Dalam setahun terakhir di Indonesia, ada dua aksi yang melibatkan elemen masyarakat sipil untuk turun kejalan. Aksi itu berhastag #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya. Aksi ini bergema di Jakarta dan Yogyakarta serta tidak ketinggal di berbagai daerah.
Aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi digelar pada pekan terakhir September hingga pekan awal Oktober 2019, satu tahun silam. Mengangkat satu isu krusial yang diusung adalah penolakan terhadap pengesahan revisi UU KPK, yang dianggap mencedarai KPK dan dianggap menjadi langkah mundur dalam pemberantaasan korupsi. Dan para demonstran mendesak agar presiden segera menerbitkan Perppu yang mengembalikan kewenangan KPK.
Kemudian pada aksi bertajuk #MosiTidakPercaya yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Nafas akhir perjuangan ini masih terasa hingga satu tahun kepemerintahan Jokowi-Ma'ruf, bukan hanya menjelang akhir Oktober itu tapi di grup-grup whatsapp atau di Internet banyak orang yang bertanya tentang draf yang asli dikarenakan banyaknya draf tentang RUU Cipta Kerja yang beredar dengan jumlah halaman yang berbeda.
Baik itu Aksi #ReformasiDikorupsi ataupun #MosiTidakPercaya, kita tahu bahwa aksi itu berangkat dari symbol Tagar (#) yang ramai di Platform Media Sosial yang membuat para pengguna untuk memantau serta memberi informasi terbaru terkait isu yang diangkat. Hal ini senanda apa yang diungkapkan Chris Messina yang merupakan pencetus ide hastag di Twitter. Ia mengatakan pada The New York Times Simbol hastag merupaka jalan paling kuat untu berpartisipasi di Media Sosial.
Kini hastag bukan hanya sebagai sebuah penanda percakapan, akan tetapi perkembanganya membawa pada titik dimana hastag itu menjadi sebuah tanda sikap politik di dunia maya atau dunia nyata itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H