Meski Pemilu 2019 tinggal beberapa hari namun peristiwa dan berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK tak mengenal jeda. Setelah Ketua PPP, M. Romahurmuziy, terjerat OTT, selanjutnya anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso, mengalami nasib serupa.
Dengan semakin banyaknya anggota DPR yang terkena OTT, tentu hal yang demikian akan semakin memperburuk nama wakil rakyat, partai politik, dan lembaga yang menaungi, DPR. Anehnya, peristiwa yang sudah terjadi, tidak dijadikan pelajaran bagi wakil rakyat yang lain. Mereka sepertinya tidak takut atau malu ketika rekannya terkena OTT. Akibatnya, satu persatu mengalami nasib serupa.
Maraknya politisi yang terkena OTT, banyak pengamat politik dan hukum mengatakan hal demikian terjadi karena sistem politik kita yang mahal. Mahalnya sistem politik tidak hanya ke atas, 'struktural', namun juga ke bawah, 'kultural'.
Sudah menjadi rahasia umum bila seseorang ingin mengajukan diri menjadi calon kepala daerah atau calon wakil rakyat, mereka harus menyerahkan mahar. Mahar 'struktural', yang diberikan kepada pengurus partai, besar kecilnya akan menentukan cepat lambatnya turunnya surat resmi dukungan bagi calon kepala daerah dan penentuan rangking bagi calon wakil rakyat.
Bila seseorang menyerahkan mahar yang berkardus-kardus duit warnah merah, maka bila maju dalam Pilkada maka surat dukungan akan cepat ditandatangani oleh ketua partai. Pun demikian bila seseorang yang melakukan hal yang sama untuk menjadi wakil rakyat, maka nomer urut yang dikantongi adalah nomer urut satu.
Urusan soal mahar belum selesai meski ia sudah menyerahkan uang yang tidak sedikit kepada pengurus partai. Ketika mensosialisasikan diri ke tengah masyarakat, mereka tidak hanya mempersiapkan alat peraga kampanye secara mandiri, dari uangnya sendiri, namun juga harus siap menggelontorkan uang lelah kepada tim sukses dan uang pelicin kepada masyarakat, ini yang disebut mahar 'kultural'.
Sebagai calon kepala daerah atau wakil rakyat, masyarakat menganggap mereka adalah orang-orang yang banyak duit. Kondisi yang demikian banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat, kalau dengan menggunakan bahasa yang kasar, bisa meminta uang secara langsung kepada calon kepala daerah atau wakil rakyat. Dalam sebuah pertemuan, masyarakat menempel kepada calon dan dengan menggunakan bahasa-bahasa tertentu meminta uang. Sebab merasa tidak enak, si calon pun dengan terpaksa atau sukarela membagi-bagikan uang berwarna merah. Bila tidak dengan cara demikian, masyarakat akan mengirimkan permintaan sumbangan lewat proposal entah dengan dalih perbaikan jalan, perbaikan saluran sanitasi, atau pembangunan atau perbaikan rumah ibadah.
Dari sinilah kita bisa membayangkan betapa banyaknya duit yang harus dikeluarkan oleh si calon. Uang Rp1 miliar sepertinya belum cukup untuk membiayai seseorang untuk jadi wakil rakyat atau kepala daerah. Semakin banyak pemilih dan semakin luas wilayah daerah pemilihan tentu berbanding lurus dengan biaya yang harus ditumpahkan.
Selepas Pemilu, bila seseorang tidak jadi kepala daerah atau wakil rakyat, masalahnya selesai. Bila punya masalah mungkin urusan pribadi, utang kepada orang lain, atau ia mengalami gangguan jiwa. Namun bila terpilih, ia mempunyai peluang untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan dari pendapatan yang diterima tiap bulan plus tunjangan lainnya.
Nah, bila mengandalkan hanya dari pemasukan rutin, maka apa yang sudah dikeluarkan tidak akan tuntas atau lunas. Dari sinilah mereka akhirnya mencari jalan untuk mencari uang tambahan yang besar dengan cara yang cepat. Caranya? Mereka menggunakan kewenangan sebagai wakil rakyat atau kepala daerah untuk melobby, memperlancar, bahkan menekan pihak kedua atau ketiga dengan tujuan mendapat, istilahnya fee atau komisi, yang nilainya besar.
Menekan pihak kedua atau ketiga oleh wakil rakyat atau kepala daerah yang mempunyai kewenangan merupakan modus yang kerap digunakan sehingga dalam korupsi tidak pernah ada pemain tunggal. Dalam OTT biasanya yang terkena tangkap, satu wakil rakyat atau kepala daerah bersama beberapa orang yang lain.