Mohon tunggu...
Indra Ardiansyah
Indra Ardiansyah Mohon Tunggu... -

Hati manusia itu laksana sebuah parasut, jika tidak dibentangkan maka tak ada manfaatnya sama sekali.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan Panjang Menyebrangi Selat Jawa

3 Desember 2011   00:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:54 2796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bunyi Sirine kapal feri memecah di udara. Setelah bayar karcis penyebrangan Tanjung Perak-Kamal Madura, saya segera bergegas keluar dari ruang keberangkatan. Berlari-lari sambil berteriak kepada petugas agar kapalnya jangan landas sebelum saya masuk kapal. Hup...akhirnya saya bisa mendarat di kapal dengan sekali loncat. Syukurlah, saya tidak ketinggalan oleh kapal. Saya naik ke ruang tunggu yang berada di geladak atas. Penuh kerumunan orang yang sedang duduk, dan malangnya saya tidak mendapat bangku. Saya berjalan ke arah tepi kiri kapal. Dari atas geladak, saya bisa melihat Jembatan Suramadu di kejauhan tampak kokoh dan megah. Saya tidak jadi pulkam lewat suramadu karena tidak ada bus patas ke arah madura lewat jam 4 sore. Terpaksalah saya naik kapal feri, karena di dalam kapal feri saya akan bertemu bus-bus ekonomi yang akan membawa saya pulang ke rumah. Bus ekonomi memang tidak dibolehkan menyebrang lewat Jembatan Suramadu,beuh. Semilir angin sore menyibak rambut saya. Mata saya tak henti menyusuri ombak kecil yang berenang di lautan. sejenak saya hanyut dalam sebuah tamasya diri. Lautan memiliki kenangan tersendiri bagi saya.  Tiba-tiba bayangan 6 tahun silam melintas di kepala saya. Bayangan kenangan tentang Indahnya sebuah perjalanan panjang menyebarangi Selat Jawa. Indahnya arti kata mudik bagi orang perantauan. Mudik adalah tradisi yang sudah mendarah daging dalam nadi keluarga saya. Mama  asli Ngawi dan papa asli mojokerto. Semua jawa tulen. Saya sendiri bungsu dari dua bersaudara, lahir dan besar di madura sejak kecil. Mama, Papa dan kakak saya sekarang tinggal di Sumenep tepatnya di kalianget, sebuah desa kecil di ujung timur pulau madura. Bertemu kakek, nenek, saudara papa dan mama pada hari lebaran adalah waktu yang dirindukan saya. Tradisi sungkeman, bertemu dengan sepupu sepupu, dan jalan-jalan ke tempat wisata di kota kakek dan nenek saya tinggal. Dan yang membuat saya bersemangat menyambut lebaran  apalagi kalau bukan angpau dari kakek dan nenek . Perjalanan mudik selalu lancar. bebas hambatan dari rumah kami dengan naik bus. Mudik dari madura menuju jawa tidaklah seramai mudik dari arah jawa ke madura yang antreannya menuju kapal kadang sampai 1 km , terutama bagi mereka yang membawa mobil atau naik angkutan bus. Populasi Orang Madura yang hidup diperantauan jumlahnya cukup banyak. Kondisi tanah pulau yang tidak subur dan kurang produktif dengan barisan pegunungan kapur di sekelilingnya menyebabkan suku bangsa madura mencari nafkah di negeri orang adalah pilihan tepat memperbaiki taraf kehidupannya. So jangan heran begitu musim lebaran, pulau madura serasa ramai  dan sesak karena berdatangan orang-orang madura dari perantauan. Di bulan Agustus Tahun 2006 saya diterima tes yang mengharuskan saya kuliah di balikpapan. Saya bersyukur bisa bersekolah di balikpapan, karena saya bisa merasakan untuk pertama kalinya naik