Perubahan ini bisa terjadi karena setiap minggu, bahkan seminggu bisa empat kali, diguyur dengan siaran langsung pertandingan sepakbola Eropa. Di siaran televisi itulah masyarakat bersentuhan dengan istilah-istilah yang ada di sana.Â
Kata-kata asing itu di sana merupakan hal yang biasa namun bagi penggemar sepak bola di sini, kata-kata asing itu seolah-olah adalah keren, hebat, magis, dan menjadi penyemangat bagi dunia sepakbola.Â
Bahkan penggemar sepakbola di sini tak sungkan-sungkan mengambil semboyan klub asing sebagai bagian dari kehidupan keseharian sepakbola. Semboyan Liverpool yang berbunyi You Are Never Walk Alone disadap oleh salah satu pendukung kesebelasan yang ada di Indonesia menjadi semboyannya.
Kedua, perilaku pemain sepakbola kita di lapangan sekarang bergaya bak pemain sepakbola Eropa. Dahulu pemain sepakbola di Indonesia bila bertanding di Galatama atau Perserikatan, gayanya datar-datar saja. Bila diberi kartu kuning atau bertabrakan dengan pemain yang lain, wajahnya tak menunjukan ekspresi yang berlebihan.Â
Bila wasit meniup peluit ada kesalahan, mereka menerima keputusan tanpa protes. Wajah-wajah datar itu sekarang tak menghiasai lagi wajah-wajah pemain di sini saat bertanding. Sekarang mereka ekspresinya luar biasa saat berlaga.Â
Bila wasit membunyikan peluit ada sesuatu kesalahan, bila pemain tak merasa bersalah, ekspresi wajah mereka bak pemain Eropa, protes sambil berkata dengan suara keras, mendekati bahkan sampai mengerebungi wasit dengan tujuan agar keputusannya itu dibatalkan.
Perubahan perilaku pemain dan pelatih di lapangan bak pemain Eropa itu terjadi setelah siaran-siaran tunda atau langsung Liga Italia dan Piala Dunia 1990 menyeruak secara massif di televisi. Kalau lihat penjaga gawang Timnas Italia, Walter Zenga, di tahun 1990-an, begitu ekspresif wajahnya saat menjaga gawang.
Ekspresifnya wajah itu bisa terlihat nyata dalam bingkai televisi yang ditonton oleh jutaan orang di dunia. Gaya-gaya yang seperti itulah akhirnya menular kepada semua pemain sepakbola di seluruh dunia bila bermain di lapangan.
Pemain di sini berekspresi dalam gaya di lapangan tidak hanya karena tontonan di televisi namun juga karena tertular dari pemain-pemain asing yang berlaga di Liga Indonesia. Bagi pemain asing, budaya potes adalah hal yang biasa. Kebiasaan itu dibawa saat bermain di Indonesia dan yang demikian ditiru pemain lokal.
Ketiga, perubahan perilaku dalam sepakbola tidak hanya menghinggapi pemain dan pelatih namun juga pendukung. Sebelum ada siaran langsung pertandingan sepakbola Eropa yang massif, ulah penonton sepakbola wajar-wajar saja.Â
Mereka datang ke stadion dengan pakaian yang biasa dan duduk dengan tertib. Mereka melihat pertandingan dengan santai-santai saja. Begitu melihat penonton sepakbola Eropa yang atraktif baik seragam jersey maupun atribut yang lain seperti topi, selendang, jersey, bendera, cat muka, hal demikian mengubah penampilan penggemar sepakbola di sini.