Terjawab sudah siapa-siapa pasangan Calon Presiden (Capres) - Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Lewat detik-detik yang disebut dramatis dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama wartawan, akhirnya masing-masing kubu partai politik telah mengumumkan siapa pasangan calon yang diusung.Â
Himpunan partai politik pendukung pemerintah seperti Golkar, PDIP, PPP, Nasdem, Hanura, dan PKB, sepakat mengusung Joko Widodo-Maruf Amin. Sedang himpunan partai oposisi, Gerindra, PAN, dan PKS, deal mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam menyusun pasangan, masing-masing kubu penuh diwarnai bumbu, drama, dan detik-detik yang menegangkan. Di awal-awal, pastinya masing-masing partai politik menyorongkan kader atau ketua umumnya untuk menjadi Cawapres. Sayang, jabatan Wakil Presiden cuma satu kursi sehingga akhirnya terjadi lobby-lobby atau proses tawar menawar. Proses tawar menawar itu rupanya memakan waktu tak cukup sehari hingga akhirnya di detik-detik terakhir muncullah berbagai drama.
Drama di kubu Joko Widodo, awal mulanya nama Mahfud MD disebut sebagai sosok yang kuat akan mendampingi Joko Widodo. Buktinya berbagai persiapan telah dilakukan oleh Mahfud MD, seperti mengurus surat keterangan kelakuan baik di kepolisian, mengukur pakaian, dan stay di tempat yang tak jauh dari para ketua partai politik yang sedang rapat di kawasan Menteng, Jakarta. Namun tiba-tiba rencana mengusung Mahfud MD batal. Ada salah satu partai politik yang tidak suka pada Mahfud MD sehingga akhirnya pilihan di awal itu dibatalkan. Siapa calon pengganti pria asal Madura itu pun dibahas kembali hingga akhirnya pilihan jatuh kepada Maruf Amin. Pilihan pada Maruf Amin bulat.
Di kubu Prabowo Subianto pun demikian. Nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putra Ketua Partai Demokrat dan mantan Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), disebut calon yang kuat akan mendampingi Prabowo selain nama Ustad Abdul Somad dan Salim Segaf Al Jufri. Intensnya pertemuan SBY dan Prabowo membuat seolah-olah AHY-lah yang dipilih Prabowo.Â
Namun sayang Prabowo tidak memilih AHY, Ustad Abdul Somad, dan Sali Segaf Al Jufri. Dipilihlah Wakil Gubernur Jakarta, Sandiaga Uno. Tidak dipilihnya AHY membuat drama baru antara Gerindra dan Demokrat.Â
Karena marah tidak memilih AHY maka muncul umpatan 'jenderal kardus' dari petinggi Demokrat yang ditujukan kepada Prabowo Subianto. Tak hanya itu, pernyataan dari petinggi Demokrat adanya mahar tinggi yang diberikan kepada PKS dan PAN menambah drama antara Demokrat dengan kedua partai itu.
Terlepas dari drama untuk menentukan pasangan Capres-Cawapres, sekarang publik sudah tahu siapa yang kelak akan dipilih dalam Pilpres 2019. Rakyat Indonesia akan memilih pasangan Joko Widodo-Maruf Amin yang oleh partai pendukungnya disebut sebagai pasangan Nasionalis-Islam ataukah memilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, di mana pasangan ini ada yang menyebut sebagai akomodasi anak muda.
Dalam menyusun pasangan tentu partai politik mempunyai banyak pertimbangan agar pasangan yang diusung bisa menang. Kubu Joko Widodo yang merangkul Maruf Amin, ulama yang berpengaruh di kalangan ummat Islam dan NU, didasari pertimbangan agar terjadi keseimbangan antara kelompok Nasionalis dan Islam. Isu ini dimunculkan kembali selepas Pilkada Jakarta 2017.Â
Pada Pilkada itu, bangsa ini terbelah menjadi dua, sehingga menimbulkan kekhawatiran terjadi perpecahan di masyarakat. Meski Pilkada berlangsung lancar dan tanpa menimbulkan masalah yang mengkhawatirkan namun Pilkada Jakarta membuat kubu partai politik yang saat ini mendukung Joko Widodo mengalami trauma yang cukup berat. Selain kalah, model atau gerakan yang terjadi di Pilkada Jakarta itu akan mengancam kekuasaan mereka saat Pilpres.
Meski hasil survei banyak menggunggulkan Joko Widodo namun posisi survei menunjukan itu belum posisi aman. Posisi inilah yang dikhawatirkan kubu Joko Widodo apalagi kubu oposisi, baik Parpol dan ummat Islam, akan menggunakan gerakan saat menjelang Pilkada Jakarta 2017, sepert 212, dalam Pilpres 2019. Gerakan seperti itu, dimulai dengan hastag #2019GantiPresiden. Gerakan ini rupanya membuat kekuasaan merasa terpojok sehingga berbagai deklarasi #2019GantiPresiden dilarang, dibatalkan, atau diganggu.