Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pidato 7 Menit, Bisa?

31 Januari 2017   07:54 Diperbarui: 31 Januari 2017   08:04 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah acara resmi yang dihadiri oleh Presiden yang melibatkan menteri atau ketua lembaga negara lainnya, sekarang acara yang digelar itu durasi waktunya akan lebih cepat. Misalnya dalam kegiatan yang dihadiri Presiden, menteri, dan ketua lembaga negara biasanya memakan waktu 2 jam, nanti hanya 1 jam.

Terpotongnya waktu sehingga acara menjadi lebih singkat dalam setiap acara kepresidenan bisa terjadi akibat Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada tanggal 23 Desember 2016 menandantangani surat edaran agar pidato menteri dan juga ketua lembaga negara tak lebih dari tujuh (7) menit. Tak lebih dari tujuh menit, berarti menteri atau ketua lembaga negara bisa melakukan pidato satu, dua, tiga, empat, lima, atau enam menit. Bila di atas tujuh menit, berarti ia melanggar surat edaran itu. 

Surat edaran itu langsung didukung oleh para menteri. Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara dan Menkopolhukam Wiranto, senada mendukung surat edaran itu. Rudiantara mengatakan, dengan aturan itu membuat menteri atau ketua lembaga negara sadar akan posisinya di hadapan Presiden. Sedang Wiranto menyebut dengan aturan itu membuat acara menjadi tidak bertele-tele sebab Presiden mempunyai keterbatasan waktu. Ditegaskan oleh Pramono Anung, dengan aturan itu maka menteri atau ketua lembaga negara tidak berorasi di depan Presiden. Bila menteri atau ketua lembaga negara saja tidak boleh lebih dari tujuh menit apalagi kepala daerah atau jabatan lain yang posisinya di bawah menteri atau ketua lembaga negara.

Bila kita amati acara Presiden dalam kunjungan ke daerah kabupaten atau kota, misalnya, memang dalam acara itu seperti menjadi ajang ‘lomba pidato’. Dalam acara itu ada pidato ketua panitia, pidato bupati atau walikota, pidato gubernur, pidato menteri terkait, dan ditutup dengan pidato Presiden. Bila satu orang memakan waktu pidato selama 10 sampai 15 menit maka dalam acara itu untuk pidato saja sudah mengambil waktu hampir satu jam. Akibatnya tidak saja Presiden yang bisa jadi capai mendengar pidato-pidato itu namun juga membuat undangan lainnya menjadi bosan bahkan tertidur.

Lamanya acara tersebut tidak hanya berimbas pada kejenuhan peserta acara namun juga berdampak pada pengamanan Presiden. Bila ada acara Presiden, biasanya jalan-jalan mengarah ke tempat acara ditutup. Bila acara semakin lama maka penutupan jalan akan semakin lama pula. Hal demikian berimbas pada gerak lalu lintas kendaraan. Bila lalu lintas kendaraan tak bisa bergerak karena jalan ditutup maka akan berpengaruh pada perputaran ekonomi. Bila perputaran ekonomi terganggu maka yang rugi adalah kita semua. Dari sinilah maka kalau acara dipersingkat maka hal-hal yang demikian tidak terjadi.

Meski pemendekan acara Presiden mempunyai dampak yang baik namun ada dampak demokrasi yang hilang dari aturan itu. Entah mengapa surat edaran itu dibuat, apakah di sini ada ketakutan Presiden mendengar laporan dari menteri atau ketua lembaga negara tentang kondisi negara dan bangsa yang tidak menguntungkan ataukah Presiden tidak mau disaingi oleh menteri atau pimpinan lembaga negara dalam berpidato ataukah Presiden tidak mau dijatuhkan wibawanya karena kritikan keras yang langsung didengar dan dilihatnya.

Dalam momen tersebut sebenarnya Presiden bisa menggunakan waktunya untuk mendengarkan laporan dari menteri, ketua lembaga negara, atau kepala daerah tentang kondisi bangsa ini. Dalam sebuah acara di daerah, biasanya menteri dan kepala daerah menguraikan permasalahan yang ada secara panjang lebar. Data-data diungkapkan, baik kemajuan atau kegagalan. Nah hal semacam inilah seharusnya menjadi masukan Presiden secara langsung untuk memperbaiki pola pembangunan. Bertemu dengan Presiden, tidak bisa dilakukan oleh kepala daerah setiap saat sehingga biasanya kepala daerah sangat semangat bila berhadapan dengan orang nomer satu itu. Dari sini maka Jokowi bisa melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Presiden Suharto yakni sambung rasa dengan rakyat.

Presiden Jokowi sebelum menjadi Presiden, saat menjadi Gubernur Jakarta dan Walikota Solo, dikenal sosok yang dekat dengan rakyat dan mendengar apa yang dikeluhkan. Dengan keluhan itu maka dirinya bisa melakukan pembangunan yang pro rakyat. Namun ketika menjadi Presiden dan adanya surat edaran pembatasan pidato tersebut maka pastinya akan banyak keluhan yang tidak bisa tersampaikan sebab durasi waktu untuk ngomong dibatasi.

Pembatasan waktu pidato tersebut bisa jadi tidak mengurangi Jokowi dalam menyerap aspirasi masyarakat namun pembatasan waktu pidato tersebut bisa jadi untuk menangkal kritik-kritik keras yang dilakukan langsung oleh seseorang di depan khalayak umum. Dalam acara Hari Pers Nasional tahun 2016 yang digelar di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Gubernur NTB Zainul Majdi berani berkata lantang soal Bulog yang tidak bekerja secara maksimal di hadapan Jokowi. Meski kritik itu tidak langsung tertuju pada Jokowi namun apa yang dikatakan Zainul Majdi itu sebuah tamparan keras bagi pemerintah.

Apa yang dilakukan Zainul Majdi itu menjadi pelajaran penting bagi lembaga kepresidenan. Selanjutnya dalam era keterbukaan, kebebasan berpendapat, atau musim pencitraan, maka banyak orang ingin mengungkapkan permasalahan yang ada secara lantang dan keras kepada siapapun termasuk kepada Presiden. Hal-hal inilah yang dikhawatirkan oleh lembaga kepresidenan sehingga mereka mencari cara agar kritik keras dan langsung di hadapan Presiden tidak terjadi. Bila seseorang mengkritik secara frontal di hadapan Presiden serta berulang-ulang maka wibawa Presiden pasti akan jatuh. Untuk mengantisipasi itu maka pidato di hadapan Presiden dibatasi dengan waktu yang pendek.

Para menteri, ketua lembaga negara, atau pihak lainnya dirasa baik atau dekat dengan Presiden sehingga tidak ada kekhawatiran dari lembaga kepresidenan ketika mereka menyampaikan pidato namun namanya manusia, bisa saja keceplosan. Nah hal-hal inilah juga dikhawatirkan oleh lembaga kepresidenan sehingga waktu berekspresi di depan Presiden dipangkas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun