Dukungan Partai Golkar kepada Presiden Joko Widodo rupanya menimbulkan masalah bagi PDIP. Apa yang dilakukan Golkar itu dianggap oleh PDIP sebagai perbuatan mengambil hak orang lain. PDIP perlu menjaga Joko Widodo dari klaim pihak lain sebab selain ia kader partai juga selama inilah PDIP-lah yang mengusung dirinya maju dalam Pilkada Surakarta dan Jakarta serta Pilpres.
Tahu Joko Widodo kader partai lain dan bukan diusungnya saat Pilpres, hal demikian tidak membuat Golkar merasa kikuk dalam mendukungnya. Bahkan dukungan itu oleh partai berlambang pohon beringin ini dikelola dengan tujuan untuk menaikkan perolehan suara dalam Pilkada yang akan datang. Tanpa malu-malu, Golkar memasang foto Joko Widodo dalam baliho dan spanduk untuk kampanye Pilkada.
Entah mengapa Golkar ngebet banget memasang foto pria asa Solo, Jawa Tengah, itu dalam spanduk atau baliho kampanye. Apakah karena ia sukses melakukan pembangunan sehingga ia semakin populis atau Golkar masih merasa Joko Widodo masih mempunyai daya tarik di tengah semakin banyaknya kritik padanya.
PDIP yang merasa ‘jagonya’ diambil dan dipamerpamerkan oleh Golkar kepada masyarakat, membuat partai berlambang banteng moncong putih itu melobby DPR dan KPU agar cara-cara yang demikian, menggunakan foto Presiden, dalam kampanye dilarang. PDIP pun mengeluarkan segala jurus alasan bahwa tindakan yang dilakukan Golkar itu mengecilkan jabatan Presiden hanya untuk sekadar menjadi pendulang suara.
Ngomong-ngomong soal pelarangan menampilkan foto Presiden dalam kampanye, apa yang terjadi saat ini bukan yang kali pertama terjadi. Dalam masa Orde Baru, pemerintahan Presiden Soeharto melarang partai politik menampilkan foto Presiden Soekarno saat kampanye. Akibat yang demikian massa PDI yang mayoritas adalah soekarnois tidak bisa membawa atau menampilkan Presiden Soekarno saat kampanye. Â Â
Apa salahnya bila membawa foto Presiden atau sosok penting lainnya dalam kampanye? Kampanye adalah ajang bagi partai politik untuk menjanjikan sebuah perubahan dari kondisi yang tidak baik menjadi baik atau mengulang sesuatu yang baik pada masa lalu  untuk dihadirkan pada saat ini yang kondisinya sedang tidak baik, bisa pula mempertahankan yang sudah baik untuk tetap baik.
Untuk itulah partai politik membawa simbol-simbol yang bisa menggambarkan janji-janji itu. Ketika Orde Baru berada dalam suasana otoriter dan tidak ada kebebasan dalam berpartai maka membuat munculnya kerinduan masyarakat pada sebuah masa di mana hidup dalam suasana demokratis. Untuk menjawab angan-angan itu maka dibawalah simbol atau sosok yang bisa menjawab problem yang ada. Dirasa pada masa Presiden Soekarno lebih baik, lebih demokratis, maka simbol-simbol Soekarno digunakan oleh partai politik untuk dijadikan alat kampanye sebagai upaya untuk menarik masyarakat agar memilihnya. Apa yang dilakukan oleh PDI pada masa itu dengan membawa foto Presiden Soekarno memang terbukti efektif untuk mendulang suara.
PDIP pun sekarang masih menggunakan foto Presiden Soekarno untuk kampanye politiknya. Lihat saja di daerah-daerah, kader partai ini saat kampanye Pilkada atau Pileg, dalam baliho yang terpasang selain Megawati juga ada Soekarno.
Menampilkan foto Presiden sebagai alat kampanye, tidak hanya dilakukan oleh PDIP dan Golkar, semua partai mencoba hal yang demikian bila menguntungkan. Bahkan PKS pada Pileg 2009 secara terang-terangan dalam iklan di televisi menggunakan foto Presiden, Soekarno dan Soeharto, selain juga pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan dan pendiri NU KH. Hasyim Ashari.
Apa yang dilakukan PKS itu tentu menimbulkan tanggapan dari banyak pihak namun PKS sepertinya tidak peduli bila ada suara-suara miring. Baginya apa yang dilakukan itu bisa menguntungkan dan terbukti, salah satu cara berkampanyenya itu mampu membuat PKS meraih 57 kursi. Di tahun 2014, cara seperti itu tidak digunakan lagi selain karena ada kasus korupsi yang menimpa Presiden PKS, sehingga perolehan suaranya anjlok dan hanya meraih 40 kursi.
Bagi masyarakat, sosok yang dihormati, dituakan, dan pernah mempunyai jasa yang besar, apalagi  yang sudah meninggal, segala yang melekat pada dirinya dirasa mempunyai tuah. Ia dianggap mempunyai kesaktian, membawa berkah, keuntungan, serta kebaikan. Makam-makamnya diziarahi dan berdoa di sana agar cita-citanya hidup sejahtera tercapai. Bila tak bisa setiap hari berziarah ke makam maka masyarakat cukup memasang foto-foto orang yang mempunyai tuah itu. Foto yang ada dirasa mampu membawa tuah dan perlindungan dari marabahaya. Presiden Soekarno dan Soeharto oleh masyarakat terutama di Jawa dianggap mempunyai tuah sehingga tak heran bila di desa-desa banyak masyarakat yang memasang foto kedua presiden itu.