Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kenangan di Pantai Jimbaran

1 Februari 2017   12:07 Diperbarui: 1 Februari 2017   12:27 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu Nelayan di Pantai Jimbaran| Dokumentasi pribadi

Pantai Jimbaran dan Kedonganan, Kabupaten Badung, Bali, pada awalnya merupakan kampung nelayan. Di tahun 1990-an, di perkampungan itu masih terlihat banyak perahu kayu tergeletak.  Terlihat pula orang hilir mudik dalam dunianya, entah membawa jala atau berada di sisi-sisi perahu. Di rumah-rumah, ada nelayan yang sibuk memperbaiki jala. Bukti dukungan pemerintah terhadap keberadaan nelayan, di Kedonganan dibangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Di kawasan TPI, tidak hanya nelayan dari Jimbaran dan Kedonganan yang berniaga hasil tangkapan namun juga ada nelayan dari wilayah lain, Banyuwangi Jawa Timur, yang juga ikut menjadi bagian dari keseharian kehidupan nelayan.

Di saat bersamaan, di Jimbaran dan Kedonganan, tinggal mahasiswa Universitas Udayana. Ratusan mahasiswa menetap di perkampungan nelayan itu karena mereka kuliah di Kampus Bukit Jimbaran. Kampus Udayana selain ada di Denpasar juga ada di Bukit Jimbaran. Jimbaran dan Kedonganan dipilih sebagai tempat kos sebab di kedua tempat itu fasilitasnya lebih mending dibanding dengan Bukit Jimbaran. Ratusan mahasiswa itu hidup membaur dengan penduduk.

Kebiasaan mahasiswa dan penduduk di sana, bila sore menjelang, pada berduyun-duyun ke pantai. Di pantai selain untuk melepas lelah, bermain bola, renang, jogging, juga untuk melihat matahari tenggelam (sunset). Perjumpaan antara mahasiswa dengan penduduk di sana itulah yang membuat pantai ramai dengan riuh rendah orang bergembira.

Seiring perkembangan wisata di Bali yang semakin menggeliat, perkembangan itu juga mengimbas ke Jimbaran dan Kedonganan. Satu persatu tumbuh hotel, artshop, restoran, dan bar. Sepuluh tahun kemudian, Kedonganan dan Jimbaran hampir mirip Kuta dan Sanur. Banyak hotel, artshop, café, dan bar.

Tempat berjemur di Pantai Jimbaran|Dokumentasi pribadi
Tempat berjemur di Pantai Jimbaran|Dokumentasi pribadi
Di sisi yang lain, karena ada bus kampus, yang melayani trayek Denpasar-Bukit Jimbaran dengan biaya murah, membuat mahasiswa Universitas Udayana memilih meninggalkan Jimbaran dan Kedonganan dan menetap di Denpasar. Di ibu kota Bali itu dirasa fasilitas yang mendukung segala kebutuhan dan kegiatan mahasiswa dirasa lebih memenuhi daripada di Jimbaran dan Kedonganan.

Dua sisi itulah yang membuat wajah Jimbaran dan Kedonganan tidak seperti dahulu. Kedua kelurahan itu tidak lagi menjadi perkampungan mahasiswa. Meski masih ada nelayan namun jumlah mereka bisa jadi telah menyusut. Bisa jadi nelayan dan anak cucunya beralih menjadi pelaku dunia wisata.

Rumah dan tanah yang dulu masih semak-semak, berubah menjadi hotel. Bila dulu di tepi-tepi pantai banyak perahu nelayan sekarang di tepi pantai berdiri rumah makan seafood atau tempat orang berjualan kerajinan tangan dan souvenir lainnya.

Sisi lain Pantai Jimbaran|Dokumentasi pribadi
Sisi lain Pantai Jimbaran|Dokumentasi pribadi
Pantai-pantai yang dulu tiap sore dipenuhi mahasiswa dan penduduk setempat sekarang sepi. Sepi? Iya, meski Jimbaran dan Kedonganan dikembangkan sebagai tempat wisata baru namun geliatnya belum bisa menyaingi Kuta dan Sanur. Apalagi tak jauh dari tempat itu ada Pantai Pandawa yang dirasa pasirnya lebih putih dan airnya lebih cemerlang.

Dalam soal wisata, Jimbaran dan Kedonganan sepertinya tetap seperti dahulu, hanya menjadi lintasan wisatawan dari Kuta menuju Pura Uluwatu. Bus-bus yang mengangkut wisatawan bergerak cepat ketika melintasi jalan besar. Akibat yang demikian maka wisatawan yang datang tak banyak. Tak heran bila pantai pun menjadi sepi.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jimbaran dan Kedonganan sekarang menjadi kenangan bagi para mahasiswa yang pernah tinggal di sana. Mereka membaur dengan masyarakat, ikut meramaikan berbagai upacara adat serta setiap sore menikmati pantai yang menghadap ke Samudera Hindia itu. Dahulu semua masih serba alami. Setiap malam dalam kesepian, tidak hanya mendengar gonggongan anjing namun juga dihadang oleh binatang bergigi tajam itu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun