jelek', 'hitam', 'kotor', 'gemuk', 'kurus', 'putih'? Huffft. Bahkan menurut saya, nama buah saja itu bisa menyinggung lho jika dilabelkan ke orang lain. Jangankan itu, teriak saja, hanya teriak gak jelas ,orang bisa merasa sakit hati!Â
Mungkin ini adalah agenda terselubung, untuk merusak 'freedom of speech'. Bahaya banget, kalau semua kata umpatan itu dilarang dan yang menilai kata umpatan itu hanya orang yang tersinggung saja. Bisa merusak kebebasan berbicara. Maaf, bukan hanya berbicara, mengeluarkan suara saja mungkin bisa membuat orang hatinya tersayat-sayat!Â