Mohon tunggu...
Ryan Ardiansyah
Ryan Ardiansyah Mohon Tunggu... Penulis - Tak ada kosa kata yang mampu mengambarkan

Barangkali kopi kita kurang diaduk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Zaman Edan: Budaya dan Masyarakat Cyber

29 Desember 2024   22:21 Diperbarui: 29 Desember 2024   22:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Artificial Intelligence (AI) menjadi sebuah mega bintang dalam masyarkat, perannya sangat penting sebagai saksi zaman. Kelahirnya, didasari tumbuh pesatnya pasar kapitalisme. Ancaman yang sangat serius, apakah kita kedepannya tidak lagi bisa menghadirkan imajinasi yang liar. Ada sebuah terputusnya pengetahuan dalam ranah literasi yang menjadi penghambat atas tafsiran suatu zaman. Faktor paling penting institusi pendidikan terhambat urusan administrasi, berakibat fatal dalam proses pendewasaan literasi. Kita tak lagi buta huruf, di zaman postrut, permasalahan yang dihadapi sekarang tak lagi menghadirkan pemahaman atas teks. Kehadiraan AI bisa menjadi alat untuk memberikan pemahaman atas teks, akan tetapi dampaknya pemahamannya yang ditampilkan hanya sebatas permukaan yang akhirnya membentuk realitas semu.

Gejala-gejala adanya kemajuan dalam bidang teknologi, membawa pada kekhawatiran. Merespon dengan sikap kekhawatiran bukan bentuk dari penolakan atas kemajuan teknologi, sebaliknya jika kita merespon segala perubahan dengan sikap khawatir. Maka langkah yang diambil nanti akan lebih selektif dalam membangun kehidupaan sosial dan mengarahkan pada sikap optimis dalam membentuk realitas yang nyata.

Ada sebuah adagium terpopuler, Hitler "Teruslah membuat kebohongan, maka akan menjadi suatu sebuah kebenaran". Realitas semu menghancurkan daya imajinasi manusia, kehadirannya membawa keseragaman cara berpikir. Ini menimbulkan pertanyaan, apakah nasib-nasib kebudayaan hanya berujung pada kebutuhan pasar, bukan lagi pada sebuah utopis yang liar dan bukan lagi pada sebuah tradisi wacana melahirkan optimisme?. Eksistensi atas kerja budaya terus menimbulkan pertanyaan yang panjang.

Kebangkitan Renaissance bukti konkret bagaimana kerja budaya membongkar zaman, dan pulang ke masa lampau. Kemudian melahirkan isme-isme baru. seperti positivisme, strukturalisme, dan yang lainnya. Kata Ranggawarsita dalam buku Zaman Edan " Mengalami jaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut gila tidak tahan, kalau tidak ikut gila, tidak mendapat kebagian, akhirnya kelaparan, tetapi takdir kehendak Allah, sebagia-bahagianya orang lupa, masih bahagia yang sadar dan waspada". Ungkapan itu merupakan bentuk protes kekecewaan atas zaman, yang dimana kebudayaan baru sedang tumbuh dan mengantikan kebudayaan Jawa abad ke-19.

Perasaan-perasaan masyarakat hidup di zaman edan juga ditemukan saat ini. Pandangan kacamata sosiologi-budaya Willam menyebut ada tiga pokok komponen yakni lembaga-lembaga budaya, isi budaya, dan efek budaya. Jika kita melihat seksama siapa yang menjadi lembaga-lembaga budaya dalam era digital? Dugaan sementara saya merujuk pada influencer dan oligarki, tampak jelas ideologi berupa komoditas dan konsumtif. Jelas visinya pada simulakra, kemudian disusul misi berupa visualisasi dan algoritma yang membentuk masyarakat cyber.

Kebudayaan yang membangun nalar berfikir masyarakat di era kontemporer, mengalami satu hantaman pukulan mundur yang jauh. Simulakra semakin jelas, realitas atas hidup semakin kabur. Faktor ini didukung arena pendukung simulakra semakin kuat, seperti tv, internet dan smartphone menjadikan manusia sebagai Homo algoritimus (Manusia mahkluk algoritma). Manusia akan jauh terhadap realitasnya sendiri sering kali membentuk kepalsuan dalam membangun kehidupan, ironisnya berujung pada bunuh diri. Faktor ini jelas disebabkan tekanan seperti perbandingan gaya hidup sosial, dan standarisasi sosial yang tinggi sebagai barometer kesuksesan.

Pembentukan realitas berdasarkan faktor bisnis kapitalisme semata. Selalu ada rekontruksi dan dekontruksi realitas dalam perbincangan, akan tetapi sering menimbulkan pertanyaan lucu. Apakah opini-opini dalam media membentuk cara hidup kita selama ini? sebegitu kuatnya kuasa media atas hidup masyarakat?.  

Ruang-ruang digital pada akhirnya menjadi kamar ekspolitasi atas privasi individual, yang pada akhirnya masyarakat akan terus bertindak secara terus-menurus. Konten-konten visualisai yang muncul sering menggugah emosi secara sadar dan tidak sadarkan diri. Akselerasi yang cepat memudahkan suatu gagasan atau ideologi berpindah dan menyesuaikan pada ruang fyp.

Kehadiran algoritma memberik dampak pada meleburnya ruang privasi menjadi ruang publik. Gejalanya yang timbul seperti urusan seseorang menjadi urusan publik. Kita sering sekali ditampilkan konten-konten urusan privat dari seorang public figur. Anehnya hal-hal ini bisa memenuhi kanal dari media sosial. Pada akhirnya melahirkan satu reaksi dalam diri kita untuk terlibat dalam like and coment.

Brouwer dalam bukunya Studi Budaya, "Manusia kehilangan suatu esensial untuk hidup manusiawi. Manusia kalua mau mempunyai hidup lengkap, sebagai manusia harus mempunyai suatu ruangan, suatu lapangan tanah yang menjadi milik khusus bagi dia untuk pemakain dan pergaulan sehari-hari". Pernyataan ini merujuk pada ruang privasi sebagai sarana untuk berhubungan intim dengan diri manusia dalam merumuskan identitas pribadi dalam menentukan arah hidupnya pada ruang public.

Sebagai penutup. renungngan tulisan ini, kehilang ruang privat pada diri manusia, menjadikan diri manusia menjadi seorang diri di dunia ini, sebagaimana yang dinarasikan oleh Riesman dalam bukunya The Lonely Crowd. "Ratusan ribu manusia telah terisolasi. Kafka juga menyebut dalam bukunya Proses dan Benteng. "Masyarakat bukan hanya menghancurkan ruang publik, tapi juga ruang aman tembok rumah manusia perorangan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun