Sekumpulan manusia duduk diam, sembari menyimak (melihat, mendengar, serta mengarahkan konsentrasi pikiran) pada sebuah kotak elektronik yang mendaur-ulang setiap realitas yang dipulungnya dari dunia. Realitas yang sifatnya aneka ragam, baik itu telah, sedang dan akan berlangsung dalam konteks fiksi ataupun nonfiksi. Juga, plesetan realitas, bahkan realitas yang sifatnya transendental-pun mampu dikonstruksinya dalam sebuah layar kaca. Individu-individu yang menyimaknya pun larut dalam setiap ocehan dan sandiwara yang disuguhkan kotak elektronik itu. Mereka betah ngangkring (menonton) berjam-jam dihadapannya, sembari menikmati setiap suguhan acara yang tak pernah rehat sedikitpun.
Tindakan menonton televisi dapat didefinisikan sebagai usaha untuk mengetahui segala realitas yang tidak tersentuh oleh si penonton secara indrawi dalam konteks ruang-waktu geografis. Definisi ini menjelaskan bagaimana televisi merupakan instrumen yang menampilkan segala realitas dalam bentuk gambar, gerak, suara dalam dunia. Apa yang ditampilkan televisi merupakan kloning dalam bentuk audio-visual bagi setiap realitas. Selain itu, televisi juga menjadi sarana representasi ide yang sebelumnya terkurung di bawah kesadaran manusia dan menyeruak tampil ke layar kaca lewat film.
Televisi merupakan mukjizat hasil peradaban teknologi yang mampu meminiaturisasi segala realitas fisik dunia ke dalam ruang audio-visual.[1] Sebuah ruang yang meskipun bentuknya mini, tetapi dapat merepresentasikan setiap realitas yang tertangkap oleh teknologi rekaman. Misalnya, kejadian yang telah terjadi kemarin sore di London dalam sebuah rumah kecil dapat disaksikan kembali, tanpa perlu arus balik secara fisik ke masa terjadinya kejadian tersebut (situasi yang tidak mungkin terjadi).
Sebagaimana dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang bahwa televisi merupakan instrumen pelipatan ruang. Dalam arti, televisi mampu mempresentasikan sebuah kejadian dalam teritorial yang berbeda pada waktu yang bersamaan sehingga pengetahuan intuitif terhadap belahan dunia lain terjadi pada individu.[2] Sebagai contoh, olah raga sepak bola di Inggris dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat di Indonesia melalui televisi tanpa harus nonton langsung di Inggris.
Representasi realitas merupakan salah-satu fungsi yang melekat pada televisi. Individu yang berhadapan dengannya betah menikmati produk realitas yang ditampilkannya. Sehingga kebutuhan terhadap televisi pada era modern dapat dikategorikan sebagai kebutuhan primer yang mengarahkan setiap manusia pada ekstrimitas kebutuhan informasi.
Secara sederhana kita pahami bahwa televisi hanyalah benda yang dapat merepresentasikan gambar secara audio-visual dengan bantuan listrik. Tv bukanlah makhluk hidup berakal seperti manusia yang mampu berkehendak bebas menampilkan dengan sendirinya apa yang menjadi keinginannya. Berdasarkan asumsi tersebut, dapat kita pahami bahwa terdapat kontrol di balik apa yang seharusnya direpresentasikan oleh televisi.
Institusi media sebagai elemen yang bekerja dengan segala perangkat teknologi yang digunakan merupakan otak dibalik apa yang seharusnya direpresentasikan oleh televisi. Individu-individu yang bekerja dibawah naungannya merupakan media perantara yang berfungsi menyeleksi, memanipulasi, mengkonstruksi dalam kerangka ideologis setiap realitas yang ditampilkan oleh televisi. Sehingga proses dekonstruksi terjadi diakibatkan oleh ideologi-ideologi yang berperan mempengaruhi representasi realitas. Manipulasi data yang terjadi justru dipengaruhi oleh faktor-faktor hegemonik, baik oleh penguasa sebagaimana yang telah dilakukan pemerintah pada masa orde baru, atau faktor ekonomi demi meraup keuntungan belaka.
Dekontruksi juga terjadi diakibatkan teknik-teknik representasi realitas dengan bantuan teknologi. Seperti pengambilan sudut pandang terhadap sebuah situasi atau aktor-aktor yang menjadi objek. Penambahan efek-efek teknologi dalam gambar yang menjadi objek, menyebabkan munculnya efek sosial yang justru menjauhkan masyarakat penikmatnya dari situasi yang seharusnya terjadi bahkan mempercayai rasa yang timbul akibat kepalsuan yang dinikmatinya..
Hal ini tampak dalam film-film fiksi yang ditampilkan, representasi film tersebut menggambarkan bagaimana manusia mampu melakukan perang diluar angkasa, mampu mengeluarkan cahaya dari telapak tangan yang dapat melelehkan besi. Pengambilan sudut pandang gambar seseorang dalam televisi juga menimbulkan efek rasa tertentu dalam diri si penonton.
Maka dapat disimpulkan bahwa televisi tidak hanya berfungsi sebagai sarana representasi realitas dalam bentuk audio-visual, tetapi juga dapat menciptakan realitas palsu yang justru jauh berbeda dari realitas sesungguhnya dan bahkan lebih sempurna.
