Dinamika politik dan sosial yang saat ini menggelinding rupanya juga merembet ke masalah pelaksanaan sholat jumat. Sebagaimana diketahui, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menggagas perlunya sertifikasi bagi para penceramah khutbah sholat jumat. Bila gagasan tersebut disetujui maka seseorang berhak atau boleh memberi ceramah bila ia sudah memegang sertifikat yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama.
Upaya ini dilakukan sebab pemerintah merasa gerah sebab ada penceramah yang dalam khutbahnya sering mengejek dan menjelek-jelekan kelompok lain. Apa yang diceramahkan tersebut menurut menteri agama tidak menyampaikan ceramah sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan konfrotatif.
Benarkah para penceramah melakukan ucapan seperti yang ‘dituduhkan’ oleh menteri agama yakni menjelek-jelekan kelompok lain? Nah, jelek atau baik itu tergantung dari subjektifitas telinga kita sehingga ukurannya tidak jelas. Bisa jadi jelek menurut kita belum tentu jelek menurut orang lain, pun demikian sebaliknya. Kemudian kelompok lain yang dijelekjelekan dimaksud oleh menteri agama itu kelompok yang mana.
Apakah pemerintah di sini hendak bertindak sebagai pengadil sehingga para penceramah perlu dibina ataukah sebab penceramah banyak yang mengkritisi penguasa sehingga perlu diseleksi. Bila hendak menjadi pengadil, pemerintah harus serius dalam masalah ini. Pemerintah jangan sampai bertindak ketika dirinya diusik namun diam ketika kelompok lain dijelekjelekan oleh masyarakat lainnya.
Soal sertifikasi yang digagas oleh menteri agama, sebenarnya gagasan itu bukan barang baru. Gagasan memilih dan memilah orang agar sesuai dengan selera pemerintah sudah marak pada masa Orde Baru. Untuk mencegah sisa-sisa anggota, simpatisan, dan keluarga PKI, pemerintah Orde Baru sejak awal mengeluarkan aturan larangan bila mau menjadi pegawai negeri atau syarat-syarat untuk mendapat fasilitas negara lain, ada syarat yang harus dipenuhi yaitu tidak pernah terlibat dalam Pemberontakan G 30 S/PKI secara langsung atau tidak langsung.
Akibat yang demikian banyak anggota, simpatisan, dan keluarga PKI yang tidak bisa menikmati fasilitas negara. Mereka disisihkan sebab dianggap mempunyai potensi ancaman. Di kartu tanda penduduk mereka dicap OT, organisai terlarang. Tidak puas dengan larangan itu, masyarakat biasanya pun ketika hendak mengurus sesuatu mereka juga harus mendapat surat kelakuan baik dari kepolisian dan aparat TNI di tingkat Kecamatan, Polsek dan Koramil.
Apa yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru itu memang sukses, di mana masyarakat menjadi takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Sehingga stabilitas politik dan sosial terjadi sesuai dengan selera penguasa.
Meski cap OT tetap diberlakukan untuk membendung anggota, simpatisan, dan keluarga PKI tetap diberlakukan, ketakutan pemerintah pada masyarakat tetap saja terjadi. Untuk itu pemerintah mewajibkan setiap elemen masyarakat memiliki sertifikat berperilakuan Pancasila. Untuk mendapat sertifikat berperilakuan Pancasila, pemerintah menggarap setiap kalangan masyarakat tidak hanya bagi orang dewasa namun juga kalangan anak baru gede, masuk SMP. Pada masa itu mulai dari SMP hingga jenjang atas bahkan sampai pejabat tinggi diwajibkan mengikuti Penataran P4.
Program Penataran P4 ini durasinya tidak tanggung-tanggung, selama 100 jam. Dalam penataran itu berbagai warna buku diberikan kepada peserta dan setiap hari diberi materi soal Pancasila oleh petatar.
Apakah program litsus dan sertifikasi pemerintah itu berhasil? Nah belum ada ukuran sejauh mana efektifitas program pemerintah yang dilakukan itu. Yang pasti pemerintah melakukan hal yang demikian, tujuan utamanya adalah untuk menertibkan masyarakat. Sayangnya masyarakat tertib pada masa itu bukan karena mereka sudah dilitsus atau mendapat sertifikat dari pemerintah namun karena pendekatan militer yang digunakan.
Penataran P4 yang waktu itu meski pelaksanaannya dilakukan secara indoktriner namun masyarakat, terutama dari kalangan pelajar menerimanya secara cerdas. Mereka menerima materi dengan baik di dalam kelas namun mereka mengembangkan pemikiran kiritisnya di masyarakat sehingga kalau kita amati, gerakan tahun 1998, mayoritas mereka adalah orang-orang yang mendapat Penataran P4.