Beberapa waktu yang lalu, saya melakukan perjalanan ke Dili, Timor Leste, lewat perjalanan darat. Selepas dari pemeriksaan imigrasi Indonesia di Motain, Belu, Nusa Tenggara Timur, kita akan memasuki Batu Gade, Timor Leste. Dari sinilah perubahan terjadi, perubahan bukan pada bentuk fisik masyarakat, agama, dan budayanya namun pada bahasa yang digunakan. Dalam formmasuk ke negara Timor Leste, di samping bahasa Inggris, juga ada kalimat-kalimat pernyataan dalam bahasa Tetun bercampur Portugal. Bahasa Tetun bercampur Portugal sekarang menjadi bahasa resmi negara yang pernah menjadi wilayah Indonesia itu.
Ada kekhawatiran dalam masalah komunikasi ketika saya berkunjung ke sana namun jauh-jauh hari dikatakan oleh teman saya asli asal Dili bahwa bahasa Indonesia adalah hal yang biasa digunakan masyarakat Timor Leste. Jadi jangan khawatir bila berkunjung ke Timor Leste ketika tidak bisa berbahasa Inggris, Tetun, atau Portugal.
Ketika saya memasuki wilayah negara itu, terlihat dari kendaraan yang saya tumpangi, semua papan nama baik perkantoran, kios (toko), pasar, gereja, dan tempat-tempat umum lainnya menorehkan tulisan berbahasa Tetun bercampur Portugal. Meski sudah puluhan tahun di bawah Indonesia, tak ada sepenggal kata yang bertuliskan dalam bahasa Indonesia sehingga ketika berada di Timor Leste, seolah-olah kita berada di negara-negara Latin.
Pun demikian ketika membaur di tengah masyarakat, di keramaian dan fasilitas umum mereka bercakap-cakap dalam bahasa Tetun bercampur Portugal. Dalam kunjungan ke Dili, pada sebuah malam ada acara yang disebut International Jazz. Ketika saya melihat pertunjukan itu, jelas sekali pemandu acara menggunakan bahasa resminya. Dari sini jelas bahwa bahasa Indonesia bukan sebagai bahasa keseharian di sana. Menggantikan bahasa Indonesia dengan bahasa Tetun bercampur Portugal, merupakan kebijakan pemerintah Timor Leste sejak negara itu memisahkan diri dengan Indonesia. Tahun 2002, Provinsi Timor Timur sebagai provinsi ke-27, menjadi negara tersendiri dengan nama Timor Leste. Dengan demikian sudah 15 tahun, bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa resmi dan pengantar di negara tersebut.
Meski demikian, seperti dipaparkan di atas bahwa masyarakat di sana banyak yang menguasai bahasa Indonesia. Dan hal demikian saya buktikan saat saya mengajak berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Mereka mampu dengan lancar. Mereka yang lancar menggunakan bahasa Indonesia, adalah yang pernah hidup di masa Indonesia, dari tahun 1975-2002, lewat percakapan resmi atau lewat pendidikan di sekolah yang menggunakan kurikulum Indonesia. Jadi mereka yang dulu pernah mengenyam pendidikan Indonesia, sekarang masih bisa bahasa Indonesia. Mayoritas orang tua di sana bisa berbahasa Indonesia.
Akibat tidak diajarkan bahasa Indonesia lagi di sekolah-sekolah membuat banyak generasi muda di Timor Leste tidak bisa berbahasa Indonesia dan hal yang demikian saya temukan. Dua orang yang berkerja di sebuah hotel backpacker ketika saya ajak berbahasa Indonesia, mereka bahasa Indonesia-nya terpatah-patah, kesulitan, bahkan satunya tidak bisa sama sekali.
Pengguna bahasa Indonesia di Timor Leste, selain mereka yang pernah hidup di masa Indonesia, adalah mereka yang mempunyai cita-cita kuliah di Indonesia. Sebagaimana diketahui, banyak anak-anak muda Timor Leste yang menempuh pendidikan di Indonesia. Ada ribuan generasi muda Timor Leste yang menempuh kuliah di Denpasar, Malang, Surabaya, Jogjakarta, Bandung, Jakarta, dan kota lainnya. Mereka ada yang kuliah dengan biaya sendiri atau beasiswa dari pemerintahannya.
Lalu dari mana mereka belajar bahasa Indonesia bila di sekolah tidak diajarkan. Mereka belajar dari keluarga (senior) yang pernah hidup semasa jaman Indonesia atau belajar dari pengaruh-pengaruh Indonesia yang masuk ke negara itu. Pengaruh Indonesia yang masuk ke Timor Leste dalam keseharian adalah lewat televisi dan lagu-lagu pop Indonesia. Sebagaimana diketahui, stasiun-stasiun televisi dari Jakarta dengan bebas menerobos ke rumah-rumah sehingga dari percakapan di televisi itulah mereka belajar bahasa Indonesia.
Pun lagu-lagu pop Indonesia di sana sangat digemari, dari lagu itulah mereka juga belajar. Di sebuah kios, melihat radio yang tengah mengalunkan sebuah lagu pop Indonesia yang dinyanyikan oleh salah satu band asal Jakarta. Dalam sebuah kesempatan saya bertemu dengan mahasiswa Universidade Nacional Timor Lorosae, ketika saya bertanya bagaimana kamu bisa berbahasa Indonesia, ia menjawab, “saya belajar sendiri.”
Dari sinilah kita tahu bahwa masih adanya penggunaan bahasa Indonesia di sana meski secara resmi bahasa Indonesia tidak digunakan dan tidak diajarkan di sekolah. Masih adanya penggunaan bahasa Indonesia selain adanya pengaruh Indonesia yang begitu besar, juga karena kebutuhan masyarakat sendiri.
Sebagai negara yang berbatasan langsung dan pernah hidup bersama dengan Indonesia, membuat mereka sadar bahwa keberadaan Indonesia berpengaruh pada masa depan mereka, mereka sadar setiap waktu akan berhubungan dengan orang Indonesia, sehingga mereka dengan senang hati belajar bahasa Indonesia secara otodidak dan alamiah. Hal demikianlah yang membuat bahasa Indonesia bisa berkembang meski tanpa campur tangan pemerintah Timor Leste sendiri.