Koalisi Partai Nasdem dan PKB ditambah PKS yang melahirkan pasangan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) dan Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden (cawapres) mengakibatkan banyak luka bagi partai politik lainnya.
Sebelum Nasdem berkoalisi dengan PKB, Anies sebelumnya digadang-gadang oleh Partai Demokrat, PKS, dan Nasdem sendiri yang terhimpun dalam Koalisi Perubahan untuk Perbaikan (KPP). Dalam koalisi ini berkembang isu bahwa Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurty Yudhoyono (AHY) disebut calon kuat pendamping Anies. Tak heran bila Partai Demokrat kerap mengundang Anies untuk kampanye bersama di berbagai kota, salah satunya di Sabuga ITB Bandung, Jawa Barat.
Pun demikian sebelum berkoalisi dengan Nasdem, PKB sudah lama bersama Partai Gerindra dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Koalisi ini dibentuk dengan muara Prabowo sebagai capres, sedang Muhaimin Iskandar sebagai cawapres. Koalisi ini akhirnya membengkak bertambah Partai Golkar dan PAN. Sebutan koalisinya pun berubah menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Sebagai satu koalisi, Anies Baswedan dan AHY tentu kerap bertemu. Mereka tak sekadar berjumpa langsung, namun foto mereka dipajang di baligo, spanduk, bendera, dan atribut Partai Demokrat di seluruh pelosok negeri. Bila di KPP sebelumnya ada arah siapa pasangan yang hendak diusung, beda dengan di KKIR dan KIM. Meski mereka berkoalisi, tak ada spanduk pasangan capres-cawapres seperti yang ada di KKP.
Ketika belum ada deklarasi Anies-Muhaimin Iskandar, stabilitas politik relatif landai. Tampak di permukaan, mereka saling menunggu meskipun di balik layar mereka saling lobi dan mengadakan pertemuan diam-diam. Mereka yang sudah berkoalisi, anggota koalisi secara terbuka atau tertutup melakukan pertemuan dengan anggota dari koalisi lainnya.
Begitu deklarasi Anies-Muhaimin Iskandar dinyatakan, deru politik langsung menderu. Berbagai respons muncul menyikapi. Lahirnya pasangan tersebut rupanya suatu hal yang menyakitkan bagi Partai Demokrat. Partai Demokat yang sudah merasa berkorban banyak menyosialisasikan Anies, merasa dikhianati. Betapa tidak merasa dikhianati, selain karena sudah ikut mengampanyekan Anies, Anies dirasa juga memberikan harapan kepada AHY untuk mendampingi dirinya sebagai pasangan dalam Pilpres tahun 2024.
Sebagai bukti kekecewaan tersebut, Partai Demorkat tidak hanya serta-merta menyatakan diri keluar dari KPP, tetapi juga menginstruksikan kepada seluruh jaringan partai untuk menurunkan spanduk dan baligo yang ada gambarnya Anies. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pun ikut mengomentari masalah itu.
Bila Partai Demokrat sangat kecewa akan ulah Anies, Prabowo Subianto sebagai capres dari KIM tidak terlalu dipusingkan dengan sikap Muhaimin Iskandar yang tiba-tiba keluar dari KIM meski Prabowo juga bertanya-tanya langkah yang dilakukan oleh Muhaimin Iskandar itu.
Bila tidak menatap ke depan dan menerima kenyataan, memang politik itu suatu hal yang menyakitkan. Betapa tidak? Hal-hal yang sudah disepakati, dibahas, dan dipersiapkan, bisa berubah tanpa terlebih dahulu memberi kabar. Berubah tanpa pesan dalam dunia politik bisa terjadi karena pengalaman (buruk), teori, dan adagium politik yang sifatnya lebih mementingkan diri dan kelompoknya tanpa mau tahu perasaan dan pengorbanan orang lain. Anehnya, pengalaman, teori, dan adagium tersebut menjadi panduan bagi para politisi.
Kebiasaan dalam politik yang demikian membuat politikus menjadi "raja tega", tega melakukan apa saja demi mendapat apa yang ingin dicapainya. Para politikus lebih suka "membunuh" daripada "dibunuh" sehingga setiap mereka memanfaatkan aji mumpung saat memiliki kekuasaan. Mereka yang mempunyai kekuasaan akan cenderung mengerdilkan, mengecilkan, mengabaikan, bahkan mematikan kelompok yang lain.