Mohon tunggu...
aRdy
aRdy Mohon Tunggu... Peternak - Penikmat The Doors

Farmer Family Activists Work || Berkarya Network || Saung Berkarya || Bale Latihan Berkarya'

Selanjutnya

Tutup

Money

Jokowi Bukan Soekarno, Kita Butuh HM Soeharto

7 Februari 2020   09:30 Diperbarui: 7 Februari 2020   09:42 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Satu persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan 150 ribu peluang kerja bagi masyarakat. Jumlah angkatan kerja kian tahun kian bertambah. Kenyataannya, kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia kian melambat. Tentunya kondisi demikian itu akan menjadi bom waktu.

Pertumbuhan ekonomi pun erat kaitannya dengan kualitas, apakah pertumbuhan ekonomi itu tergantung pada impor atau ditopang sektor riil ? Hal tersebut  berpengaruh pada jumlah serapan Tenaga Kerja.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak saja melambat, malah justru mengalami penurunan pada bulan Februari 2020 ini. Tentunya menjadi pukulan baru bagi masyarakat.  

Jokowi dalam pidatonya mengatakan, "jangan kufur nikmat, walau ekonomi kita melambat, yang lain justru anjlok." Nikmat yang mana? Dan, entah negara mana yang dimaksud itu.

Narasi Jokowi dapat saja dipahami sebagai upaya untuk memperkuat rasa nasionalisme yang dikaitkan dengan ekonomi. Namun timbul pertanyaan, bagaimana mungkin  nasionalisme itu dapat tumbuh sedangkan regulasi pemerintah selama ini justru mempermudah terjadinya impor, bahkan untuk  bahan pangan (sektor pertanian) yang dapat diproduksi sendiri, keran impor dibuka lebar.

Sedikit contoh, hasil survei BPS pada bulan Januari lalu, sektor pertanian masih merupakan sektor dengan serapan tenaga kerja tertinggi, sebesar 32, 8 persen. Namun apakah serapan tenaga kerja tertinggi tersebut berbanding lurus dengan kesejahteraan? Masih jauh.

Upah buruh tani berada di kisaran Rp 50.000/ hari, jauh dari kata dapat mensejahterakan, apalagi dengan berbagai kenaikan kebutuhan pokok ; iuran kesehatan BPJS, tingkat inflasi dan lain  sebagainya.

Sudah sepantasnya dengan kondisi seperti itu, pemerintah tidak lagi mencari-cari pembenaran dengan terus membangun argumentasi, karena yang dibutuhkan masyarakat adalah aksi nyata. Jokowi bukanlah Soekarno yang dengan pidatonya dapat mengganjal perut lapar masyarakat.

Kini, masyarakat lebih membutuhkan sosok HM. Soeharto  yang terbukti mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen lebih di eranya. Masyarakat bisa merasakan aman, dan dapat tidur dengan perut kenyang. Biaya pendidikan yang murah, stabilitas harga produk pertanian memungkinkan anak petani untuk  bercita-cita tinggi adalah sebuah keniscayaan. (aRd)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun