Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dan para menteri sudah mulai berkerja. Tak ada kegaduhan dari partai politik pendukung Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebab mereka sudah menerima jatah sesuai dengan itung-itungan yang dilakukan sebelum Pemilu. Bahkan pemerintahan Joko Widodo ini bisa jadi 'baik hati' sebab lokomotif rival mereka dalam Pemilu Presiden 2019, Partai Gerindra dengan ketua umumnya Prabowo Subianto, mendapat jatah dua kursi. Bila Jumlah kursi menteri tak terbatas bisa jadi PAN, PKS, dan Demokrat juga dikasih jatah.
PAN, PKS, dan Demokrat pasti tidak protes tak mendapat jatah kursi menteri sebab mereka tahu diri karena mereka bukan bagian pengusung Joko Widodo-Maruf Amin dalam Pemilu Presiden 2019 meski sebelumnya PAN dan Demokrat mempunyai harapan mendapat kursi karena Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan silaturahmi atau pertemuan empat mata sebelum penyusunan kabinet. Dalam pertemuan itu mereka tak sekadar ngopi bareng dan ngobrol biasa namun pasti ada terlontar perkataan, 'permintaan' dan 'pemberian' kursi menteri.
Dilantiknya para menteri tersebut mendapat sambutan antusias dari masyarakat sebab bisa jadi para menteri itu ada teman sekolah, teman kuliah, satu angkatan dalam pendidikan, atau dari organisasi yang sama. Dan kabinet kali kedua dalam pemerintahan Joko Widodo itu disebut sebagai kabinet rekonsiliasi karena menyatukan dua kubu yang selalu berseteru.
Meski pelantikan kabinet berlangsung lancar dan tanpa kendala dalam prosesi namun tetap saja ada sebagaian masyarakat atau sekelompok elit yang tidak puas dengan susunan kabinet itu. Langsung mereka menggalang opini bahwa Joko Widodo tak mengakomodir mereka padahal mereka menyebut dirinya telah berkeringat bahkan berdarah-darah mendukung Joko Widodo-Maruf Amin dalam Pemilu Presiden. Â
Sekelompok orang itu merasa bahwa jatah kursi menteri itu menjadi tradisi diemban atau dipangku oleh mereka. Alasannya, mereka merasa paling mampu dalam bidangnya, menguasai masalah yang ada, dan merasa mayoritas. Untuk itu mereka menggunakan dalih-dalih dan memutarkan balikan fakta yang ada yang semua bermuara agar jatah kursi itu diberikan kepadanya.
Hal demikian menunjukan bahwa semua orang dan kelompok masyarakat mempunyai potensi haus kekuasaan. Dari peristiwa itu menunjukan bahwa ternyata yang haus kekuasaan bukan hanya partai politik. Kelompok masyarakat pun bisa haus kekuasaan. Daya dorong haus kekuasaan itu bisa menjadi besar dan kuat bila mereka mempunyai jutaan anggota, memiliki jaringan di berbagai ormas, serta mempunyai infrastruktur organisasi yang sudah mapan.
Dalam Pemilu Presiden dan dengan sistem multypartai memang untuk memenangkan Pemilu selain dilandaskan pada elektabilitas dan popularitas juga dibutuhkan dukungan partai politik yang telah diatur dalam undang-undang. Mesin politik dari partai dirasa oleh tim sukses calon Presiden tidak cukup. Untuk itu mereka menggalang kekuatan yang lain, ormas. Tak heran bila dari ormas sebesar gajah sampai sebesar semut direkrut. Dari ormas yang sudah berdiri puluhan tahun hingga ormas yang dibentuk sejam yang lalu, langsung dijadikan bukti banyaknya dukungan dari mereka.
Tujuan untuk menggalang dukungan dari ormas adalah agar ormas itu mampu menarik anggotanya yang tersebar di mana-mana serta mengikuti petunjuk elit ormasnya. Cara yang demikian bila melihat catatan dinamika Pemilu yang sudah-sudah, bisa efektif dan manjur namun ada pula yang tak sukses. Bila antara elit ormas dan anggotanya ada perasaan yang sama maka menggunakan ormas sebagai tim sukses bisa mengantarkan calon Presiden yang didukung dan akan menang. Bila sebaliknya, antara elit ormas dan anggotanya tak ada perasaan yang yambung maka ormas yang besar pun tak bisa menjadi tim pemenangan calon Presiden yang didukung.
Mengajak ormas masuk dalam perebutan kekuasaan harus diakui mengakibatkan ormas itu 'berubah' menjadi partai politik. Akhirnya membuat mereka di satu sisi membangun opini dan propaganda bahwa si A lebih baik, agamis, nasional, bisa mengayomi semua kelompok. Di sisi yang lain, ormas itu membully, menjelekan bahkan memfitnah bahwa si B bila menjadi Presiden akan membahayakan kerukunan ummat dan mengancam kebebasan beragama bahkan keyakinan ritual dari ormasnya.
Ormas mau melakukan hal yang demikian sebab ia pastinya diiming-iming oleh tim sukses dan calon Presiden akan diberi jatah kekuasaan, entah menteri, kepala BUMN, atau bantuan-bantuan dana yang melimpah yang bersumber dari berbagai kementerian dan BUMN. Godaan seperti inilah yang mampu melenakan ormas. Ormas yang lahir dengan misi pendidikan dan pemberdayaan rakyat atau ummat pun akhirnya berubah wataknya seperti partai politik, pencari kekuasaan.
Belajar dari paparan di atas, sebaiknya ormas bisa menahan diri sebab bila mereka vulgar ingin mendapat jatah menteri akan terlihat hausnya pada kekuasaan padahal ormas itu didirikan mempunyai tugas lebih dari hanya satu kursi yang diinginkan itu. Hal demikian juga akan menunjukan bahwa ormas itu tidak professional dalam menangani masalah kebangsaan yang lebih komplek sebab mereka bisanya hanya mengurus yang itu-itu saja. Tak hanya itu, ormas yang ngotot mendapat kursi seolah-olah hanya mementingkan golongan dan kelompoknya saja. Dipikir masalah yang ditangani oleh kementerian itu hanya pada masalah yang dialami oleh satu ormas padahal semuan kementerian yang ada dibentuk untuk mengurusi masalah seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.