Ketika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan dirinya di media sosial menonton sinetron Ikatan Cinta, serta merta berbagai kritikan dan nyinyiran dilontarkan kepada dirinya. Ada yang menyebut apa yang dilakukan di masa PPKM Darurat Jawa - Bali itu tidak tepat sebab di tengah mayoritas sedang berjuang untuk mempertahankan kesehatan dan ekonomi namun bapak menteri tengah asyik menonton sinetron.
Akar masalahnya mengapa Mahfud MD dikritik oleh masyarakat atas perbuatannya itu, sebenarnya terletak apa yang tengah ditonton. Kritik mengalir kepada dirinya sebab ia menonton tontonan yang selama ini sudah banyak dikritik oleh masyarakat, yakni sinetron. Selama ini tontontan itu dianggap oleh sebagaian masyarakat merupakan tontonan yang menjual kemewahan, perselisihan rumah tangga, masalah percintaan, cengeng, dan ada yang menyebut tidak mendidik. Dari sinilah yang membuat sinetron dari dulu hingga saat ini selalu dikritik oleh masyarakat meski harus diakui keberadaan tontonan itu juga banyak penikmatnya.
Pasar tontonan sinetron kalau kita lihat di lapangan, bisa dikatakan sangat terbatas, yakni kaum ibu-ibu yang berada di rumah. Di perkampungan, sebelum masa pandemic Covid-19, biasanya para ibu menonton sinetron sambil berkerumun padahal bisa jadi sekarang masing-masing rumah memiliki televisi namun sambil ngerumpi bisa jadi nonton sinetron lebih asyik. Namun karena jumlah kaum perempuan yang menonton sinetron banyak, serta para ibu penentu dalam membeli produk rumah tangga, maka hal demikian menjadi potensi iklan yang tinggi sehingga sinetron terus bisa diproduksi. Dari sinilah berbagai stasiun televisi silih berganti menayangkan berbagai macam judul sinetron dengan berbagai macam latar jalan cerita.
Dua hal inilah, yakni, pertama, tontonan sinetron yang kerap menyuguhkan tayangan konflik rumah tangga, masalah percintaan, menjual kemewahan, membuat sinetron merupakan tontonan yang kerap dikritik oleh masyarakat meski kehadirannya diam-diam ditunggu dan dinikmati. Tema-tema itu memang cocok dengan sikap sebagaian kaum perempuan yang gemar ngerumpi. Kedua, pasar sinetron yang cenderung digandrungi oleh para ibu yang berada di rumah; membuat tayangan ini bisa dikatakan tidak cocok atau tidak tepat bila dilihat oleh laki-laki atau pria, kaum jantan. Tak heran bila nyaris tak ada laki-laki termenung menonton sinetron percintaan atau konflik rumah tangga di televisi dari detik awal hingga detik akhir.
Dua hal inilah yang bisa jadi membuat mengapa Mahfud MD banyak dikritik atau di-nyinyiran orang saat dirinya menyatakan diri menonton Ikatan Cinta. Meski saat tidak PPKM Darurat pun kritik itu akan tetap mengalir padanya. Mahfud MD bisa jadi tidak akan dikritik atau di-nyinyiran orang bila menyatakan diri menonton tayangan lain yang lebih berkualitas atau dunianya kaum laki-laki.
Saat UEFA Euro 2020, masyarakat atau penggemar bola dari berbagai kalangan seolah-olah berlomba-lomba dan bersahut-sahutan membuat status pertandingan-pertandingan yang selepas ditonton. Dari masyarakat awam, pemerhati bola, politisi bahkan menteri mengunggah analisa pertandingan, menyatakan kegembiraan setelah tim yang didukung menang, atau kesedihan ketika tim yang didukung kalah dalam facebook, Instagram, twitter, atau media sosial lainnya. Lihat saja status Menteri BUMN Erick Thohir dalam instagram erickthohir, yang berbunyi, seru juga kemarin malam jadi komentator Final Euro 2020 live, biasanya nonton di stadion atau hanya dari tv. Gmn semalam pertandingannya? jagoannya menang gak?
Menteri membuat status tentang sepakbola tidak hanya Erick Thohir yang memang terkenal sebagai penggemar sepakbola, Menteri yang lain pun juga demikian. Menteri Agama Yaqut Cholil (Gus Yaqut) pun juga demikian. Dalam instagram-nya, Ketua Pemuda Ansor itu merasa senang saat Italia Juara Piala Eropa 2020.
Unggahan-unggahan mereka, dari masyarakat awam hingga menteri tentang sepakbola tidak ada yang mengkritik atau men-nyinyiri. Ini bisa terjadi karena tontonan sepakbola selain merupakan olahraga popular, juga merupakan tontonan yang penuh dengan nilai-nilai sportifitas, kecerdikan, fairplay, adu taktik, ketahanan fisik, keunggulan, dan merupakan dunia laki-laki. Dalam sepakbola ada nilai-nilai universal tanpa memandang latar belakang. Dari sinilah siapa saja yang mengomentari masalah sepakbola, dari orang awam hingga menteri, di media sosial, tidak ada yang mengkritik atau nyinyirin meski para menteri dituntut untuk bekerja keras atau di saat masa-masa pembatasan kegiatan masyarakat.
Nah di sinilah pintar-pintarnya kita dalam mengunggah status di media sosial. Meski dilandasi niat baik untuk meluruskan alur cerita namun bila itu dari tontonan yang selama ini dikritik oleh masyarakat, ditambah di tengah waktu yang tidak tepat maka hal yang demikian membuat niat baik itu justru akan menimbulkan masalah yang lain. Coba kalau Pak Mahfud menyoal soal hukum VAR (Video Assistant Referee) dalam sepakbola, selama UEFA Euro 2020 berlangsung, pasti dirinya tidak akan dkritik dan di-nyinyirin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H