Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sukseskah Revolusi Payung?

11 Oktober 2014   16:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:28 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hongkong sebagai sebuah wilayah tujuan wisata banyak orang dari berbagai negara, saat ini dilanda demonstrasi yang demikian hebatnya. Demo menuntut agar pemimpin wilayah itu langsung dipilih oleh rakyat bukan karena ditunjuk dari China, demikian massifnya sehingga ada aktivitas masyarakat menjadi terganggu. Menarik dari aksi yang disebut dengan Revolusi Payung itu adalah, demo dipimpin oleh anak yang terbilang masih baru gede (ABG).

Aksi yang demikian, di mana masyarakat Hongkong ingin lebih mandiri, tidak tergantung pada kebijakan dari pemerintah China, itu bukan pertama. Sebelumnya sudah ada aksi-aksi serupa. Berhasilkan Revolusi Payung?

Kalau kita cermati, gerakan demokratisasi di sebuah negara manapun, ia tidak bisa berdiri sendiri. Tidak berhasil tanpa dukungan dan solidaritas dunia internasional. Solidaritas dunia internasional biasanya mampu menjadi kekuatan yang bisa menekan pemerintah atau penguasa setempat untuk mengiyakan apa yang dituntut oleh para demonstran.

Solidaritas dunia internasional mendukung gerakan demonstrasi ditempuh dengan menggalang opini bahwa apa yang dilakukan itu benar. Bila dukungan opini kurang efektif, biasanya solidaritas dunia internasional melalui lembaga resmi seperti PBB memberi sangsi kepada negara yang menolak adanya demokratisasi yang diusung rakyatnya.

Gerakan demokratisasi di Myanmar yang dilakukan oleh Aung San Suu Kyi didukung oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, dan PBB. Sebab opini yang dibangun yang menggambarkan junta militer antidemokrasi dan tidak mau memberi kebebasan di negeri yang pernah bernama Burma kurang berhasil, maka Uni Eropa, Amerika, dan PBB, memberi sangsi ekonomi dan embargo perdagangan kepada Myanmar.

Bila ngebet banget agar di negara itu terjadi perubahan kekuasaan, solidaritas dunia internasional bisa memberikan bantuan lain seperti logistik, dana, operasi intelijen, bahkan bila perlu operasi militer.

Banyak gerakan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia, bisa sukses karena berkat campur tangan negara asing. Di sebut Arab Spring bisa bergulir, karena Barat secara terus terang atau diam-diam mendukung gerakan yang sebelumnya disebut tabu itu.

Meski demikian, tak semua solidaritas dunia internasional yang membantu gerakan demokratisasi di sebuah negara berhasil. Ketidakberhasilan solidaritas dunia internasional tidak bisa menolong mereka sebab solidaritas dunia internasional itu ‘takut’ kepada negara induk atau pem-backing negara itu.

Ketidakberhasilan demokratisasi di Suriah, solidaritas dunia internasional tidak bisa memaksakan kehendaknya semau-maunya serta sangsi dan veto kepada pemerintah Suriah yang tidak memberi ruang kepada gerakan demokratisasi di negeri itu mentok, karena faktor Rusia. Rusia yang berada di belakang pemerintah Suriah saat ini membuat solidaritas internasional yang disokong oleh Amerika Serikat, Eropa, dan PBB, tidak memulus dalam mensponsori gerakan demokratisasi di negara itu.

Lambannya gerakan demokratisasi di Myanmar juga disebabkan ada negara kuat di baliknya. Di balik junta militer ada China. Adanya China itulah yang membuat Amerika Serikat, Eropa, dan PBB, tidak bisa mendorong percepatan demokratisasi di Myanmar.

Solidaritas dunia internasional tidak mampu mendorong demokratisasi di sebuah negara sebab mereka berhadapan dengan negara-negara besar yang menjadi backing. Negara besar itu adalah negara yang mempunyai kekuatan ekonomi dan militer yang mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan internasional. Di sinilah China dan Rusia yang mampu menghambat apa yang dimaui oleh Amerika Serikat, Eropa dan PPB, yang sering menjadi gerakan sponsor gerakan demokratisasi.

Sebagai sebuah wilayah yang secara resmi masih berada di bawah kekuasaan China, tentu solidaritas dunia internasional bila mendukung gerakan demokratisasi di Hongkong akan berhadapan dengan  pemerintah China. Bila demikian maka Amerika Serikat, Eropa, dan PBB, akan berpikir seribu kali untuk mendukung gerakan demokratisasi di Hongkong. Amerika Serikat, Eropa, dan PBB, biasanya bila berhadapan dengan China, mereka ciut nyalinya.

Meski Amerika Serikat sebagai kekuatan militer namun ia berpikir seribu kali bila hendak menyenggol-nyenggol kepentingan China. Amerika Serikat mengakui bahwa China mempunyai kekuatan militer yang tidak bisa dipandang remeh. China bagi Amerika Serikat adalah kekuatan militer dan ekonomi yang menakutkan. Ketakutan Amerika Serikat kepada China itu tergambar dalam lambannya negara yang dijuluki Paman Sam itu dalam menangani masalah Korea Utara dan konflik di Laut China Selatan dan Laut China Timur.

Dari sinilah maka Amerika Serikat dan Eropa tidak bersikap dalam Revolusi Payung. Negara-negara Barat enggan menjadi sponsor dalam gerakan itu sebab bila ikut tentu secara langsung akan melakukan perhitungan atau head to head dengan pemerintah China. Dengan demikian, Revolusi Payung itu akan berjalan sendiri tanpa dukungan dan solidaritas dunia internasional. Berhasilkah? Berdasarkan gerakan demokratisasi yang sudah terjadi di Hongkong, gerakan-garakan itu belum mampu mewujudkan keinginan rakyat Hongkong untuk menentukan nasibnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun