Merasa Gagal Atasi Macet, Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Mengundurkan Diri. (http://ppid.dephub.go.id)
Dengan alasan ketidakmampuan mengatasi lonjakkan jumlah kendaraan yang melintasi jalan tol, Dirjen Hubungan Darat Kementerian Perhubungan, mengundurkan diri. Sebagaimana kita ketahui liburan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Natal Isa Almasih yang berhimpit dengan hari Sabtu dan Minggu membuat rentang waktu bebas kerja menjadi panjang.Â
Libur panjang ini dimanfaatkan oleh warga untuk melakukan perjalanan berwisata atau mudik ke kampung halaman. Dengan alasan naik kendaraan pribadi lebih praktis maka seluruh orang menggunakan sarana transportasi yang demikian. Akibatnya di jalan-jalan seperti terjadi tsunami kendaraan roda empat, jalan-jalan dibanjiri ribuan bahkan jutaan mobil.
Kembali soal mundurnya pejabat yang tidak mampu mengatasi kerja yang dibebankan, apa yang dilakukan Dirjen Perhubungan Darat itu bukan orang pertama. Sebelumnya dengan alasan yang sama, tidak mampu mencapai capaian, Dirjen Pajak juga memilih meninggalkan jabatannya untuk mundur. Setelah itu, dengan alasan minta saham PT. Freeport, Setya Novanto juga menyatakan diri mundur sebagai Ketua DPR.
Mundur bila pejabat tidak mampu bekerja atau karena alasan tertentu seperti dilakukan oleh ketiga orang tadi disebut sebagai budaya baru yang perlu dikembangkan. Dengan budaya itu menjadikan orang lebih bertanggungjawab dalam mengemban amanahnya.
Budaya mundur bila seseorang tidak mampu bekerja atau karena alasan tertentu, di negara lain sudah menjadi kebiasaan. Jepang disebut sebagai negara yang mempunyai budaya mundur bila seseorang tidak mampu bekerja atau melakukan kesalahan. Bahkan bila orang Jepang bila melakukan kesalahan atas pekerjaan yang dilakukan, mereka tidak hanya mundur namun melakukan harakiri, bunuh diri untuk menebus dosa atas kelalaian atau kesalahan yang dibuatnya.
Dari budaya seperti ini maka pemerintahan Jepang sering gonta-ganti. Mereka gonta-ganti bukan karena masalah-masalah politik atau dijatuhkan namun mereka merasa tidak mampu bekerja. Selain itu di kalangan masyarakat proffesional banyak juga yang melakukan hal demikian dengan alasan tak mampu menjalankan tugas dengan baik dan benar.
Lalu cocokkah budaya mundur itu dikembangkan di Indonesia? Dari segi normatif cocok. Apapun yang sifatnya normatif itu pasti bagus dan memberi pelajaran yang positif pada masyarakat namun kalau budaya mundur ini mau dikembangkan, perlu diciptakan ‘infrastruktur’ sosial yang mendukung agar budaya mundur ini memberi nilai positif pada si pelaku dan tidak menimbulkan sikap pro dan kontra pada masyarakat.
Budaya mundur di Jepang sebagai bentuk kehormatan bisa jadi memang yang melakukan mundur itu adalah ‘pelaku tunggal’ dari kesalahan yang dibuat. Sebagai negara yang memiliki budaya kerja dan disiplin yang sangat tinggi, gerak dinamika masyarakat di sana selalu terukur. Apa yang dilakukan akan menjadi gerak yang saling mendukung. Bila ada yang tidak bekerja dengan baik dan tak disiplin, itu akan mengganggu ritme kerja yang lain. Yang tidak disiplin itulah yang menyebabkan gangguan dari sistem kerja yang saling terhubung. Atas kesalahannya itu maka ia diwajibkan untuk mundur karena telah mengganggu sistem yang berjalan.
Hal demikian lain dengan di Indonesia, budaya kerja di Indonesia antara satu dengan yang lain tidak seirama, ada yang bekerja keras, ada yang santai, ada pula yang malah meninggalkan kerja. Akibat yang demikian, maka koneksi atau hubungan antara yang satu dengan yang lain tidak sejalan. Bagian yang satu belum tentu didukung oleh yang lainnya. Dengan sistem yang terhubung maka ukuran seseorang melakukan kinerjanya baik atau buruk tidak ada ukuran yang pasti.
Bila si A melakukan kerja dengan baik dan si B melakukan kerja yang buruk, kemudian mereka disatukan dalam sistem, lalu hasilnya tak maksimal. Hasil tak maksimal itu apakah publik tahu karena itu gara-gara si B yang tak maksimal dalam melakukan kinerja?