Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pisau Bernama Media Sosial

12 Januari 2015   22:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Media sosial seperti facebook, twitter, path, dan lainnya yang ngetrend saat ini bebas digunakan oleh siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, umur, agama, suku, bangsa, jenis darah. Untuk bisa bermedia sosial pun tak perlu ijin atau memiliki surat keterangan seperti SIM, KTP, dan passport. Kebebasan yang demikianlan membuat status yang ada di media sosial beragam dari masalah pribadi sampai masalah grup.

Kecuali pornografi, apa yang diunggah pengguna tak bisa disaring. Nah di sinilah masalah ketika tak ada saringan untuk menyeleksi status-status yang terunggah. Sejak beberapa tahun yang lalu banyak cerita di mana status yang nongol di media sosial menimbulkan masalah hukum, norma, dan etika di antara pengguna. Ada murid yang mencaci gurunya di facebook, ada pula pemerkosaan dan penculikan akibat perkenalan di facebook.

Meski kejadian itu sudah terulang namun pengguna media sosial sepertinya tak pernah mau belajar, buktinya masalah akibat dari status yang diunggah tetap muncul, misal ada facebooker yang menghujat Kota Jogjakarta, ada facebooker yang mencaci maki ustad, bahkan yang paling menyedihkan di saat ada musibah hilangnya pesawat Air Asia QZ 8501, seorang facebooker mengunggah status yang isinya sangat melukai semua pihak. Karena statusnya menyinggung banyak orang maka sang pengunggah menjadi sasaran caci maki dan hal yang demikian menjadi isu yang panas dimuat oleh banyak media. Cacian yang demikian tak hanya di facebook namun juga muncul di path.

Kalau kita amati, penggunaan teknologi komunikasi yang memberi layanan media sosial membuat penggunanya mengasingkan atau mengisolasi diri dari lingkungan sosial yang ada. Lihat saja di tengah keramaian, baik di mall, angkutan umum, pasar, bandara udara, atau tempat lainnya, pengguna media sosial asyik dengan dirinya sendiri, mereka tidak peduli dengan lingkungan yang ada. Mereka tidak peduli ada orang lalu lalang di kanan kirinya ketika asyik menggunakan bermedia sosial.

Saking asyiknya itulah membuat mereka hilang kesadaran. Mereka menganggap bahwa media sosial sekupnya sebatas diri dan alat yang dipegangnya, hanya dua arah antara dirinya dengan pengguna media sosial lainnya. Mereka hilang kesadaran sehingga menganggap media sosial seperti dalam ruang yang tertutup dan kedap dari manusia yang lain. Mereka tidak sadar bahwa media sosial merupakan wahana yang demikian luasnya. Jaring-jaringnya bisa dari ujung kutub ke kutub yang lain.

Bila ada yang mengunggah dengan status yang sifatnya melecehkan, bisa jadi karena pengguna terperangkap dalam paparan di atas, hilangnya kesadaran dan menganggap media sosial sebagai ruang yang tertutup atau terbatas. Facebooker yang mencaci gurunya bisa jadi ia beranggapan status itu hanya akan dibaca oleh teman sekelasnya padahal guru dan kepala sekolah bahkan orang seluruh dunia bisa mengetahuinya.

Untuk itu di sini pentingnya menggunakan media sosial secara sehat. Banyak tips cara menggunakan media sosial sehat yang sudah diluncurkan oleh media massa. Misalnya dengan mengurangi waktu dalam menggunakan media sosial, lebih banyak berinteraksi sosial secara langsung, dan mengendalikan diri saat menyikapi apa yang ada.

Media sosial itu ibarat sebuah pisau. Ia bisa bermanfaat, bisa pula membuat celaka, tergantung dari penggunannya. Bila pengguna bisa memanfaatkan dengan baik maka pisau itu bisa untuk membantu hidupnya namun bisa menjadi sebaliknya, pisau bisa menjadi alat untuk membunuh bila digunakan oleh orang yang tidak baik.

Bila dengan alasan banyaknya media sosial digunakan sebagai arena untuk saling caci maki, menghujat, dan menfitnah, lalu kemudian kita meminta untuk menutup atau memblokir, langkah demikian sebuah keinginan yang tidak bijak sebab masih banyak sisi positif dari media sosial yang memberi keuntungan masyarakat.

Media sosial booming atau meledak pemakaiannya ketika sarana ini digunakan untuk  melakukan  dukungan kepada Barack Obama saat Pemilu Presiden Amerika yang diikuti pertama kali oleh Obama. Massifnya dukungan rakyat yang disalurkan lewat media sosial membuat cara itu sebagai salah satu faktor yang memenangkan Obama.

Pun demikian media sosial yang ada sekarang banyak juga digunakan untuk menjalin pertalian silaturahmi perkawanan baik yang didasari satu sekolah, satu kegemaran, satu daerah, dan satu profesi. Bagi orang yang berjiwa pedagang, banyak menggunakan media sosial untuk membuka toko online.

Jadi jangan sampai karena banyaknya media sosial digunakan sebagai tempat mencaci maki dan menghujat lalu kita menyalahkan sarana komunikasi yang massal itu. Memang ada sisi negatifnya dari penggunaan media sosial namun sisi positif dan memberi keuntungan juga tak kalah banyaknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun