Kurang lebih enam bulan yang lalu, pada suatu malam di bulan Maret 2020, saya berkumpul-kumpul dengan beberapa warga komplek tempat saya tinggal. Obrolannya ngalor ngidul khas bapak-bapak, dari masalah politik hingga masalah bisnis. Ujung-ujungnya, ada seseorang yang mencetuskan ide untuk mendirikan bisnis patungan. Yang dibahas bukanlah teknis dari pendirian bisnis tersebut ataupun proporsi modal patungannya, tetapi langsung ke potensi laba bersih dari bisnis yang akan didirikan.
Hal yang paling lucu adalah ide dari beberapa orang, yang mengusulkan bisnis X, yang bisa menghasilkan laba 100 persen atau bisnis Y, yang bisa menghasilkan laba 200 persen dari omzetnya. Saya benar-benar kaget mendengar pernyataan tersebut, mengingat pekerjaan dari salah satu orang yang melemparkan ide tersebut adalah menyusun laporan keuangan.
Saya coba jelaskan ke mereka, bahwa suatu laba tidak mungkin mencapai 100 persen dari omzetnya, apalagi 200 persen. Namun, sebelum sempat menjelaskan lebih jauh, saya mendapatkan counter attack dari beberapa orang yang mengatakan saya terlalu textbook dan tidak melihat kenyataan di lapangan.Â
Belum lagi, ada seseorang yang bawa-bawa tukang nasi goreng favorit saya, yang katanya berhasil meng-generate laba 200% dari penjualan nasi goreng kambing-nya. Karena malam itu saya hanya ingin bersantai sambil menikmati segelas kopi panas, maka saya tidak memperpanjang hal tersebut dan melanjutkan obrolan-obrolan ringan, dimana obrolan mengenai pendirian bisnis patungan sudah menguap tak berbekas.
Enam bulan setelah kejadian itu, tepatnya pada hari ini. Ketika saya membaca Quora, saya menemukan pertanyaan yang menanyakan mengenai apakah laba bersih sebesar 10-20 persen dari penjualan merupakan sesuatu yang bagus atau tidak. Beberapa jawaban dari pertanyaan tersebut kembali membuat saya terkejut, karena hampir sama persis dengan jawaban dari bapak-bapak di komplek tempat tinggal saya. Ada yang menjawab 10-20 persen terlalu textbook dan membeberkan kejadian di lapangan versinya, bahwa banyak pedagang makanan yang bisa menghasilkan laba hingga 100-200 persen dari omzetnya.
Kejadian-kejadian tersebut mendorong saya untuk menulis di Kompasiana mengenai definisi laba bersih, dengan harapan banyak yang membaca tulisan saya, agar kesalahpahaman yang telah mengakar ini dapat segera berakhir, hehe.
Laba bersih adalah istilah yang digunakan di laporan laba rugi dan merupakan bottom line dari penjualan setelah dikurangi beban pokok, beban penjualan dan administrasi, bunga pinjaman (apabila ada pinjaman), dan juga pajak. Sedangkan net profit margin merupakan perbandingan antara laba bersih dengan penjualan.
Dari pengertian laba bersih itu sendiri, bagaimana caranya laba bersih bisa mencapai 100 persen dari total penjualan atau omzetnya? Memangnya ada bisnis yang tidak memiliki beban-beban yang harus dibayar dalam proses produksi dan pemasarannya?
Saya coba ambil contoh pedagang nasi goreng kambing favorit saya. Harga sepiring nasi goreng kambing adalah 35 ribu rupiah. Apakah mungkin dari penjualan sepiring nasi  goreng tersebut, dapat menghasilkan laba bersih sebesar 35 ribu atau 70 ribu rupiah? Padahal untuk produksinya saja, pedagang perlu mengeluarkan uang untuk membeli nasi, daging kambing, kecap, bumbu-bumbu, minyak, gas, dan biaya-biaya lainnya, belum lagi biaya-biaya di luar biaya produksi yang harus dibayar, seperti biaya listrik, biaya sewa tempat, dan biaya gaji karyawan.Â
Jadi sudah jelas, bahwa net profit margin atau perbandingan antara laba bersih dengan omzet tidak mungkin mencapai 100 persen, apalagi lebih dari itu. Mungkin kalau mereka mengatakan bahwa 100-200 persen merupakan markup harga penjualan dari biaya produksinya, saya tidak akan mempermasalahkannya, karena hal itu sudah tepat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H