Setelah rekaman video Ahok, saat memberi sambutan di salah satu gugusan Pulau Seribu dilaporkan ke aparat kepolisian, sekarang lapor melaporkan kerap terjadi di masyarakat. Sudah beberapa kasus dengan berbagai tuduhan dilaporkan masyarakat kepada aparat yang berwajib, seperti kasusnya Ahmad Dhani, seorang perempuan yang mengkafirkan pihak lain, dan ucapan Habieb Rizieq dalam ceramahnya pada 25 Desember 2016.
Melaporkan masalah atas sesuatu tindakan yang tidak mengenakan, dalam hukum yang ada memang masyarakat diberi ruang yang cukup lebar. Dengan demikian, satu pihak tidak bisa semena-mena kepada pihak yang lain. Namun menjadi masalah berapa banyak polisi akan menerima laporan bila masyarakat sedikit-dikit mengadukan tindakan yang tidak mengenakan bagi diri dan golongannya.
Kalau kita selusuri ketika media sosial mulai dari facebook, twitter, youtube, dan sebagainya menyeruak di tengah masyarakat, pengguna mudah sekali dan ringan tangan dalam mengunggah status. Status itu mulai dari perasaan dan masalah pribadi hingga soal masalah publik seperti agama dan politik. Keberhasilan Presiden Barack Obama dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat yang salah satunya didukung oleh kampanye massif lewat media sosial membuat cara-cara yang demikian digunakan oleh semua orang. Di Indonesia pun hal yang demikian juga terjadi di mana kemenangan Joko Widodo dalam Pemilu Presiden juga didukung oleh banyaknya unggahan dan cuitan di media sosial.
Namun sisi positif dari media sosial itu dibarengi dengan sisi negatif dari penggunaan media sosial. Pengguna tidak hanya mendukung satu pihak namun juga melecehkan pihak yang lain. Berani melecehkan di satu pihak, tidak hanya dalam urusan politik namun juga dalam urusan agama, nah di sinilah bahaya itu muncul. Pengguna tidak tanggung-tanggung melecehkan penganut agama lain dengan tuduhan dan sebutan yang tidak pantas.
Mengapa pengguna media sosial dengan mudah mengunggah status yang tidak sopan bahkan merendahkan pihak yang lain sehingga sampai-sampai satu pihak melaporkan kepada aparat yang berwajib? Munculnya status yang demikian disebabkan oleh, pertama, pengguna media sosial tidak sadar bahwa menggunakan sarana ini bukan dalam ruang tertutup, bukan pertemuan empat mata yang kedap dari penglihatan orang lain, namun berada dalam ruang terbuka sehingga semua orang melihat, memantau, dan mengawasi apa yang kita unggah. Satu status yang kita unggah bisa dilihat dan dibaca oleh banyak orang yang berjejaring.
Ketidaksadaran pengguna media sosial bahwa dirinya tidak berada dalam ruang tertutup itulah membuat dirinya juga tidak sadar bahwa apa yang ditulis bisa menyinggung orang lain. Ketidaksadaran ini dirasakan tidak hanya satu atau dua orang namun mayoritas pengguna sehingga setiap hari tulisan-tulisan pedas dan tidak mengenakan ber-sliweran.
Kedua, adanya saling serang di media sosial bisa jadi masyarakat mudah terprovokasi. Ketika ada pengguna media sosial mengunggah status yang melecehkan maka pihak yang lain akan menimpali. Saling menimpali dan tidak mau mengalah itu akhirnya memancing emosi dan pikiran di luar akal sehat, akibatnya kata-kata yang kasar dan menyakitkan terunggah dalam status. Bagi masyarakat yang menanggap hal yang demikian tidak penting, wajar, dan menerima maka perdebatan di media sosial itu akan selesai dan berganti dengan topik yang lain yang juga akan memancing salin serang selanjutnya.
Namun bagi salah satu pihak yang tidak terima maka status atau unggahan yang ada dalam media sosial itu bisa dilaporkan kepada aparat yang berwajib. Kasus seorang perempuan yang menuduh pihak yang lain kafir kalau diselusuri di media sosial hal yang demikian banyak dan biasa kita baca dalam facebook atau twitternamun karena ia dilaporkan maka berita itu menjadi besar.
Provokasi yang dilakukan oleh pengguna media sosial dalam statusnya itu jangan dianggap mereka orang yang bodoh atau tidak berpendidikan, ’provokator’ dalam media sosial itu bisa juga mereka dari kalangan terpelajar. Ada beberapa dosen dari perguruan tinggi ternama di Indonesia bahkan dari Australia dan Amerika Serikat sering mengunggah status yang memancing reaksi keras dari pihak yang lain.
Ketiga, saling lapor terjadi bisa jadi sebagai aksi ’balas dendam’ satu pihak kepada pihak yang lain. Beberapa kasus yang dilaporkan ke aparat kepolisian saat ini bisa jadi respon dari dilaporkannya Ahok kepada polisi. Bila masih ada rasa balas dendam maka saling lapor itu akan terus terjadi. Saling lapor di sini bukan karena ketersinggungan namun lebih banyak dikarenakan ingin menjatuhkan pihak lain terutama menjelang Pilkada.
Untuk menghentikan saling hujat di media sosial tentu tidak mudah sebab media itu sangat terbuka seperti pasar becek, siapapun bisa memafaatkan dan menggunakan. Untuk menumbuhkan kesadaran mengunggah status yang sehat dan positif pun juga tak gampang, jangankan yang tidak berpendidikan, yang mempunyai gelar S3 seperti Dr atau PhD pun juga juga masih sering mengunggah status yang provokatif.