Di tengah semakin serunya perdebatan politik antara dua kubu pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, masyarakat dihibur dengan hadirnya pasangan Nurhadi-Aldo yang disingkat Dildo sebagai 'pasangan ketiga' Calon Presiden-Wakil Presiden. Pastinya Dildo bukan pasangan resmi peserta Pemilu Presiden 2019 sebab KPU hanya mengesahkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amien dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sebagai pasangan yang main-main, tidak serius, dan guyonan, maka lontaran-lontaran yang diumbar Dildo kalau tidak menegasi jargon politik yang sudah ada, ia isinya berupa motivasi.
Jargon politik yang menegasi dari jargon politik yang sudah ada yang dilontarkan Dildo seperti, "sebagai capres pilihan saya tidak bisa berjanji, kita jalani saja yang dulu, siapa tahu cocok" atau "pemimpin yang tepat untuk bangsa ini ialah amanah, konsisten, merakyat, jujur, yang kami sebut dengan rumusan AKMJ". Pasangan yang diusung oleh Koalisi Indonesia Tronjal-Tronjol Maha Asyik itu juga kerap memberi motivasi pada masyarakat lewat meme-meme yang ada seperti "sekedar mengingatkan besok kerja".
Hadirnya pasangan abal-abal Pemilu Presiden 2019 harus diakui mampu menyita tidak hanya masyarakat namun media besar pun juga mengupasnya. Dari sini bisa dirasakan hadirnya, hanya, dua pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden membuat suasana politik menjadi kaku, panas, dan jauh dari suasana yang menyenangkan. Hadirnya dua pasangan yang ada membuat tak hanya tim sukses yang ada setiap hari selalu berdebat dan saling menyalahkan, di masyarakat pun lebih dari itu. Mereka saling mem-bully, mengejek, menghina, dan saling menjatuhkan. Kondisi yang demikian membuat semua lapisan masyarakat terbelah dalam dua kubu yang saling berhadapan.
Dari sinilah suasana politik yang ada tidak hanya sekadar panas namun juga menjenuhkan. Bukti dari kejenuhan tersebut membuat kehadiran Dildo disambut dengan riang. Dildo tak akan hadir ataupun kalau hadir tak akan dihiraukan oleh masyarakat bila Pemilu Presiden tahun ini menyajikan banyak pilihan atau pasangan.
Hadirnya dua pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden serta Dildo akibat wujud sikap politik dari politisi yang ingin menang sendiri. Sikap yang demikian membuat segala aturan yang ada dibuat hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Aturan yang dibuat itu adalah bagaimana dirinya bisa menguasai segala infrastruktur politik tanpa memberi kesempatan kepada yang lain.
Aturan parlement threshold dan president threshold yang tinggi membuat banyak kelompok masyarakat tidak bisa berkontestasi dalam pesta demokrasi. Banyak kelompok masyarakat yang tersingkir oleh aturan yang ada. Aturan yang tinggi ini hanya dinikmati oleh partai besar atau mayoritas. Sehingga politisi atau pemimpin yang muncul ya dari kalangan mereka saja, bahasa gaulnya 4 L, loe lagi loe lagi. Aturan yang tinggi ini menutup peluang bagi masyarakat atau sosok yang lain untuk bisa berkiprah dalam politik.
Mereka, yang mendukung aturan ketat dalam berdemokrasi, mempunyai alasan dengan aturan yang dibuat itu membuat demokrasi dan politik menjadi efisien. Dengan adanya kontestan yang terbatas maka membuat Pemilu menjadi murah, efisien, flekksibel, dan cepat. Namun mereka tidak sadar bahwa dengan aturan yang dibuat itu membuat demokrasi kita menjadi kaku, keras, dan jauh dari suasana yang ideal.
Mungkin mereka melakukan studi banding ke negara-negara yang demokrasinya sudah berjalan ratusan tahun seperti di Amerika Serikat namun mereka sepertinya memandang dan melihatnya hanya dari satu mata. Ok, Amerika Serikat dengan dua partai besarnya, yakni Demokrat dan Republik, mampu membuat demokrasi di sana berjalan efisien dan stabil namun kemapanan mereka dalam berdemokrasi tidak hanya didukung oleh infrastruktur demokrasi yang sudah dibangun ratusan tahun namun juga didukung oleh kecerdasan masyarakat dan kesejahteraan ekonomi serta sistem hukum yang adil.
Hal demikian, yakni kecerdasan masyarakat dan kesejahteraan ekonomi belum seluruhnya dinikmati oleh rakyat di sini. Tak heran bila kondisi demokrasi kita masih belepotan dengan masalah-masalah itu, seperti adanya suara yang bisa dijual dengan sembako, uang, dan jabatan.
Jadi bila kita ingin membangun demokrasi seperti di negara yang maju, tentu kita tak boleh hanya melihat kemapanan infrastruktur politik yang sudah ada namun juga perlu memperhatikan faktor pendukung yang lain seperti kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat serta keadilan aparat hukum.