Menjelang berkuasa, presiden terpilih Prabowo Subianto menginginkan adanya Presidential Club (PC). Keinginan tersebut menuai respon dari berbagai kalangan. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Bagi yang tidak sependapat, PC yang sudah ada sejak lama di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, tidak sesuai dengan kultur politik di tanah air. Sikap kenegarawanan belum seluruhnya terbangun pada sosok mantan presiden sehingga masalah pribadi kerap dibawa-bawa dalam semua urusan.
Sedang yang sepakat dengan keinginan tersebut mengatakan bahwa PC, di satu sisi merupakan tempat bagi presiden untuk meminta saran dan pendapat dari pelaku pembangunan sesungguhnya, top leader. Di sisi yang lain, PC merupakan 'wadah' bagi presiden sebelumnya untuk memberi saran dan pendapat terkait kebijakan yang hendak diputuskan atau sebaiknya dilaksanakan.
Kalau ditelisik apakah memang Prabowo Subianto benar-benar membutuhkan PC? Apakah PC hanya sikap kompromi politik mantan Ketua Umum HKTI itu kepada para presiden, Megawati Sukarnoputri, Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan panggung kepada mereka yang masih bersemangat mendekati kekuasaan.
Kalau kita amati, selepas pilpres, Prabowo Subianto intents melakukan pertemuan dengan Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tentu dalam pertemuan tersebut yang dibahas tidak hanya soal koalisi namun bagaimana ide dan keberlanjutan pembangunan masa sebelumnya bisa dilanjutkan. Keberlanjutan pembangunan bagi presiden sebelumnya tentu penting dilakukan sebab bila tidak maka pembangunan yang belum selesai dilakukan akan mangkrak dan hal ini bisa menjadi sesuatu yang negatif bagi presiden sebelumnya.
Bila kita telusuri dalam teori kekuasaan yang ada, presiden di Indonesia memiliki kekuasaan yang besar bahkan ada yang menyebut superheavy. Hal demikianlah yang mampu membuat presiden mampu dan mau melakukan apa saja. Pembangunan yang dihela pun sesuai dengan selera mereka bukan kebutuhan rakyat sesungguhnya.
Teori kekuasaan yang ada ditambah dengan naluri politik manusia yang rakus membuat seseorang yang berkuasa bebas menentukan kehendak dan keinginannya. Kondisi yang demikian membuat seseorang menjadi otoriter. Bila seseorang yang berkuasa sudah kerasukan sikap otoriter maka biasanya ia justru menolak atau tidak mau meminta atau menerima pendapat dari orang lain termasuk dari parlemen yang dalam negara trias politika merupakan mitra yang paling sah untuk berbagai dengan kekuasaan eksekutif.
Nah dari paparan di atas ketika ada keinginan membentuk PC, posisi Prabowo Subianto masih dalam status presiden terpilih. Ia masih belum berkuasa. Saat ini yang masih berkuasa adalah Presiden Joko Widodo. Sebagai orang yang masih menunggu pelantikan sebagai presiden yang sah, posisi Prabowo Subianto ya masih lemah. Dalam kondisi yang demikian dan biar aman kekuasaan yang sudah digenggamnya, tak heran bila dirinya dalam berpolitik masih mengatakan dan mengedepankan sikap kenegarawanan, seperti mengajak semua partai untuk bersatu, mengajak semua partai untuk berkoalisi, menghormati presiden-presiden sebelumnya, dan akan lebih mengedepankan kepentingan rakyat.
Sesuatu akan berubah bila seseorang sudah secara sah menjadi presiden. Dengan besarnya kekuasaan yang dimiliki, ia bisa melakukan apa saja. Sebagai orang yang berada di posisi nomer satu, dirinya tidak perlu menghormati atau mendatangi orang lain namun justru orang lain-lah yang akan menghormati dan mendatangi dirinya. Dalam kondisi yang demikian, seperti paparan di atas, lembaga dan instutisi lainnya hanya akan sekadar menjadi ornamen demokrasi. Jangankan PC, lembaga legislatif saja selama ini terkesan sebagai lembaga yang hanya bisa memberi legitimasi pada presiden. Saran dan pendapat ada tapi kerap diabaikan.
Hadirnya PC bila Prabowo Subianto sudah sah menjadi presiden, justru akan menghalangi ambisi dirinya untuk merealisasi ide dan gagasannya. Bila dirinya mengistimewakan atau menuruti apa maunya presiden sebelumnya, selain menghalangi ambisinya juga akan mengerdilkan dirinya sendiri sebab terkesan ia sebagai presiden boneka, bekerja bukan karena kemauan dirinya tetapi karena didorong oleh presiden-presiden sebelumnya.
Sebagai presiden tentu ia tidak mau disaingi atau mendapat rivalitas dari kelompok lain. Nah bila ada presiden sebelumnya yang terhimpun dalam PC terlihat sangat mendominasi ide dan gagasan pembangunan serta dalam memberi arah dan saran, hal demikian akan mendegradasi kedudukan presiden yang berkuasa. Bila paparan di atas disebut sebagai boneka, maka dalam paparan ini, karena ada presiden sebelumnya yang mendominasi dalam dalam kiprahnya di PC maka akan muncul fenomena matahari kembar, siapa the real president atau presiden sesungguhnya? Pastinya Prabowo Subianto tidak ingin ada ungkapan siapa the real president atau presiden sesungguhnya dari hadirnya PC itu.
Oleh sebab itu, keinginan membentuk PC bisa jadi hanya gimik (gimmick) yang dilakukan oleh Prabowo Subianto. Selain untuk menahan emosi dan kekhawatiran dari orang yang paling berjasa pada dirinya dalam pilpres juga untuk menunjukan dirinya bukan sebagai sosok yang berbahaya bagi pihak-pihak yang lain. Setelah dirinya sah menjadi presiden, usulan yang saat ini menuai pro dan kontra itu, entah bagaimana kelanjutannya, kita tunggu saja perkembangannya. *