Menjadi kegelisahan banyak pihak ketika ketua umum partai politik masih dijabat oleh para politisi yang sudah berumur alias tua. Kegelisahan terjadi sebab tetap bertahannya mereka membuat kaderisasi di tubuh partai menjadi berhenti. Tak hanya itu, karena mereka politisi sepuh (tua) Â maka kebijakan yang ditelurkan tidak ada yang baru.
Mereka yang masih bercokol di urutan nomer satu partai adalah Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, Prabowo Subianto, dan Sutiyoso. Di antara mereka, Megawati merupakan sosok yang memiliki catatan terlama sebagai seorang yang menjadi ketua umum meski kongres PDIP telah digelar beberapa kali.
Mereka tetap bertahan di posisi itu selain karena mau dan bisa jadi memiliki rasa post power syndrom sehingga tetap mempertahankan posisinya, juga dikarenakan ada pengaruh atau dorongan dari luar yang menyebabkan mereka tidak mau meletakkan jabatan.
Pengaruh dari luar itu adalah, pertama, adanya anggapan dari kalangan mereka sendiri, kalangan partai, bahwa sosok mereka memiliki tuah. Ke-tuah-an inilah yang membuat daya tarik magis kepada masyarakat untuk memiliki atau mendukung partainya. Jika mereka tidak menjabat lagi maka daya magis partai akan melemah sehingga tidak memiliki kekuatan yang mampu menghipnotis masyarakat untuk berpihak kepada partai. Untuk itulah dengan segala daya upaya, dari kalangan mereka sendiri, sosok-sosok tua itu tetap didukung untuk tetap menjadi ketua umum.
Di PDIP, Megawati dianggap memiliki tuah sehingga apa yang dimiliki itu mampu melanggengkan kebesaran partai berlambang banteng moncong putih. Masih tingginya mitos masyarakat akan ke-tuah-an putri Bung Karno itu membuat masyarakat setia dan loyal kepada PDIP meski secara kebijakan, kebijakan yang dikeluarkan Megawati sering membuat rakyat nelangsa.
Kedua, adanya angapan yang berlebihan dari kalangan internal partai bahwa sosok-sosok tua itu adalah sosok yang bisa mempersatukan partai sehingga dari sini muncul pemikiran sempit bila mereka tidak aktif maka partai akan mengalami perpecahan. Dari sinilah dari kalangan internal partai tetap mempertahankan atau tetap mendorong sosok-sosok tua itu untuk tetap mau menjadi ketua umum.
Apa yang dikhawatirkan itu tidak salah namun kekhawatiran ini merupakan semacam penyakit mental yang marak di masa Orde Baru. Dulu di masa itu ada anggapan kalau tidak ada Pak Harto bangsa ini akan hancur dan tercerai berai. Akibat pemikiran yang demikian maka kaderisasi presiden menjadi terhenti.
Lihat saja kekhawatiran sebagaian kalangan di tubuh Partai Demokrat yang tetap mendukung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum. Mereka menganggap pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu adalah sosok yang bisa menyatukan partai. Mereka menganggap selain tidak ada kader sebaik Susilo Bambang Yudhoyono juga bila Pak Lurah itu tak aktif akan membuat partai pecah. Dari sinilah maka kaderisasi yang hendak mengalir menjadi tersumbat.
Untuk itu pentingnya kita berpikiran yang lebih terbuka bahwa kekhawatiran tidak adanya kader yang lebih baik merupakan pikiran yang sesat. Penulis yakin bahwa di masing-masing partai ada kader-kader yang bisa lebih baik dan mampu.
Ketiga, di antara sosok tua itu tetap dipertahankan sebagai ketua umum partai memang kehadirannya dirasa penting. Mengapa kehadirannya dirasa penting? Sebab mereka adalah pengusaha.
Sebagaimana diketahui bahwa biaya operasional untuk menjalankan partai saat ini tidak murah. Ratusan miliar dikeluarkan untuk menjaga agar partai mempunyai citra di mata masyarakat. Tentu biaya sebesar itu tidak bisa ditanggung oleh seorang yang memiliki kekayaan tanggung. Untuk bisa membiayai partai hanyalah para pengusaha besar. Tak heran bila Prabowo Subianto selain karena ia memiliki tuah dan dianggap sebagai pemersatu partai, juga karena ia seorang pengusaha, yang semuanya membuat ia tetap dipertahankan sebagai pengambil kebijakan sentral di Partai Gerindra.
Keempat, adanya anggapan tidak pentingnya menjadi ketua umum oleh kader partai. Kader partai berkata demikian sebab mereka lebih sibuk mengurus dirinya dalam pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka. Untuk menjadi wakil rakyat, mereka harus bekerja keras agar bisa mendulang suara. Tidak hanya uang yang dikeluarkan namun mereka juga harus bersaing dan bergelut dengan kawannya sendiri, sesama caleg.
Selepas pemilu membuat mereka lelah. Lelah tidak hanya dalam bersiasat politik namun juga mengeluarkan uang. Untuk itu mereka tidak peduli pada pencalonan ketua umum. Justru dalam kongres atau munas mereka lebih memilih menjadi tim sukses agar bisa memperoleh keuntungan finansial.
Faktor-faktor di ataslah yang membuat sosok tua tetap bercokol di tubuh partai politik. Bila kita menganut paham demokrasi secara liar, bila sosok tua itu tetap mencalonkan diri sebagai ketua umum, kemauan mereka tetap sah dan dijamin oleh undang-undang maupun AD/ART partai, namun bila ditinjau dari etika dan masa depan politik dan partai, kemauan sosok-sosok tua itu jelas merugikan sebab gelagat mereka tetap bertahan bukan untuk kebaikan bangsa dan negara namun untuk kepentingan politik yang menguntungkan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H