Terlalu dalam untuk menghirup udara kota ini, begitu banyak yang menjadi racun. Bagaikan makanan yang hanya jadi tai semata, lalu hancur dalam kenyataan WC. Semua orang bersandar pada gedung mengharap ekonomi sejahtera tapi apa hanya setetes riak biasa menghidup penghidupan untuk esok, syukur-syukur bisa tabungan itu pun syukur-syukur. Apa yang lebih gairah pembangunan atau isi perut, kenyataannya hanya sebatas obrolan di meja makan si kaya akan menikmati makanan yang porsi imut, tapi si miskin akan bersyukur pada sajian makan imut.Â
Standarisasi media sosial jadi barometer masyarakat urban, dengan segala aksesoris mulai dari kalung bercap perusahaan ternama sampai kualifikasi kamera selpi untuk validasi. Bayangkan lalu lalang di kota setiap pagi bertemu orang yang sama di stasiun, terminal, halte tapi tak ada satupun yang kenal, ironis padahal setiap hari bertemu. Semua itu menjadi budaya yang mendarah daging, bahkan bisa dikatakan sebagai warisan tak berbenda. Ya, semua itu muncul dari istilah merantau.Â
Sebuah nasihat yang menarik bagi kaum muda sebagai daya pacu, kira-kira bunyinya seperti ini kata bapa pergilah ke kota untuk meraih kesuksesan. Entah perawi siapa yang meriwayatkan sampai ke zaman ini, pada akhirnya letupan yang memicu libido orang-orang untuk memperbaiki nasib, tapi naas berakhir pada adu nasib di sudut warung kopi.Â
Lebih tragisnya, kedigdayaan ghibah semacam intruksi perang. Bagaimana tidak setiap gerobak sayur atau warung sayur ghibah menjadi barang yang selalu bersaing dengan harga cabai. Dari ibu bermake-up tebal sampai berkerudung lihai dalam ghibah, bibirnya seperti adu silat. Tapi jangan salah lelaki juga gemar ghibah tapi mereka lebih alus penyebutan diksinya, mereka menyebutnya dengan istilah diskusi. Bak seperti anggota parlemen jika lelaki ghibah, adu retorika bentuk kebanggan maskulin. Sungguh sangat super power ghibah menjadi pengaruh dalam membentuk entitas makhluk urban
Realita tak lagi dibentuk dari impian-impian manusia. Kebangkitan postrut menjadi simbol kebanggaan manusia, hal-hal yang gimik menjadi persoalan yang serius dan kita sepakat untuk mengamini apa yang menjadi pembenaran semata. Kini realita tak lagi menjadi bagian proses mencari kebenaran. Para pakar tidak mati, tapi mereka menjadi barang sepi peminat akibat tingginya permintaan pasar terhadap AI.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H