Nilai Sosial Baru
Televisi berfungsi sebagai sarana representasi realitas. Mengkloning realitas fisik ke dalam realitas audio-visual. Televisi menjadi gambaran bahwa fakta dapat ditampilkan sebagai bukan fakta. Mengalihwujudkan realitas materil ke dalam bentuk realitas citraan yang kemudian dinikmati dalam bentuk tontonan oleh manusia. Tidak hanya itu, televisi juga mampu mendaur ulang setiap realitas dan merepresentasikannya dalam bentuk yang berbeda. Tetapi apa yang terjadi ketika realitas yang direpresentasikan telah mengalami daur ulang sehingga terjadi kontradiksi antara realitas sesungguhnya dan representasinya?
Representasi yang jauh menyimpang dari kondisi rill mengakibatkan munculnya kesadaran baru bagi individu sebagai hasil interpretasinya terhadap realitas yang ditampilkan. Setelah pemahaman baru merasuki kesadaran dan menciptakan pola pikir individu tersebut, ia-pun (individu) mengarahkan setiap penafsirannya terhadap realitas riil yang akan dihadapi dalam konsepsi kesadaran yang telah tercipta oleh apa yang ditampilkan televisi, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa berusaha untuk dapat merealisasikan dunia ide yang berada di alam bawah sadarnya, memanifestasikan setiap kesadaran baru yang disuntikkan oleh media televisi ke dalam kehidupannya.
Sebagai contoh yang terkait dengan hal ini, seorang yang mengamati bagaimana kehidupan glamour yang menjadi ciri khas kehidupan selebritis melalui televisi. Kemudian mempengaruhi kesadaran yang selanjutnya dimanifestasikan dalam kehidupan riil kesehariannya. Misalnya mengikuti potongan rambut David Beckam, memakai parfum yang semerek dengan kepunyaan Tamara Geraldine dan lain sebagainya.
Manipulasi sebuah kebenaran, sehingga nilai yang termaknai oleh khalayak penonton merupakan sebuah nilai yang telah terdekonstruksi dalam sebuah citraan kemudian mengglobal dalam ruang sosial. Menggiring opini massa ke arah situasi yang menyimpang, mempengaruhi kesadaran dan menganggapnya sebagai simbol kebenaran.
Ketika dekontruksi realitas terjadi, maka televisi hanyalah ladang segala kepalsuan, pemutarbalikan fakta, situasi yang justru berbeda dengan objek sesungguhnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Baudrillard, yaitu:[3] “penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau referensi realitas.” Sebagaimana ditafsirkan pula oleh Yasraf Amir Piliang bahwa “realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sedemikian rupa, sehingga pada tingkat tertentu realitas media ini tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas sesungguhnya.”
Kepalsuan yang tercipta akhirnya menciptakan pula ruang sosial yang dipenuhi kepalsuan. Situasi ini berimplikasi pada terciptanya:[4]
1.Disinformasi, terjadinya suasana ketidakpercayaan terhadap informasi-informasi yang disuguhkan oleh televisi oleh karena garis demarkasi antara kebenaran dan kepalsuan tidak dapat lagi dipisahkan.
2.Depolitisasi, media televisi menciptakan komunikasi satu-arah, sehingga penonton hanyalah sebuah komunitas yang diam. Komunitas yang hanya mampu menikmati segenap realitas yang lalu-lalang dihadapannya.
3.Banalitas informasi, segenap informasi yang disajikan oleh media televisi hanyalah informasi yang tidak berguna, akan tetapi dikemas sedemikian rupa (estetisasi) sehingga tetap menarik antusiasme penonton untuk dinikmati sebagai tontonan. Seperti acara infotainment yang menyuguhkan kehidupan sosial selebriti atau kuis sms berhadiah dalam sebuah program acara.
4.Fatalitas informasi, berkembang biaknya informasi melampaui batas nilai, guna dan fungsinya bagi ruang sosial. Semisal informasi mengenai ukuran sepatu selebritis dan ruang tidurnya.
5.Skizofrenia, putusnya serangkaian tanda-tanda yang membentuk makna. Maka terjadi suatu situasi kegalauan bahasa dan informasi, yang menjadikan pencarian kebenaran menjadi sesuatu yang mustahil.
6.Hipermoralitas, terjadi penelanjangan informasi dan komunikasi yang mengakibatkan hilangnya batas-batas moral dalam ruang sosial.
Konsekuensi logis yang bersifat negatif yang terjadi dalam ruang sosial sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diatasi melalui solusi pengendalian produksi citraan-citraan yang berlebihan, sampai pada batas citraan yang dapat diinterpretasikan oleh masyarakat dalam konsepsi positif dan logis. Selanjutnya memperkuat basis pendidikan sosial masyarakat, sehingga tercipta masyarakat yang mempunyai daya kritis agar tidak serta merta menerima setiap citraan yang melintas dihadapannya sebagai sebuah kebenaran.[5]
[1] Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat-Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, (Bandung-Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 51.
[2] Ibid., hlm. 50.
[3] Yasraf Amir Piliang, Posrealitas-Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika, (Bandung-Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 141.
[4] Ibid., hlm. 142-145.
[5] Ibid., hlm. 147.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H