Pekan-pekan ini Kota Jakarta dan Bandung disibukkan dengan acara Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA). Untuk menyambut acara tersebut, di Kota Bandung, khususnya di sekitar Jl. Asia-Afrika, semua gedung dan taman yang terpampang dipercantik. Kesan demikian ditata agar para delegasi yang datang dari ratusan negara dari Asia dan Afrika menjadi merasa nyaman dan senang.
KAA diperingati oleh Pemerintah Indonesia sebagai upaya menunjukkan bukti bahwa bangsa ini pernah mempunyai peran besar dalam kancah dunia internasional. Meski Ali Sastroamidjojo dan Soekarno bukan orang yang berdiri sendiri di balik penyelenggaraan acara yang berlangsung pada tahun 1955 itu, namun banyak pemimpin dunia seperti Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Pemimpin Myanmar U Nu, Pemimpin Srilangka John Kotelawala, memuji pelaksanaan KAA yang diselenggarakan di Indonesia. Merekalah, yang juga menjadi penyokong dan inisiator KAA. Merekalah yang juga menjadi magnet bagi bangsa lain untuk berduyun-duyun ke Indonesia mengikuti KAA.
Berkat diselenggarakan KAA, negara Asia dan Afrika yang masih banyak dicengkram kolonialisme bangsa Eropa dan Amerika Serikat bisa merdeka. Berkat KAA, badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi tentang dekolonialiasi. Peran besar KAA ini masih dikenang oleh negara-negara Afrika. Mereka selalu mengingat Indonesia bila ditanya soal kemerdekaan bangsanya.
Selepas pemerintahan Soekarno berganti, peran Indonesia dalam kancah-kancah politik internasional surut, kalau ada hanya sebatas di lingkungan Asia Tenggara, kalau dalam sekup dunia internasional, sekupnya hanya sebatas peserta biasa bahkan hanya menjadi penonton. Hal demikian bisa terjadi karena visi Presiden Soeharto dalam kancah dunia internasional tidak segarang Presiden Soekarno, bisa pula tantangan yang dihadapi berbeda dengan jaman sebelumnya.
Vakum keterlibatan Indonesia dalam kancah politik global sekaliber KAA itulah yang membuat peran Indonesia tenggelam di mata negara-negara Asia dan Afrika. Kevakuman itulah yang membuat hanya ada Soekarno di mata rakyat di negara-negara Afrika dan Asia. Padahal Soeharto tak kalah lamanya dengan Soekarno dalam memimpin bangsa ini.
Entah karena tujuan bangsa Indonesia seperti dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia atau ingin disebut sebagai negarawan dunia seperti Soekarno, Ali Sastroamidjojo, Nehru, Nasser, John Kotelawala, U Nu, dan lain sebagainya, maka dalam era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gelora dan spirit KAA ingin dihidupkan kembali.
Pastinya spirit dan gelora KAA itu dihidupkan dengan tujuan keberadaan nasib bangsa Asia dan Afrika bisa menjadi lebih baik. Masih banyak negara Afrika yang masih dililit oleh kebodohan dan kemiskinan. Dengan menggelorakan spirit KAA, diharapkan kerja sama Asia-Afrika bisa mengentaskan kemiskinan.
Dalam era pemerintahan Presiden Jokowi, upacara peringatan KAA yang ke 60 tahun digebyar kembali. Namun Jokowi menggelar acara ini karena usia KAA genap enam dasawarsa atau ingin menggelorakan kembali spirit KAA? Entahlah.
Penulis melihat peringatan KAA atau menggelorakan kembali spiritnya hanya sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Presiden sekarang, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, adalah negarawan yang mempunyai visi besar dalam kancah dunia. Lewat KAA itulah dirinya memperkenalkan diri kepada negara-negara di Asia dan Afrika.
Mengapa lewat KAA? Karena acara itu menjadi ajang reuni bagi negara-negara di Asia dan Afrika yang merasakan dampak dari diselenggarakan konferensi, menjadi negara merdeka, sehingga negara-negara Asia dan Afrika itu mudah dihimpun oleh pemerintah Indonesia. Dalam peringatan atau menggelorakan spirit KAA, Presiden Indonesia di depan para pemimpin Asia-Afrika akan mengucapkan pidato untuk menyampaikan visi dan misi tentang tata dunia yang perlu diciptakan.
Seharusnya Presiden kita lebih kreatif bila ingin disebut negarawan dunia. Tidak hanya menggunakan peringatan KAA untuk ‘mejeng’ di mata pemimpin negara-negara Asia dan Afrika namun juga membuat atau menggagas pertemuan dunia sesuai dengan jamannya.
KAA tahun 1955 digelar untuk memerdekakan bangsa-bangsa dari kolonialisme serta mencegah perang saudara di Vietnam. Bila sekarang negara-negara di Afrika dan Asia sudah seluruhnya merdeka serta konflik di Vietnam sudah selesai, tentu tujuan KAA sudah tercapai.
Sekarang apa yang diperlukan dunia? Meski sudah tak ada kolonialisasi seperti masa lalu, kecuali Palestina yang masih dijajah, namun sekarang masih banyak negara yang terhimpun dalam Asia-Afrika hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Dari kemiskinan dan kebodohan inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik di antara mereka sendiri.
Untuk itulah Presiden Indonesia bila ingin disebut negarawan dunia, tidak hanya mendompleng ketenaran KAA, seharusnya memikirkan soal kemiskinan dan kebodohan yang masih melilit negara-negara Asia-Afrika. Gagasan itu bisa diciptakan dengan membentuk block ekonomi Asia-Afrika. Block ekonomi inilah yang sekarang dibutuhkan oleh banyak negara. Bukankah sekarang blocks dunia terkutub pada ekonomi bukan politik.
Lihat saja Brasil, China, India, Rusia, dan Afrika Selatan membentuk BRICS. Pada KTT I tahun 2009, BRICS dihadiri oleh pemimpin lintas benua, mereka adalah Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Mammohan Singh, dan Presiden China Hu Jintao. Di sini India terus bisa memainkan perannya dalam dunia internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H