Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lembaga Negara Pun Juga Harus Netral

3 Oktober 2017   07:49 Diperbarui: 3 Oktober 2017   08:26 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Instruksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk memutar film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI serta ungkapan adanya pemesanan 5000 senjata dari institusi di luar TNI, menimbulkan keriuhan dalam jagad politik dan dunia pertahanan dan keamananan di Indonesia.

Apa yang diinstruksikan dan diungkapkan itu menimbulkan sikap pro dan kontra dari masyarakat. Bagi yang tidak setuju dengan langkah-langkah Gatot Nurmantyo, mereka menuduh apa yang dilakukan Gatot Nurmantyo sebagai upaya untuk mengembalikan kekuatan Orde Baru serta menarik-narik kembali TNI ke dalam dunia politik.

Ketakutan masyarakat akan kembalinya tentara ke dalam politik, itu sangat wajar. Pengalaman pada masa Orde Baru di mana tentara menjadi salah satu kekuatan politik, dengan tersedianya kursi di DPR/MPR, serta aktifitasnya di lapangan yang secara langsung mendukung Golkar, membuat demokrasi yang berjalan menjadi tidak sehat. Sebagai institusi yang memegang senjata, tentara berperan untuk menekan kelompok yang dirasa menganggu kekuasaan. Akibatnya memang negara ini stabil namun hasil kontestan demokrasi sudah bisa dibaca.

Ketika era reformasi bergulir maka tuntutan agar tentara tidak memihak kepada salah satu golongan menjadi salah satu agenda. Keinginan tersebut menjadi harapan semua pihak termasuk TNI sendiri yang sudi meninggalkan parlemen. Ketika tentara sudah kembali ke barak dan meninggalkan dunia politik maka demokrasi yang ada berkembang sesuai selera masyarakat. Masyarakat suka-suka memilih tanpa adanya intimidasi atau paksaan dan taka da kekuatan partai politik yang disokong oleh tentara.

Apakah masalah demokrasi kita sudah selesai ketika TNI sudah tidak berpolitik? Belum, demokrasi kita masih banyak mempunyai ganjalan sehingga apa yang kita harapkan dari paham ini belum seratus persen terwujud. Bila kita belajar pada masa Orde Baru pada keterlibatan tentara dalam politik yang membuat ketidakadilan berdemokrasi, seharusnya kita juga belajar pada ketidakadilan Presiden (Soeharto) dalam segala urusan. Pada masa Orde Baru, tidak hanya tentara yang melakukan tindakan yang tidak adil, lembaga negara dalam hal ini Presiden juga melakukan hal yang sama.

Pada masa lalu, pemerintahan Orde Baru diskriminatif kepada partai politik, masyarakat, dan kekuatan lain yang berada di luar kekuasaan. Praktek-praktek diskriminatif tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka yang dirasa mendukung atau menguntungkan kekuasan maka difasilitasi dan dilayani secara baik namun ketika dirasa ada kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintahan maka kelompok itu tidak dilayani, diacuhkan bahkan dikriminalisasi.

Pemerintahan seperti itu bisa dikatakan melakukan tindakan yang tidak netral, pilih kasih. Pemerintahan yang seharusnya melayani semua menjadi pihak yang berhadapan dengan masyarakat sendiri yang dianggap sebagai kekuatan yang lain. Padahal pemerintahan adalah sebuah institusi yang hadir di tengah masyarakat untuk melayani semua tanpa melihat latar belakang politik dan kepentingan.

Fenomena pemerintahan yang tidak adil, tidak netral, seperti pada masa Orde Baru sepertinya terulang pada saat ini. Lembaga-lembaga negara seperti Presiden dan lainnya yang seharusnya netral namun mereka memihak pada salah satu kelompok. Akibatnya saat ini masyarakat menjadi terbelah pada dua kutub, satu dilayani, satu diacuhkan.

Hal demikian sangat jelas terjadi di depan mata, bagaimana ada kelompok masyarakat yang selalu diawasi dan bila melakukan kesalahan meski sedikit, ia dikriminalisasi dan segera diproses hukum. Di sisi lain, ada kelompok masyarakat meski mereka sudah melakukan pelanggaran hukum namun tidak ditindak. Dari fenomena yang demikian, saat ini nyaring terdengar terjadi ketidakadilan hukum atau tebang pilih.

Bila pada masa Orde Baru masyarakat resah karena adanya ketidakadilan dalam urusan politik dan hukum, sekarang pun hal demikian juga dirasakan oleh masyarakat, semua itu terjadi karena lembaga-lembaga negara seperti Presiden bersikap tidak netral. Posisi lembaga negara seperti Presiden pastinya posisinya lebih tinggi daripada institusi TNI, dengan demikian ketidaknetralan Presiden dampaknya lebih besar daripada ketidaknetralan TNI. Ketidaknetaralan Presiden mencakup pada semua bidang kehidupan. Sedang ketidaknetralan TNI hanya pada sekup-sekup tertentu.

Untuk itu kita tidak bijak menginginkan TNI harus netral dalam kehidupan, sementara kita membiarkan lembaga negara yang mengurusi eksekutif, judikatif, dan legislatif tidak netral. Dampak ketidaknetralan lembaga negara itu pastinya berpengaruh pada perkembangan demokrasi, ekonomi, dan hajat hidup masyarakat lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun