Menjelang sore, bus yang saya naiki dari Pnom Penh, Kamboja; telah masuk Kota Ho Chi Minch, Vietnam. Suasana khas dari Ho Chi Minh, sebagaimana diberitahu oleh teman benar adanya bahwa di kota terbesar di Vietnam itu jalan-jalan dipadati oleh sepeda motor. Sepeda motor menjadi pilihan masyarakat di kota yang dulunya bernama Saigon itu. Pilihan menggunakan sepeda motor bisa jadi alasannya sama dengan alasan orang Indonesia, yakni lebih cepat, efektif, dan efisien.
[caption id="attachment_379706" align="aligncenter" width="300" caption="Lubang persembunyian"][/caption]
Meski demikian, pemerintah setempat juga menyediakan sarana transportasi umum, bus. Bus yang melayani masyarakat mempunyai jalur yang menyeluruh. Layanan yang diberikan juga lebih baik daripada angkutan umum di Jakarta. Bus jarang penuh sehingga sulit kita lihat ada penumpang yang berdiri. Tarifnya pun terbilang murah, dari 7.000 dong hingga 6.000 dong, mata uang Vietnam. Kalau di Indonesia antara Rp3.000 hingga Rp4.500.
[caption id="attachment_379707" align="aligncenter" width="300" caption="lubang persembunyian"]
Berbekal brosur soal Ho Chi Minh dari internet, Ben Thanh Market merupakan tempat yang sering dijadikan titik kumpul para wisatawan asing dan backpacker. Dan tujuan itu saya sampaikan kepada kernet bus. Tanpa banyak berkata, kernet itu hanya menganggukan kepala.
Pada sebuah titik, bus berhenti dan memberi kode kepada saya untuk turun. Rupanya tidak sendiri, ada dua cewek dari Filiphina yang juga turun. Kernet pun mengatakan untuk mengikuti mereka sebab mempunyai tujuan yang sama.
Beruntung dari perkenalan ini, sebab saya bisa bersama mereka menuju ke arah yang sama. Obrolan terjadi seputar backpacker. Dalam perjalanan menuju Ben Thanh terlihat semakin menyakinkan bahwa jalan-jalan di Ho Chi Minch, di dalam kotanya tak terlalu lebar. Ada yang digunakan satu jalur, ada pula yang dua jalur dan semua dipenuhi oleh sepeda motor. Tak lama akhirnya kami tiba di Ben Thanh. Saya turun dari taxi, sementara dua cewek dari Filiphina tadi meneruskan perjalanan untuk mencari alamat yang dituju. Ia bilang mencari alamat kawannya.
[caption id="attachment_379709" align="aligncenter" width="300" caption="Lubang persembunyian"]
Berada di Ben Thanh, serasa seperti di Jl. Malioboro, Jogjakarta. Ada sebuah pasar, Ben Thanh Market, seperti Pasar Beringharjo, di mana di tempat itu banyak dijual baju tradisional, kaos, makanan, minuman, dan berbagai barang seni semuanya khas Vietnam. Bila malam tiba, pasar itu tutup namun di luar suasananya tetap ramai. Banyak pedagang kaki lima yang menjual aneka pakaian dan kaos khas seperti bergambar bintang emas, palu arit, gambar Paman Ho, dan kaos bertuliskan Saigon, Ho Chi Minh, I Love Vietnam, dan lain sebagainya.
Tak hanya itu keramaian tercipta, banyak pedagang makanan, buah-buahan, beer, bahkan ada yang menawari pijat. Suasana yang demikian membuat Ben Thanh ramai dengan wisatawan asing. Terlihat wisatawan dari Eropa, China, Jepang, Korea, Malaysia, hilir mudik di tempat itu. Ho Chi Minh merupakan tempat wisata pilihan bagi orang Malaysia, terbukti di jalan-jalan di sekitar pasar, terdapat banyak rumah makan halal ala Malaysia.
[caption id="attachment_379710" align="aligncenter" width="300" caption="Tentara Viet Cong"]
Selepas menyelusuri pasar dan jalan sekitarnya, saya mendapat tempat untuk menginap. Cocok untuk ukuran backpacker. Malam pertama di Ho Chi Minh lebih banyak digunakan untuk beristirahat sebab esok hari mempunyai rencana ke Cu Chi Tunnels atau Terowongan Cu Chi.
Pagi hari saya bergegas bangun dan mencari tempat yang sudah diberi petunjuk oleh pegawai hotel untuk bisa mencapai Terminal Bus Cu Chi. Meski demikian kebingungan sempat kualami. Bahasa Inggris orang Vietnam yang tidak bagus kadang membuat saya terpontang-panting dengan informasi yang disampaikan. Bertanya kepada petugas di jalan, yang berpakaian serba hijau, mereka malah berdebat sendiri. Setelah saya tunjukan gambar Terowongan mereka baru paham. Disarankan saya naik bus No. 13. Rupanya bus itu berada di jalur saya tidak jauh berdiri.
[caption id="attachment_379711" align="aligncenter" width="300" caption="ruang bawah tanah"]
Lega hati setelah berada di bus itu, hanya dengan 6.000 dong atau sekitar Rp3.000 saya bisa melaju hingga Terminal Cu Chi. Jarak dari saya naik ke terminal terbilang lumayan jauh sekitar 20 km. Meski demikian bus tak putar haluan, seperti kebiasaan Metro Mini atau Kopaja di Jakarta yang sering balik kucing karena alasan tak ada penumpang.
Akhirnya tiba di terminal, sesampai di tempat itu kusempatkan untuk mencari makanan pengganjal perut sebab pagi hari belum sarapan. Setelah makan semacam roti yang tengahnya dibelah kemudian diisi oleh sayuran, saya mencari bus No. 79. Agar tak bingung maka gambar Terowongan saya perlihatkan ke sopir. Rupanya sopir sudah paham tempat itu karena banyak wisatawan luar Vietnam menuju ke Terowongan dan lokasi gerbang wisata perang itu hanya 10 meter dari laluan bus No. 79.
[caption id="attachment_379712" align="aligncenter" width="300" caption="pusat pembuatan senjata"]
Jalanan yang sepi membuat jarak 10 km dari Terminal ke Terowongan ditempuh cukup cepat. Ketika hendak tiba, sopir memberi tahu saya untuk turun. Setelah bus meninggalkan para penumpang yang turun di tempat itu, semuanya menyeberang jalan sebab Terowongan berada di sebelahnya.
Memasuki lokasi itu, pengunjung akan melewati sebuah gerbang yang berwarna merah dengan tulisan Bahasa Vietnam yang kita tidak tahu apa artinya. Setelah berjalan sejauh 20 meter, terdapat sebuah loket yang menerangkan harga tanda masuk. Untuk wisatawan tertera 90.000 dong atau Rp45.000. Tanpa banyak pertanyaan, tiket tanda masuk seharga itu saya beli.
[caption id="attachment_379713" align="aligncenter" width="300" caption="pusat pembuatan senjata"]
Kekurangan dari lokasi wisata perang ini adalah minimnya tanda petunjuk ke mana harus melangkah sehingga bingung ke mana selanjutnya. Rajin-rajin bertanya adalah solusi untuk bisa menemukan di mana Terowongan itu ada. Sebelum menuju ke Terowongan, ada bangunan semacam temple yang besar dan bangunan pagoda yang tinggi. Di depan temple itu berkibar dua bendera merah ukuran besar, satu bergambar bintang emas dan satunya bergambar palu arit. Temple besar itu rupanya adalah Temple Paman Ho. Paman Ho nama lengkapnya adalah Ho Chi Minh adalah bapak pendiri Vietnam. Di temple itu, banyak orang Vietnam yang bersujud depan Patung Paman Ho dan berdoa.
Selepas berada di dalam temple, saya berjalan sejauh 50 meter. Hingga tiba di pintu masuk Terowongan. Di pintu itu sudah ada beberapa orang berpakaian serba hijau, pakaian khas pegawai di Vietnam, bisa jadi mereka adalah para tentara. Di pintu masuk tertera beberapa aturan untuk bisa menikmati wisata Terowongan, misalnya seperti tidak mengidap penyakit jantung. Di papan pengumuman itu pula terlihat bahwa Terowongan dikelola dan di bawah pengawasan seorang kolonel.
Meski ada beberapa pemuda yang berpakaian serba hijau, mereka tidak menjelaskan siapa dirinya sehingga membuat saya harus bertanya, “Di mana pemandu?” Setelah ada pertanyaan itu, baru salah satu di antara mereka menjawab, ”Saya.” Selanjutnya mereka mengatakan sebentar lagi menuju ke lokasi.
Tak lama kemudian, saya dengan pemandu mulai menyusuri sebuah jalan setapak di mana kanan-kirinya banyak pepohonan. Hingga akhirnya saya menemukan sebuah patung plastik yang terdiri dari tiga buah, satu menggambarkan tentara wanita dan dua lainnya tentara pria. Mereka berdiri tegak dengan membawa senjata lengkap pertempuran. Mereka menggambarkan pasukan khusus dari Gerilyawan Komunis atau Tentara Viet Cong. Setelah melintasi tempat itu, saya menemukan sebuah bangunan yang mirip gubuk namun masih berdiri tegak. Bertiang kayu dan beratap rumbai. Di tempat itu ada beberapa kursi dan ada sebuah layar televisi berukuran besar. Di bawahnya seperangkat alat elektronik yang biasa digunakan untuk memutar cd atau media rekam lainnya.
Pemandu menjelaskan bahwa di tempat itu akan diputar sejarah perjuangan bangsa Vietnam, Tentara Viet Cong, ketika bertempur dengan Tentara Amerika Serikat dan Australia. Film yang diputar itu sama seperti film-film perjuangan bangsa Indonesia yang biasa diputar di TVRI pada masa-masa Orde Baru seperti Serangan Fajar atau film-film dokumentasi lainnya. Terlihat dalam film itu, bagaimana Tentara Viet Cong bertahan dari serangan tentara asing, bagaimana mereka menggali terowongan. Kemudian bagaimana mereka membuat jebakan. Terbukti perang gerilya yang mereka lakukan sukses, di mana banyak tank musuh yang terkena ranjau hingga akhirnya rusak parah dan tak berfungsi
Selepas pemutaran film, pemandu menjelaskan gambar atau denah Terowongan yang ada. Terlihat Terowongan itu menghubungkan satu tempat ke tempat yang lain. Terowongan itu dibuat tidak hanya untuk mereka ‘menghilang’ dari kejaran tentara musuh dengan cara masuk ke tanah dan keluar di tempat yang lain namun juga menggunakan Terowongan untuk rumah, rapat, sarana transportasi, tempat menyimpan amunisi dan logistik, serta tempat operasi bila terkena peluru atau senjata musuh.
Menarik dari Terowongan itu adalah adanya jebakan yang mematikan. Ini dibuat bila sewaktu-waktu musuh mengetahui letak persembunyian dan mengejarnya maka jebakan mematikan itu akan melumatnya. Menarik lainnya adalah Terowongan itu tembus ke sebuah sungai, jadi para Tentara Viet Cong itu bisa keluar masuk dari sebuah sungai. Seperti dalam film-film Hollywood yang menceritakan tentang film Perang Vietnam meski dalam film itu digambarkan Tentara Viet Cong kalah. Hal demikian merupakan propaganda Amerika Serikat akibat misi yang gagal di Vietnam.
Setelah menjelaskan denah Terowongan, pemandu mengajak pengunjung untuk melihat secara langsung tempat itu. Terbukti memang tempat itu bisa mengelabui Tentara Amerika Serikat dan Australia sebab pintu-pintu masuk Terowongan tersamar dengan daun dan ranting yamg terserak. Tempatnya masuknya pun susah di kenali, hanya Tentara Viet Cong yang tahu, biasanya di dekat pohon.
Untuk menuju ke Terowongan bagi orang yang bertubuh tambun atau gendut tidak bisa karena pintu masuknya tak lebar. Lebar dan tinggi Terowongan bisa jadi satu kali satu meter sehingga ketika melintas di dalam terowongan pastinya harus merunduk.
Suasana pengap menaungi suasana sehingga tak semua pengunjung mau dan berani berada di Terowongan. Berada di dalam bawah tanah, hawa terasa panas sehingga kita bisa membayangkan bagaimana dulu Tentara Viet Cong bisa bertahan dalam bunker itu. Untuk membuat sirkulasi udara, mereka membuat ventilasi dari bambu. Bambu yang mempunyai panjang sekitar 10 meter itu menghubungkan Terowongan ke permukaan tanah. Dari bambu itulah udara segar masuk dan udara kotor keluar.
Terowongan itu memang efektif dalam Perang Vietnam, dengan tempat persembunyian itu, Tentara Viet Cong bisa ‘menghilang’ ketika dikejar musuh dan melakukan jebakan mematikan dengan serangan pendadakan saat musuh lengah dan tak sadar memasuki wilayah lawan. Saking asyiknya menikmati wisata perang itu, tak sadar kalau kunjungan sudah selesai.
Selepas meninjau Terowongan dan berbagai macam jembakan, pengunjung disuguhi beberapa potong ubi kayu yang sudah matang dalam piring dan semangkok kecil berisi garam. “Inilah makanan para gerilyawan ketika berada di dalam Terowongan,” ujar pemandu itu. “Silahkan dihabiskan,” ujarnya dengan ramah.
Usai sudah, pemandu mengucapkan salam perpisahan dan diberi tahu ke mana arah keluar lokasi wisata. Sebelum pengunjung keluar lokasi wisata, akan menjumpai semacam toko souvenir. Di toko itu dijual berbagai macam benda seni dan kaos khas Vietnam. Menarik dari toko itu dijual selendang kecil berwarna hitam di mana ujung dan pangkalnya berwarna poleng. Selendang itu dulunya sebagai penanda bahwa ia adalah tentara Vietnam Viet Cong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H