pesawat dan pertama kalinya saya menjejakkan kaki di tanah orang. Setelah selama dua bulan mengenyam ilmu di bangku kuliah, tibalah saatnya mudik Lebaran. Saat itu saya bingung hendak pulang dengan menggunakan transportasi apa. Ongkos pesawat begitu mahal untuk ukuran kantong saya yang anak kos-kosan saat itu. Apalagi mendekati lebaran, tiket pesawat melonjak gila-gilaan mencapai 7oo ribu. Saya mencoba mencari alternatif lain dengan mudik menggunakan kapal. Saya berhasil memperoleh tiket kapal KM Nggapulu yang tarifnya cuma sekitar 200 ribuan. Kapal milik PELNI ini kaya akan fasilitas dan sarana. Ada restoran KFC, Toko Donat, bioskop, ruang musala, ruang kabin yang memadai dan lain lain. Alhamdulillah saya tidak sendiri, semua teman saya lebih memilih mudik naik kapal ke pulau jawa dari pulau kalimantan. Kami bersembilan. Saya sendiri, Tufeil, Sigig, Priyo,  Tian, Surya, Zaki, Eko dan Mita, personel wanita satu-satunya di grup kami. Yeah, hitung hitung dengan perjalanan panjang  ini, kami bisa mengenal seperti apa sesungguhnya Selat Jawa yang sebelumnya hanya kami tahu dari atlas jaman esde dulu. Terlebih lagi melewati perairan masalembo yang katanya segitiga bermudanya indonesia dimana menjadi tempat tragedi tenggelamnya kapal tampomas II di taon 80-an yang terkenal itu dan  pesawat Adam Air juga diperkirakan tenggelam di kawasan ini. hi...that's scary, bro. KM Nggapulu (pic hasil googling) saya bertolak dari pelabuhan Semayang Balikpapan menuju Tanjung Perak, Surabaya sekitar pukul 12.00 WITA. Kapal yang saya tumpangi bertingkat sampai lantai tujuh. Mirip kapal pesiar dan cukup megah. Kapal ini besar dan lebih besar dari yang pernah saya lihat sebelumnya,  Maklum kalau menyebrangi madura ke jawa, saya sekeluarga naik feri yang ukurannya  tidak  seberapa dengan kapal ini. Do u know my prend? Kapal ini ternyata membawa penumpang dari  Jayapura, Tidore , Kendari, Pare-Pare, Balikpapan dan akhirnya akan membuang sauh terakhir di Surabaya. Wow, can you imagine berapa massa berat yang harus ditanggung kapal ini? ketika saya menaiki tangga dari dermaga menuju kapal, yang lebar tangganya cukup untuk dua orang, terjadilah aksi dorong-mendorong antar penumpang. Mereka berdesak-desakan cepat masuk. Muka saya terkena tamparan kardus kardus barang bawaan penumpang dan kacamata saya nyaris hampir pecah. Semua penumpang tidak sabar masuk ke kapal karena siapa yang berhasil duluan masuk kapal bisa mendapat tempat dan posisi bagus di kapal. Saya yang memegang tiket kelas ekonomi TANPA KABIN, mau tidak mau saya berebut harus mencari tempat yang nyaman dan menghamparkan tikar. Buritan kapal di geladak atas , menjadi pilihan saya dan teman-teman karena bisa melihat alam luar dengan bebas. Saya sangat menikmati perjalanan dengan kapal ini. Hari itu sangat indah dan cerah. Meski matahari saat itu bersinar terik, angin laut yang bertiup kencang segera menggantikannya dengan kesejukan, sehingga panas tidak terasakan oleh saya. Pakaian dan rambut saya berkibar kibar tanpa henti. Berada di atas lautan membuat saya merasakan sebuah euforia. ketika berada jauh di tengah lautan dan daratan tidak tampak oleh mata, saat itulah saya merasakan keindahan sebuah lautan. Ombak ombak seakan tidak pernah lelah menari. Begitu dinamis. Ikan ikan bermunculan