Gerakan aksi massa yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat pada 22 Agustus 2024 dengan mengepung Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, untuk menolak revisi UU Pilkada menemukan titik keberhasilannya, buktinya PKPU Pilkada 2024 disahkan dengan mengikuti Putusan MK.
Bisa dibayangkan bila gerakan aksi massa itu tidak terjadi, apa jadinya masa depan demokrasi di tanah air. Bisa jadi kekuasaan yang ada akan dipegang oleh keluarga Presiden Joko Widodo dan kroni-kroninya. Dengan UU Pilkada tanpa mengakomodir Keputusan MK, keinginan warga Jakarta yang ingin kembali memiliki Anies Baswedan sebagai gubernur hanya sebatas impian, pasalnya 12 parpol, yakni Gerindra, Golkar, PKS, Nasdem, PKB, PSI, Demokrat, PAN, Garuda, Gelora, Perindo, dan PPP yang terhimpun dalam Koalisi Jakarta Baru Untuk Jakarta Maju, secara resmi telah menyatakan dukungan kepada Ridwan Kamil dan Suswono dalam Pilkada Tahun 2024.
Dengan dukungan 12 parpol besar dan kecil yang berasal dari anggota himpunan partai KIM Plus, mereka tidak hanya melebihi batas syarat pendaftaran dari jumlah kursi di DPRD dan suara yang telah ditentukan namun juga mengunci keinginan PDIP yang katanya juga mau mengusung calon gubernur-wakil gebernur sendiri.
Dalam UU Pilkada tanpa Keputusan MK, usaha PDIP ini hal yang mustahil sebab dilihat dari kursi yang ada di DPRD Jakarta tak memungkinkan partai berlambang banteng moncong putih itu mencalonkan gubernur-wakil gubernurnya sendiri namun setelah MK mengabulkan judicial review ambang batas calon peserta pilkada yang diajukan oleh Partai Gelora dan Partai Buruh, maka keinginan PDIP dan partai lainnya yang memenuhi syarat, di Jakarta 7,5 persen, maka ia berhak mengajukan calon pasangan peserta pilkada.
Dampak UU Pilkada tanpa mengakomodir Keputusan MK, terasa tidak hanya di Jakarta namun juga di provinsi, kabupaten, dan kota lainnya serta tidak hanya mengena PDIP; Golkar, dan partai lainnya pun juga mengalami nasib serupa, misalnya Golkar dan PDIP juga terkunci di Provinsi Banten.
Dengan belajar fenomena partai politik di Jakarta, menunjukan bahwa partai politik tidak aspiratif kepada suara rakyat bila mengacu pada survey dari lembaga survey yang kredibel, di mana belakangan ini kerap muncul di masyarakat yang menyatakan bahwa elektabilitas Anies Baswedan melampaui bahkan jauh lebih tinggi daripada elektabilitas Ridwan Kamil dan sosok lainnya.
Dengan tidak mengajukan Anies Baswedan, partai terlihat lebih mementingkan egonya sendiri dibanding mendengar suara rakyat. Mereka lebih mementingkan elit politiknya. Menjadi masalah ketika warga Jakarta dalam pilkada tahun ini disajikan Rido atau calon independent lainnya, apakah warga Jakarta akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS)?
Ridwan Kamil meski di Jawa Barat merupakan sosok yang popular dan memiliki elektabilitas nomer satu sehingga ia bisa juara di sana tetapi di Jakarta sosok Ridwan Kamil bukan sosok pilihan warga bila di-voting dan mengacu pada survey yang ada. Bila ditarik dalam dunia sepakbola, Ridwan Kamil adalah Bobotoh (pendukung Persib) dan di mana ia akan berlaga di kandang  The Jakmania (pendukung Persija). Dalam dunia sepakbola, dua klub dan pendukungnya itu terkenal memiliki rivalitas yang tinggi. Pun demikian Suswono, meski ia mantan Menteri Pertanian namun banyak warga Jakarta belum tahu sosoknya.
Dalam pilkada, warga di suatu kabupaten, kota, dan provinsi, biasanya mereka jauh-jauh hari sudah mengenal calon kepala daerah. Mereka bisa putra daerah atau petahana. Proses yang demikianlah yang mendekatkan mereka dengan calon-calon kepala daerah. Namun bila tiba-tiba mereka disuguhi oleh sosok yang tiba-tiba muncul tentu hal demikian akan membuat warga menjadi kaget apalagi sosok tersebut tidak sesuai dengan aspirasi warga.
Bila partai menyodorkan sosok calon yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat hal demikian akan memunculkan sikap apatis dan sikap malas warga datang ke TPS. Kondisi yang demikian bisa berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak suaranya. Ketika masyarakat tidak banyak menggunakan hak suaranya sebab sosok yang dihadirkan tidak sesuai dengan pilihan hati nuraninya maka hal demikian akan menurunkan legitimasi calon yang terpilih.
Semakin tidak aspiratifnya partai kepada suara rakyat selain disebabkan partai lebih memilih bersikap pragmatisme dan juga adanya tekanan dari kekuasaan yang membuat mereka tunduk.