Bukan inspirasi yang diperoleh, justru kekhawatiran jika nantinya kota-kota di Indonesia akan tumbuh seperti Singapura. Semuanya memang serba teratur, tidak ada kemacetan, polusi, pemukiman kumuh, bahkan pengangguran. Akan tetapi, justru nihilnya masalah fisik tersebut menyajikan masalah non fisik yang sulit diselesaikan. Sikap individualis dan apatis yang tinggi dari setiap warganya. Ketika tersesat di negara tersebut, tak ada orang yang mau menjawab jika ditanya arah jalan, bahkan ketika terjatuh di jalan, itu sudah merupakan urusan masing-masing. Bukankah yang paling menyedihkan di dunia ini adalah ketika kita hidup dalam masyarakat tapi melakukan dan menanggung segalanya sendiri.
Ternyata hal tersebut sangat dipengaruhi oleh bagaimana penataan fisk kota. Hampir seluruh pemukiman di Singapura berdiri secara vertikal. Kehidupan yang dijalani hanya sebatas kantor, sekolah, dan rumah. Minimnya ruang terbuka publik gratis untuk melakukan sosialisasi menjadi masalahnya. Semakin modern sebuah kota, ruang publiknya semakin tidak leluasa untuk diakses. Padahal ruang publik penting untuk membangun peradaban manusia.
Saat ini perkembangan teknologi telah menggeser definisi ruang publik. Bukan lagi sebuah ruang yang dibatasi oleh atap, dasar, serta dinding yang membuat orang berhenti, menikmati serta bercengkrama dengan sekitarnya. Ia berubah menjadi hanya sekedar ruang interaksi dunia maya dalam genggaman. Tentu, semua orang dapat mengaksesnya tanpa harus berkutat dengan kemacetan dijalan, tanpa harus khawatir ketika BBM dinaikan atau bahkan susah-susah mencari tempat kumpul secara gratis bersama rekan. Mereka sudah dapat berinteraksi satu sama lain. Tidak ada yang salah memang dari urban habitual dan modernitas seperti ini. Namun, perubahan kecenderungan perilaku dapat menjadikan kebuthan ruang terbuka publik seperti taman bagi masyarakat kian tidak dianggap urgensi lagi karena mereka dapat mengganti perannya dengan teknologi dunia maya.
Mall boleh jadi memenuhi kriteria ruang publik menurut Madanipour dalam bukunya “ Public Space and The Challenge of Urban Transformation in Europe” yang didasarkan pada accessabillity dan usability. Asalkan ruang tersebut dapat diakses siapa saja dan mempunyai fungsi yang beragam maka tidak ada salahnya disebut ruang publik. Toh kita juga tidak diwajibkan membeli ketika memasuki Mall. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat nilai kepublikan tersebut terasa tidak sah dimata masyarakat. Mungkin hanya sekedar kecanggungan kaum menengah kebawah yang merasa minder jika memasuki bangunan megah. Mungkin ketiadaan interaksi dalam jual beli, tidak seperti di pasar tradisional dimana orang dapat saling tawar menawar. Mungkin keamanan yang ditingkatkan demi menghindari kriminalitas yang tidak diinginkan. Atau mungkin, semua alasan sebenarnya hanya bermuara pada keleluasaan akses dan kebebasan interaksi yang seolah-olah dibatasi. Padahal ruang terbuka publik mampu menentukan bagimanan bentuk peradaban masyarakatnya.
Ratusan tesis dan penelitian sebenarnya telah dibuat para akademik mengenai Malioboro dan Yogyakarta. Salah satu kota yang masih teguh dalam mempertahankan budayanya. Namun, pembangunan hotel besar-besaran telah mengancam kota ini. Apakah semua kerja keras tesis tersebut hanya dikesampingkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)? Semua pembangunan hanya menyoal hitungan untung-rugi dan peraturan dijadikan normatif belaka. Bukankah pemerintah diamanatkan untuk menjaga dan melindungi kepentingan rakyat, meramu hukum pembangunan properti sekaligus mencegah terjadinya gesekan berbagai kepentingan. Jika kota memang untuk masyarakat, kenapa hotel yang dibangun hingga menyedot air tanah terus tumbuh? Hingga warga Yogyakarta harus turun ke jalan untuk merebut kembali hak atas kotanya. Persoalan inilah yang mungkin dihadapi banyak kota di Indonesia. Layaknya hukum, tajam ke bawah tumpul ke atas. Menggusur pemukiman kumuh tentu mudah bagi pemerintah, tetapi apakah mereka berani mengatur stakeholder besar seperti Sumarecon dan Agung Podomoro lalu mengakhiri pembangunan yang semakin berkasta dan menimbulkan segegrasi. Karena salah satunya cara untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah memperbanyak ruang terbuka publik dalam kota.
Ketika bangsa ini sepakat untuk mengambil jalan demokrasi. Maka pembangunan pun harusnya berjalan selaras, salah satu ruang kota yang merepresentasikan demokrasi adalah ruang terbuka publik untuk semua “Ruang anonim”. Meski ruang publik memiliki banyak interpretasi saat ini. Berubah karena keadaan, keinginan dan kemajuan peradaban. Namun, ruang publik yang otentik adalah Malioboro, Ia bertahan dengan otenitasnya ketika yang lain mulai berubah dan mengalami redefinisi. Dalam hasrat dan semangat yang sama, semoga Malioboro lain di kota lainnya akan tumbuh dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan pihak yang berwenang.
Kritik adalah bagian lain dari mencintai. Namun, sebagian orang yang tak paham seringkali menganggapnya sebagia “hujatan”. Saya mengkritik, karena saya ingin pembangunan ruang terbuka publik kedepan berjalan lebih baik. Sesuai tujuan dan entitasnya. Terimakasih
Sumber gambar : Anekawisata.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H