dan meloncat di atas permukaan laut seolah alam telah memiliki ritme kehidupannya sendiri, seperti di lautan ini. Ketika malam tiba, sesuatu yang menjadi kecemasan saya akhirnya menjadi kenyataan. Saya harus tidur di buritan kapal malam itu karena tidak mungkin bagi saya untuk masuk ke dalam lorong lorong kapal yang sudah berjubel penuh dengan penumpang dan tentunya sangat susah untuk mencari area kosong yang dapat dijadikan sebagai tempat peristirahatan atau sekedar menggelar tikar. Seandainya saya memiliki tiket kabin atau VIP, mungkin malam itu saya bisa merasakan enaknya tidur di atas kasur yang empuk dan private room sendiri. Alhasil seperti saya duga sebelumnya, selama satu malam itu saya tidak bisa tidur menahan dingin dan terus terjaga sampai sahur. Tapi tak apalah semua penderitaan saya toh terbayar. Di ruang yang bebas terbuka tanpa atap ini, saya jadi leluasa melihat sunset dan rembulan yang menggantung di perairan jawa. Suasana malam di lautan begitu hening. Temaram cahaya lampu yang berderet di sepanjang tepian buritan  mencipta syahdu. Angin malam berhembus kencang. Lautan di mata kami bagaikan kuburan yang siap menerkam siapa saja. Dengan dibantu sinar bulan kami melihat ombak begitu besar memecah kesunyian. Sesekali terdengar teriakan penumpang dan suara pengeras dari nakhoda memberitahukan posisi kami di laut dalam koordinat. Setelah hampir 15 jam kapal membelah selat jawa, suara pengeras anak buah kapal kembali memecah keheningan. Awak kapal menginformasikan bahwa makanan sahur bisa dibeli di restoran milik kapal. Waktu itu saya dan teman-teman memesan ayam Fried Chicken KFC dan minuman botol Aqua. Perut terasa keroncongan maklum sejak magrib hanya makan buah-buahan, snack dan roti selai. Tak lama kemudian Azan subuh menggema dari speaker dan aktivitas sahur kami terhenti. Kami solat subuh berjamaah di musala yang cukup menampung 500 0rang. Ada pengalaman lucu ketika salat duhur berjamaah di kapal waktu siang tadi. Saya hendak menunaikan sholat empat rakaat duhur tetapi imamnya ternyata solat duhur dan asar dengan jama qasar. So, saya terpaksa mengulangi salat saya. Setelah selesai salat subuh, saya melanjutkan dengan aktivitas mengaji. Hari masih pagi. Ketika saya keluar dari musala menuju buritan, sudah banyak orang dari dalam kapal berbondong bondong keluar. Sekedar menikmati sunrise yang sebentar lagi tiba. Kabut tipis fajar berganti mega merah. burung burung laut meliuk-liuk di kaki langit. Pagi terasa indah ketika Matahari mulai mengintip di balik horizon. Cahayanya berpendaran di penjuru lautan. Sinarnya yang jingga dalam sekejap menyulap permukaan lautan serasa ladang emas. Banyak orang yang mengabadikan momen ini. hape saya yang waktu itu tidak dilengkapi dengan fitur kamera hanya bisa menatap kagum hikzz.. Tak lama kemudian gugusan pulau tak berpenghuni menyembul dari dasar lautan menemani kami saat tiga jam akan tiba di tujuan. Sebagian pulau ada yang berpenghuni  dengan satu rumah dengan tiang pemancar di sebelahnya. Entahlah untuk apa tiang-tiang itu. Di sepanjang pulau pulau itu juga terdapat banyak kilang minyak. Kapal Patroli Angkatan Laut melewati kapal kami dari arah berlawanan.  Beberapa tentara sedang bersiaga di atas kapal patroli. Benak saya kemudian membayangkan film Pirates of Carribbean yang dibintangi si Johny Deep "kapten Jack Sparrow". Sungguh bukan pilihan yang mudah bagi mereka, Para prajurit Angkatan Laut ataupun awak buah kapal yang bekerja di kapal komersial/pesiar untuk menjadi manusia lautan seperti si kapten Jack Sparrow, yang mengabdikan seluruh hidupnya di Lautan. Jauh dari istri, anak-anak apalagi. Hidup adalah sebuah penderitaan, sebuah kutipan kata salah seorang tokoh terkenal yang mungkin bisa mewakili gambaran ini. KM Nggapulu Paginya saya mencoba masuk ke dalam kapal, niatnya mau mandi pagi di lantai bawah tetapi saya malah memasuki kabin mirip barak dan bangsal-bangsal orang yang masih tertidur. Banyak lukisan suku asmat, ukiran patung, dan foto-foto bertemakan Papua seperti foto puncak Jayawijaya dengan salju abadinya di dinding sepanjang lorong kapal. Ternyata saya baru menyadari, nama kapal ini (nggapulu) diambil dari nama sebuah puncak di Pegunungan Jaya Wijaya. Nuansa Indonesia Timur sangat kental memenuhi interior kapal. Setelah muter-muter akhirnya saya menemukan juga toilet untuk mandi. Sayang fasilitas mewah dan wah yang terdapat di dalam kapal ini tidak bisa membuat saya merasa nikmat. WC kadang belum sempurna disiram oleh orang-orang, keran air juga belum dimatikan.belum lagi semrawutnya orang orang di kapal membuat pemandangan di dalam kapal menjadi jorok. puntung rokok,tisu dan ingus serta ludah berjejalan di lantai. Apalagi kapal ini bukan kapal yang mengangkut ternak, tetapi penumpangnya malah yang menjadi ternak. Orang Indonesia setidaknya harus bisa bersikap manusiawi terhadap fasilitas umum seperti toilet dengan selalu menjaga kebersihannya. apa iya, masyarakat Indonesia jorok seperti itu. tentu tidak khan. Sedikit kekecewaan  kembali saya rasakan karena awak buah kapal tidak menginformasikan pada saya ketika mencapai perairan masalembo. Kata ayah saya yang waktu muda berpengalaman naik kapal dari surabaya ke banjarmasin, biasanya kapal akan memberitahu penumpang begitu tiba di perairan ini. Mengheningkan cipta bersama. kadang ada awak kapal yang memberi buket bunga yang diberikan secara cuma cuma pada penumpang untuk ditaburkan ke lautan sebagai bentuk simpati mengenang korban tragedi tenggelamnya Kapal Tampomas II. Jam 10 pagi tak terasa kami tiba di pelabuhan Tanjung Perak. Saya segera bergegas. Lagi-lagi tangga yang belum sempurna mencapai dermaga, orang-orang sudah berkerumunan di pintu keluar. Kali ini saya menunggu sampai penumpang tidak berdesak-desakan. Saya dan teman-teman kemudian turun dan berpisah di dermaga pelabuhan. Tak lupa kami berfoto dengan latar KM Nggapulu untuk mengenang perjalanan kami. Kemudian saya melanjutkan perjalanan ke dermaga arah madura yang tidak jauh dari dermaga kapal  KM Nggapulu turun. Dan Sekilas tampak oleh saya, kapal Fery Joko Tole sedang berlabuh ke tepian menyambut kedatangan saya. Sementara itu di seberang tampak membentang Pulau Madura yang akan siap memeluk jiwa raga saya. Pulau yang telah membesarkan saya dengan kesahajaannya dan membuat saya selalu tetap cinta. Dalam suasana penuh kerinduan ini, rasa kangen terus membuncah bersama seberkas raut wajah papa mama yang hadir di benak saya. Menyemangati langkah saya untuk segera menyebrang. Madura, I'm coming.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun