[caption id="attachment_195783" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Agar Batok Kelapa Tak Jadi Sampah
Entah mengapa Indonesia yang memiliki luas lahan pohon kelapa terbesar di dunia, tidak mampu mengangkat perekonomian bangsa dan kesejahtreraan petani kelapa. Justru Filipina yang luas lahannya jauh di bawah Indonesia ternyata mampu memperoleh keuntungan devisa yang lebih besar dibanding Indonesia.
Bandingkan, Indonesia memiliki luas lahan kelapa, tercatat 31,2% dari 12 juta hektar luas lahan kelapa dunia atau mencapai 3,88 juta hektar. Sementara Filipina di urutan kedua dengan luas 3,1 juta hektar (25,8%), kemudian diikuti India 1,9 juta hektar (16%), Sri Lanka 442.000 hektar (3,7%), Thailand 372.000 hektar (3,1%), dan negara lainnya 2,4 juta hektar (20,2%).
Tapi kenyataannnya pada 2005 Filipina bisa mengungguli Indonesia dalam memperoleh keuntungan dari ekspor kelapa senilai US$757,3 juta. Sementara Indonesia yang memiliki lahan kelapa lebih luas dari Filipina pada tahun yang sama hanya memperoleh US$228,7 juta US$ atau sepertiga dari apa yang diperoleh Filipina.
Keberhasilan Filipina meraup devisa yang fantastik itu karena mereka berhasil mendiversikan buah kelapa menjadi 125 jenis produk olahan. Sementara Indonesia hanya mampu hingga 25 jenis saja. Tidak hanya dengan Filipina, Indonesia juga tertinggal dalam soal memproduksi serat dengan Sri Langka dan India.
Diukur dari produksi buah kelapa dalam setahun memang cukup besar, mencapai 17 miliar buah. Namun, bukan jumlah yang menjadikan komodini bisa bernilai lebih atau tidak, melainkan produk olahannya. Buah kelapa ini bisa dibuat produk olahan yang jenisnya cukup banyak dan beragam. Selain untuk bahan baku minyak, batok kelapa bisa untuk bahan briket, bahan sabun dan parfum. Lalu, sabut kelapa bisa dibuat untuk jok mobil, dan produk turunan lainnya, yang kalau di Filipina bisa mencapai 125 jenis.
Keberhasilan Filipina dalam mengolah buah kelapa bukan tanpa rencana. Negara tersebut mengembangkan produk kelapa ini sudah sejak lama. Pada masa Imelda Marcos masih berkuasa, negara tersebut telah membentuk Coconut House atau semacam kementerian yang mengurusi kelapa. Sementara di Indonesia, dalam beberapa waktu tidak ada kebijakan perkelapaan dari pemerintah. Pohon-pohon kelapa yang ada sekarang ini ditanam pada 1960-an dan bahkan di Manado usia kelapa sudah mencapai 70 tahun.
Belum seimbangnya antara luas lahan dan produksi kelapa, karena di sektor ini tidak ada pengarahan atau dorongan dari pemerintah yang bisa membuat para petani kelapa menyadari bahwa pohon kelapa itu berguna bagi kehidupan dan meningkatkan perekonomian.
Selama ini kelapa hanya dijadikan pemenuhan kebutuhan makanan saja sedang serabutnya dibuang sehingga menjadi sampah. Akibat tidak maksimalnya pengolahan kelapa, dari buahnya hingga batangnya membuat petani kelapa malas bertani kelapa. Di beberapa tempat perkebunan kelapa berubah menjadi kelapa sawit atau beralih menjadi perumahan. Selain itu, pohon kelapa saat ini hanya menjadi tanaman hias di hotel-hotel.
Padahal kalau kita serius dan mau mengolah pohon kelapa, hasilnya sungguh luasr biasa. Bahkan batok kelapa bisa menjadi energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada fosil. Bila batok arang dibakar dalam suhu tinggi, ia mampu menjadi karbon aktif atau arang aktif. Karbon aktif inilah juga dimiliki batu bara. Dengan demikian batok arang bisa menggantikan batu bara bila kita mau serius membuatnya.
Disebutkan dalam sebuah berita bahwa pada tahun 2013 PLN membutuhkan batu bara sebanyak 20 juta ton. Jumlah yang demikian sebab kebutuhan batubara meningkat menjadi 90 juta ton atau naik hampir dua kali lipat dibandingkan prognosa 2012 yang 43 juta ton.Peningkatan kebutuhan batubara tersebut menyusul telah beroperasinya proyek percepatan pembangunan pembangkit berbahan bakar batubara berkapasitas 10.000 MW tahap pertama.
Dalam berita yang lain juga menyebutkan kebutuhan batu bara PLN pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 125,7 juta ton per tahun. Hal ini sejalan dengan komitmen PLN untuk menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Lebih lanjut dalam berita itu menyebut penggunaan batu bara PLN pada 2020 meningkat tajam menjadi 64 persen atau 125,76 juta kl. Padahal penggunaan batu bara PLN pada 2011 hanya 41,8 juta ton atau 50 persen dari komposisi produksi listrik per bahan bakar.
Pihak PLN optimis target batu bara yangb diinginkan bisa dipenuhi, sebab Indonesia kaya dengan potensi batu bara, namun masalahnya sampai kapan kebutuhan itu akan terpenuhi dan tercukup? Di sinilah pentingnya kita untuk menggunakan arang batok untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Luas perkebunan kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3,8 juta hektar (Ha) yang terdiri dari perkebunan rakyat seluas 3,7 juta Ha; perkebunan milik pemerintah seluas 4.669 Ha; serta milik swasta seluas 66.189 Ha. Selama 34 tahun, luas tanaman kelapa meningkat dari 1,66 juta hektar pada tahun 1969 menjadi 3,8 juta hektar pada tahun 2011.
Balitbang Kementan pernah menyebut sebuah angka, produksi buah kelapa rata-rata 15,5 milyar butir per tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut.
Dari jumlah batok kelapa tersebut menunjukan adanya potensi untuk menggantikan batu bara. Potensi yang ada sebab Indonesia memiliki luas wilayah yang sangat terbentang, kemudian pohon kelapa sudah akrab dengan masyarakat Indonesia, sehingga di sini pentingnya pemerintah untuk mengurusi pertanian kelapa.
Sebuah cerita, pada tahun 1950-an, saat Jago Jayabaya menjadi Kepala Desa Prabu Gantungan, Lebak, Banten, ia memaksa seluruh warga desa untuk menanam kelapa. Jago Jayabaya melakukan tanam paksa karena dilandasi masih banyak lahan kosong di desa itu, dan dipilih kelapa karena pohon itu dari akar sampai ujung daun bisa dimanfaatkan.
Akibat kebijakan itu, banyak warga menolak dan lari ke keluar desa. Rakyat curiga, hasil hasilnya akan dijadikan upeti bagi kepala desa. “Padahal, kepala desa tidak pernah meminta kelapa dari rakyat sebutir pun,” ujar anak Jago Jayabaya, H.Mamad Djatinegara.
Pertama kali desa yang terletak di Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak, Banten, itu menjadikan dirinya sebagai sentra kelapa, berbagai hama dihadapinya. “Terutama serangan babi hutan,” ujar Mamad. Babi-babi itu menyerang dan memakan kelapa-kelapa yang baru ditanam. Karena serangan babi itu telah merugikan, maka untuk mengatasinyamasyarakat dibantu anjingmelakukan perburuandan membasmi hama babi tersebut.
Seiring perjalanan waktu, akhirnya warga desa menerima dengan senang hati kebijakan kepala desanya itu. Sebagai wujud terima kasih, banyak warga yang menjual kelapanya kepada Mamad Djatinegara, yangjugapetani kelapa.
Saat ini di Kecamatan Cileles terdapat 1000 hektar pohon kelapa. Pohon-pohon kelapa itu milik warga, dengan luas kepemilikan bervariasi, dari seperempat hektar hingga 8 hektar. Medangkan Mamad memiliki lahan seluas 4 hektar. Di lahan seluas itu, oleh Mamad, ditanami 500 pohon kelapa, yang setiap bulan menghasilkan 2.500 butir kelapa. Secara keseluruhan produksi kelapa di Kecamatan Cileles mencapai 10.000 butir per hari.Pada tahun 1990-an, kelapa dari daerah itu yang dikirim ke Jakarta mencapai 25 truk dalam sehari.
Potensi seperti di ataslah yang perlu dikembangkan. Kemudian bila selama ini sering kita lihat batok-batok kelapa di pasar-pasar sepertinya menjadi sampah, hal itu menjadi peluang bagi siapa saja untuk mengumpulkan kemudian diolah menjadi arang batok. Jika pemerintah dan rakyat bergerak semua dalam arang batok, maka kita akan mengurangi ketergantungan pada batu bara. Ardi Winangun, Warga Matraman, Jakarta Timur, 08159052503
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H