Di media sosial beberapa waktu yang lalu ramai berita tentang Kementerian Agama (Kemenag) laporkan fenomena umrah backpacker ke polisi. Kementerian yang beralamat di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, melaporkan fenomena yang demikian sebab umrah backpacker disebut melanggar aturan yang ada, yakni UU. No 8 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Dalam undang-undang itu termuat pasal-pasal yang mengatur ibadah umrah. Intinya adalah bagaimana umrah yang diselenggarakan mampu memberi jaimnan kepada peserta berupa lancarnya ibadah, terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, kesehatan, dan kepastian perjalanan selama melakukan ibadah umrah.
Kemenag melaporkan penyelenggara umrah backpacker bisa jadi dilandasi banyak hal, pertama, ada pelanggaran aturan. Kedua, perlindungan masyarakat. Ketiga, urusan bisnis, melindungi penyelenggara perjalanan ibadah umrah dari pelaku usaha perjalanan yang tidak berijin. Dari sekian pasal yang disorot oleh Kemenag dalam masalah ini adalah Pasal 115. Pasal ini menyebut, setiap orang dilarang tanpa hak sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jamaah umrah. Sorotan pasal inilah yang membuat masalah itu kentara juga dengan masalah persaingan bisnis perjalanan.
Akibat dari pelanggaran tersebut memang di lapangan ada fakta ada peserta ibadah umrah mengalami ketidaknyamanan, terlantar, dan tidak terurus hingga tak bisa kembali ke tanah air.
Masalah ini sangat menarik disingkap sebab kata backpacker disebut dalam pelaporan. Banyak definisi dari backpacker. Inti dari definisinya adalah orang yang melakukan perjalanan/traveling dengan cara membawa perlengkapan secukupnya. Dulu tas yang paling pas buat perjalanan adalah ransel sebab tas model ini praktis dibawa ke mana-mana namun sekarang banyak juga yang membwa koper.
Tak hanya itu, mereka yang ingin melakukan perjalanan dengan gaya backpacker, bisa dengan anggaran yang tidak berlebihan. Paling penting biaya tiket pesawat pulang-pergi terpenuhi. Ini penting ditunjukan bila sewaktu-waktu ada cek di bagian imigrasi kedatangan di luar negeri. Sementara soal makan, minum, menginap, dan saat di tempat tujuan mereka bisa mengakali dengan cara yang murah bahkan gratis.
Saat melakukan perjalanan di Thailand saya tidur di Stasiun Hua Lamphong di Bangkok sebelum melanjutkan perjalanan ke Kamboja lewat darat. Di stasiun ini saya tidur di depan pintu masuk bersama dengan gelandangan dan orang-orang yang hendak melanjutkan perjalanan ke kota lain namun tak punya biaya menginap di hotel. Saat di Kuala Lumpur, Amsterdam, Bremen, dan Paris, saya menginap di apartemen mahasiswa Indonesia atau mereka yang bekerja di sana. Apa yang saya lakukan itu membuat biaya yang dikeluarkan menjadi irit.
Tentu ini berbeda dengan perjalanan wisata yang dilakukan oleh para artis, 'anak sultan', atau perjalanan dinas pejabat, anggota DPR, yang semuanya serba mewah dan tak perlu berkeringat. Turun dari pesawat langsung dijemput mobil menuju hotel dan seterusnya. .
Meski dengan cara demikian, perjalanan para backpacker nilainya sama dengan perjalanan yang dilakukan 'anak sultan' dalam menikmati tempat wisata yang diinginkan. Bahkan bepergian dengan cara backpacker banyak hal yang didapat, tidak hanya bisa sampai ke tempat tujuan namun juga mendapat pengalaman baru yakni berkenalan dan bisa membaur dengan masyarakat setempat. Di sinilah mereka bisa melihat serta menikmati budaya yang ada secara langsung.
Cara yang demikian rupanya membuat ketagihan dan memancing banyak orang melakukan hal yang sama, yakni jalan-jalan ala backpacker. Cara bepergian dengan gaya seperti ini rupanya bisa dikelola oleh pihak-pihak tertentu, baik agent perjalanan (wisata) maupun perorangan, untuk meraih keuntungan. Mereka menawarkan perjalanan wisata dengan biaya murah. Sebagai perjalanan wisata yang murah maka peserta harus mau menerima fasilitas 'seadanya', seperti menginap dalam satu ruangan yang diisi banyak orang, makan bayar sendiri, sarana transportasi angkutan umum, dan fasilitas lainnya yang tidak mewah.
Nah cara perjalanan backpacker yang demikian perlu dibutuhkan tenaga yang kuat agar bisa bertahan di tengah keterbatasan sehingga cara ini tidak cocok bagi mereka yang memiliki fisik yang lemah, atau tua.