Masih tingginya angka penularan wabah Covid-19 merupakan salah satu tantangan Pilkada 2020 yang dilakukan secara serentak. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Charta Politika dan Indikator Politik Indonesia, menunjukan masyarakat ingin Pilkada yang digelar di 270 daerah pada Desember 2020 ditunda karena pandemic Covid-19.
Masyarakat ingin hal yang demikian sebab tahapan-tahapan Pilkada, mulai dari persiapan penyusunan daftar pemilih hingga nanti saat penghitungan akhir hasil coblosan, pastinya akan terjadi kerumunan massa. Hal demikian sangat rentan terjadinya penularan Covid-19. Meski sudah ada penerapan protokol kesehatan namun dari berbagai kasus yang ada, masih saja penularan itu terjadi.
Bila saat ini orang bisa kerja di rumah atau melakukan berbagai pertemuan dengan virtual, cara yang demikian pastinya tidak disepakati dalam proses-proses Pilkada. Cara virtual dalam proses Pilkada pastinya rentan terjadinya berbagai pelanggaran. Untuk mengawasi dalam berbagai proses Pilkada, cara lewat virtual dirasa tidak maksimal. Cara virtual bersifat statis sedang dalam pengawasan dan proses tahapan Pilkada perlu tindakan yang dinamis. Langsung berada di tengah masyarakat.
Nah dengan demikian, sekarang pemerintah, KPU, dan partai politik, tinggal memilih mana langkah yang perlu diambil agar semuanya bisa berakhir dengan baik dan selamat. Jangan sampai dalam suasana pandemic Covid-19 masih melanda namun kita tetap memaksakan Pilkada sebab dalam proses-proses yang ada nantinya semua tidak maksimal.
Saat menggalang dukungan, lobby, dan kampanye terbuka, bila kita menerapkan protokol kesehatan, hal demikian membuat gerakan yang ada menjadi terbatas. Bila kita melanggar protokol kesehatan demi menggalang dukungan dan kampanye, tentu hal yang demikian menimbulkan resiko yang sangat tinggi terjadinya penularan. Bila demikian terjadi, bayangkan berapa banyak orang tertular wabah Covid-19 dan terjadi di banyak tempat.
Pasti ada yang mengusulkan kampanye yang dilakukan dengan cara virtual. Hal demikian usulan yang bagus, namun menjadi pertanyaan sejauh mana keefektifan dan kemassifan cara itu. Kampanye secara virtual pastinya daya angkut yang ada terbatas. Tidak semua orang bisa mengikuti kampanye virtual. Mereka yang bergabung adalah orang-orang yang sudah terbiasa dengan teknologi. Bagi sebagaian masyarakat, zoom, webinar, dan pertemuan seperti itu masih dirasa asing dan sulit untuk melakukan karena keterbatasan pengetahuan teknologi. Dan yang lebih pasti, kampanye virtual tersebut menggunakan kuota internet. Nah bagaimana masyarakat mau menggunakan kuota internet hanya untuk mendengarkan janji-janji para calon. Bila ada 4 pasangan calon, berapa kuota yang diperlukan?
Bila gerak dalam kampanye terbatas karena protokol kesehatan maka yang rugi semuanya. Bagi para calon, mereka tidak bisa menyampaikan visi, misi, janji, dan citranya. Sedang bagi calon pemilih, mereka tidak bisa mendengar misi, visi, janji, dan muka dari para calon. Akibatnya semua menjadi tidak maksimal. Masyarakat tidak bisa memilih mana calon yang benar-benar berkualitas dan mana yang tidak. Dari sinilah muncul peluang money politic yang lebih massif dengan dibungkus bantuan sosial penanganan Covid-19.
Tantangan kedua dari Pikada 2020 adalah, maraknya politik dinasti. Kalau kita amati, dalam Pilkada kali ini, anak dari Presiden, Wakil Presiden, dan menteri; ponakan menteri, istri bupati, suami bupati, maju dalam Pilkada. Mereka maju dalam Pilkada sah-sah saja sebab semua orang memiliki kedudukan hukum yang sama. Masalahnya bila anak, ponakan, suami, dan istri dari para petinggi di pusat dan daerah maju dalam ajang perebutan suara tersebut, sejauh mana kelak akan menghasilkan Pemilu yang berkualitas, Luber dan Jurdil?
Pilkada kali ini bagi ayah, paman, suami, dan istri para petinggi di pusat dan daerah, yang mana anak, keponakan, dan pasangan hidupnya maju dalam Pilkada, merupakan pertarungan reputasi mereka. Pastinya anak, keponakan, dan pasangan hidup mereka tidak ingin kalah.
Dengan demikian pastinya mereka akan melakukan usaha sekuat tenaga. Di sinilah perlunya pengawasan Pemilu agar pelaksanaan yang digelar bisa Luber dan Jurdil. Jangan sampai aparat dan perangkat negara ikut mendukung salah satu pihak. Semua perlu mengawasi jalannya Pilkada.
Bila pada akhir Orde Baru dan awal reformasi banyak pengawasan Pemilu yang memantau jalannya pesta demokrasi, maka kita harap yang demikian bisa ada lagi dalam Pilkada tahun ini dan seterusnya.