Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Sepakbola Gajah

8 Desember 2014   16:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pada masa Kerajaan Majapahit hendak didirikan dan di era kejayaannya, nama Gajah adalah nama yang sangat berjasa dan sangat dimuliakan. Lihat saja bagaimana ketika Gajah Pagon mengawal Raden Wijaya ketika dikejar musuhnya. Ia rela mengorbankan nyawanya untuk melindungi yang mulia sampai darah titik penghabisan. Perlindungan yang diberikan kepada raja pertama Majapahit itu dari ancaman pembunuhan, membuat pahanya sampai kena tombak hingga dirinya ditinggal oleh pengawalan penyelamatan Raden Wijaya yang berlari menuju ke arah utara dari Kediri.

Kesetiaan Gajah Pagon kepada sang raja pertama Majapahit menular kepada anaknya, Gajah Mada. Dalam cerita, Gajah Mada adalah sosok yang setia kepada bangsa dan negara Majapahit. Kesetiaan itu diberikan kepada Majapahit dengan satu tujuan bangsa dan negara itu besar, dihormati, dan disegani pihak-pihak lain.

Bahkan kesetiaan Gajah Mada kepada bangsa dan negara melebihi kepentingan pribadi sang raja. Ketika Raja Hayam Wuruk hendak menikahi putri Kerajaan Sunda, Diah Pitaloka, Gajah Mada menggunakan moment itu untuk menaklukan Kerajaan Sunda agar mau mengakui kebesaran dan keberadaan Majapahit. Jadi Gajah Mada menggunakan berbagai macam cara agar kerajaan yang beribukota di Trowulan itu besar dan jaya.

Sosok Gajah Mada yang fenomenal dan melegenda, membuat dirinya dipuja-puja dan disamakan dengan para dewa. Di masa Majapahit di ambang kemunduran, seluruh rakyat meratapi masa depan bangsa dan negara-nya dengan membuat arca-arca Gajah Mada. Dengan arca itu merupakan pesan simbolik bahwa rakyat ingin Majapahit mengalami masa kejayaan seperti di era sang Gajah.

Dalam kepercayaan agama Hindhu, gajah juga menjadi salah satu simbol yang suci. Ganeca yang sering kita lihat dalam relief, patung, gambar, dan lukisan yang berwujud gajah berbelalai panjang, berlengan empat, dan bertumbuh tambun merupakan dewa yang dipercaya ummat Hindhu sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan. Tak hanya itu, Ganeca juga diyakini sebagai dewa pelindung dan penolak bala serta sebagai dewa kebijaksanaan. Sebagai simbol kecerdasan dan pengetahuan itulah yang bisa jadi membuat ITB menjadikan Ganeca sebagai simbol institusinya.

Ada pengalaman menarik saat penulis mengunjungi Museum Nasional, Jakarta, di mana bertanya kepada satpam yang pastinya sudah hapal dengan koleksinya di tempat itu. Ketika ditanya di mana patung Gajah Mada (dalam koleksi museum diberi label Bima, Panji Kertolo, dan Brajananta), satpam itu langsung menunjuk arca Ganeca. Satpam itu tidak salah, ia menganggap Ganeca dan Gajah Mada sama-sama gajah.

Namun saat ini kata dan nama gajah menjadi jelek. Pasalnya antara PSS dan PSIS melakukan sepakbola gajah. Sepakbola gajah adalah sebuah sepakbola di mana pertandingan dan hasilnya sudah diatur. Di sini ada pihak yang mengalah. Sepakbola gajah melanggar kampanye FIFA yang selalu mengumandangkan fair play. Sepakbola gajah semakin memperpuruk wajah sepakbola nasional di tengah tidak berprestasinya tim nasional dan maraknya tawuran antarsuporter.

Pertandingan PSS dan PSIS harus kita akui bukan pertandingan pertama yang memainkan sepakbola gajah. Beberapa tahun yang lalu, Persebaya dan Persipura pernah melakukan sepakbola yang serupa. Skor-nya bisa lebih mencengangkan 0-12 buat Persipura. Tak lama setelah pertandingan itu, Persebaya dan Persija juga melakukan hal yang sama.

Dalam masa penegakan hukum, kita bersyukur pemain dan pelatih PSS dan PSIS dijatuhi hukuman. Ini penting sebab agar mereka jera dan tidak menular ke kesebelasan lain untuh gajah-gajahan.

Sebutan sepakbola gajah disematkan kepada kedua kesebelasan yang sudah mengatur jalannya pertandingan di luar lapangan, diambil dari pengalaman pertandingan sepakbola gajah sungguhan yang diselenggarakan di Lampung di tahun 1980-an. Dalam sepakbola antar kesebelasan gajah, pastinya pertandingan itu seperti sirkus, di mana gajah dilatih untuk menendang, menggiring, dan menangkap bola, semua diatur termasuk skor-nya. Dari sinilah istilah sepakbola gajah muncul.

Gajah yang pada masa Majapahit memiliki nama yang harum dan sebelumnya juga tidak mempunyai konotasi negatif seperti tikus, buaya, kadal, serigala, dan ular, setelah kejadian di atas namanya menjadi rusak dan jelek. Sebutan sepakbola gajah sekarang mempunyai arti adanya kecurangan. Dengan posisi yang demikian bila menggambungkan kata sepakbola dengan gajah membuat ungkapan yang sama seperti air mata buaya, serigala berbulu domba, dan ular berkepala dua.

Setelah hukuman itu dijatuhkan, sebuah twitter bercuit dengan kalimat, “Tangkap dan hukum Gajahnya.” Cuitan itu mempunyai pesan, hukuman yang diberikan tidak hanya kepada pelatih dan pemain namun juga manajer dan pengelola klub. Manajer dan pengelola klub sebagai orang besar disimbolkan dalam cuitan itu sebagai gajah. Cuitan itu menunjuk bahwa top elit yang menyuruh melakukan perbuatan curang adalah gajahnya, biang utamanya.

Jadinya, kasihan deh sama binatang gajah dan pada orang yang bernama Gajah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun