Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Sebuah Harapan Baru?

21 Oktober 2014   20:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:14 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Time, edisi October 27, 2014, kali ini menampilkan cover atau sampul Joko Widodo. Pada cover itu ditulis sebuah judul, A New Hope, sebuah harapan baru. Dalam majalah, yang berada di halaman 26 hingga 31, di mana ditulis oleh Hannah Beech, tidak hanya dikupas perjalanan hidup Jokowi yang disebut awalnya sebagai orang miskin namun juga masalah-masalah yang ada di Indonesia.

Time menyebut pria yang memiliki nickname Jokowi itu sebagai harapan baru sebab mantan Walikota Solo itu pernah mengakui bagaimana untuk mengurus surat perijinan hanya ada dua cara, memberi amplop (uang pelicin) atau menunggu perijinan itu dalam waktu sebulan bahkan hingga setahun. Nah ketika dirinya menjadi walikota, hal demikian diubahnya. Jokowi melakukan hal yang demikian, selain dilatarbelakangi masa lalunya di mana serba kesulitan untuk makan, hidup sehat, dan bersekolah, juga karena demokrasi yang ada harus membawa kehidupan yang lebih baik. Mental memberi uang pelicin yang bisa jadi sudah menjadi budaya itu membuat Indonesia berada pada urutan 114 dari 177 negara terkorup.

Niat Jokowi untuk memberantas korupsi atau modus yang sejenis, memang pernah ia kumandangkan menjelang Pemilu Presiden 2014 atau saat kampanye. Dalam setiap kesempatan ia selalu mengatakan, “Koalisi tanpan syarat,” “Tak ada bagi-bagi kursi,” dan “Ketua partai tak boleh menjadi menteri.”

Hal demikian ditegaskan oleh Jokowi sebab bila koalisi dibangun atas dasar bagi-bagi kekuasaan maka pemerintahan yang terbentuk akan cenderung melakukan tindak korupsi. Hal demikian sangat mungkin sebab koalisi itu bersifat pragmatis. Jokowi mengatakan yang demikian, bisa jadi ia melihat pengalaman di masa pemerintahan sebelumnya. Di kabinet menteri yang diisi oleh banyak partai membuat kinerja pembangunan tidak hanya tak efektif namun juga banyak korupsi di kementerian. Mereka melakukan korupsi selain karena bisa disebabkan oleh mental, juga karena ternyata berdemokrasi membutuhkan biaya tinggi. Di sini demokrasi tidak membuat hidup lebih baik.

Menjadi masalah bisakah Jokowi membawa harapan baru di tengah rimba politik Indonesia yang demikian ganas dan liarnya? Kemenangan Jokowi dalam Pemilu Presiden menunjukan ia didukung oleh rakyat, meski tidak mayoritas. Namun dalam sistem tata negara kita, presiden bukan seorang raja yang bisa memberi titah begitu saja. Ada sistem yang membuat presiden harus bekerja dengan lembaga negara lain, seperti dengan DPR.

Di sinilah letak masalah Jokowi bisa atau tidak memberi harapan baru. Sebagaimana diketahui, kekalahan Prabowo Subianto dalam Pemilu Presiden yang diusung oleh Koalisi Merah Putih, di mana koalisi ini merupakan himpunan partai seperti Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS, PAN, PPP, ditambah Demokrat; rupanya membuat koalisi itu ingin ‘menjegal’ Jokowi. Caranya bukan dengan memboikot saat dirinya dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014 namun dengan merebut pimpinan DPR (ditambah dengan MPR).

Koalisi Merah Putih sukses merebut pimpinan DPR. Kenyataan yang demikian rupanya membuat Jokowi dan partai penyokongnya, terutama PDIP, terperanjat. Adanya aturan main Presiden harus bekerja sama dengan DPR dalam mengelola negara membuat Jokowi pusing, sebab dengan kemungkinan akan dikendalikannya DPR oleh Koalisi Merah Putih, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bisa-bisa akan selalu dipotong.

Partai penyokong, PDIP, Hanura, PKB, dan Nasdem; dari segi kuantitas dan kualitas kalah dengan Koalisi Merah Putih. Untuk itulah, Jokowi mencoba melakukan ice breaking, memecah kebekuan, atau bahasa kasarnya menggembosi Koalisi Merah Putih. Untuk melakukan yang demikian, Jokowi mengadakan pertemuan dengan para ketua umum partai yang ada di Koalisi Merah Putih. Satu persatu ketua umum partai mulai dari PAN, Demokrat, PPP, Golkar, dan Gerindra, ditemui.

Pastinya pertemuan itu bukan sekadar apa yang mereka sebut sebatas silaturahmi namun juga tawaran bergabung dalam kabinet. Tawaran bergabung itu pastinya mereka akan diberi kursi. Nah, di sini Jokowi menjilat ludahnya sendiri sebab sebelumnya ia mengatakan tak akan ada bagi-bagi kursi dan koalisi tanpa syarat, tanpa syarat memberi kursi.

Masalahnya di sini bukan Jokowi menjilat ludahnya sendiri namun bagaimana ia bisa memberi harapan baru kalau cara-cara yang digunakan masih menggunakan cara-cara lama. Bukankah cara-cara lama yakni transaksional atau bagi-bagi kursi membuat kekuasaan tak hanya dirundung korupsi namun juga tak efektif.

Memang beginilah rimba politik di Indonesia yang demikian liar dan ganas namun sebagaimana ditulis di Time atau media lainnya bahwa Jokowi adalah sosok yang ‘sempurna’ yang bisa memberi harapan baru di wajah baru demokrasi Indonesia. Tapi mereka, Time dan media lainnya, melihat Jokowi saat menjadi Walikota Solo dan Gubernur Jakarta. Mereka belum melihat Jokowi saat jadi Presiden Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun