Meski Pilkada Provinsi Jawa Barat baru digelar tahun 2018, namun Walikota Bandung Ridwan Kamil sudah menyatakan siap untuk maju dalam Pilkada itu. Kesiapan maju sebagai calon gubernur itu dinyatakan dalam deklarasi yang digelar pada 19 Maret 2017. Dalam deklarasi itu, dirinya secara jelas diusung oleh Partai Nasdem.
Partai yang dikomandoi oleh Surya Paloh tersebut mendukung Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jawa Barat sebab dirasa Ridwan Kamil berhasil membangun Kota Bandung menjadi lebih manusiawi dan beradab. Keberhasilan Ridwan Kamil itu tidak hanya dirasa oleh Partai Nasdem namun juga oleh masyarakat dan lembaga non-pemerintah lainnya sehingga dirinya sering mendapat penghargaan. Berkat keberhasilan tersebut maka Kota Bandung menjadi perhatian dan acuan bagi pemerintah kota dan daerah lainnya bahkan sampai kota-kota di luar negeri.
Lalu sejauh mana kemajuan kelak dari pencalonan Ridwan Kamil dalam Pilkada Jawa Barat. Dalam masa setahun tentu dinamika politik yang terjadi pasti akan mengalami pasang surut. Dinamika yang terjadi bisa menguntungkan, bisa pula merugikan, bisa pula kesepakatan Ridwan Kamil dan Nasdem batal karena dinamika tersebut. Batal kesepakatan dalam dunia politik hal biasa. Selepas deklarasi saja sudah ada serangan-serangan terhadap Ridwan Kamil dari masyarakat yang sebelumnya adalah pendukungnya. Dengan demikian, bisa-bisa energi Ridwan Kamil akan habis sebelum Pilkada Jawa Barat masuk tahap resmi.
Lalu bagaimana peta politik di Jawa Barat terhadap pencalonan Ridwan Kamil sendiri. Ada beberapa asumsi terhadap sikap politik Ridwan Kamil yang hendak bertarung dalam Pilkada Jawa Barat yang diusung oleh Nasdem. Pertama, menjelang Pilkada Jakarta tahun 2017, selain Walikota Surabaya Tr Rismaharini, sosok Ridwan Kamil sebenarnya menjadi calon yang digadang-gadang untuk bisa maju dalam Pilkada ini. Ia banyak didukung oleh partai politik selain PDIP dan Nasdem untuk ikut dalam bertarung di Pilkada Jakarta sebab sosoknya berlawanan dengan Ahok. Ridwan Kamil disebut sebagai kepala daerah yang berhasil membangun Kota Bandung tanpa menggusur dan memiliki figur yang santun. Ketika survei menunjukan cukup tinggi dan dukungan partai ada namun entah mengapa Ridwan Kamil tidak maju dalam Pilkada Jakarta.
Sebagai sosok yang dinilai kebalikan dengan Ahok namun kali ini dirinya didukung oleh partai yang sangat getol mendukung Ahok, yakni Partai Nasdem. Dukungan inilah yang bisa jadi tidak menguntungkan bagi Ridwan Kamil. Jawa Barat sebagai daerah yang terbilang religius, tentu lebih menguntungkan bila Ridwan Kamil didukung oleh partai-partai yang bernafaskan Islam atau partai yang tidak memusuhi Islam. Dukungan dari Nasdem tersebut tentu akan mengecewakan masyarakat yang menjadi anggota dan simpatisan partai yang berhaluan Islam. Hal ini jangan dipandang sebelah mata, jumlah simpatisan dan anggota partai berhaluan Islam jumlahnya cukup banyak yang mayoritas berada di daerah-daerah padat di Jawa Barat selain Bandung sendiri, juga ada di Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Cianjur, dan Sukabumi.
Kedua, Pilkada Jawa Barat tahun 2018 ini sepertinya bukan Pilkada yang sifatnya pragmatis. Koalisi tidak didasarkan oleh kesepakatan materi namun lebih pada ideologi. Dengan demikian maka komposisi pengusung calon gubernur sepertinya sama persis dengan yang terjadi di Pilkada Jakarta. Bila Ridwan Kamil sudah diusung oleh Partai Nasdem maka partai-partai lain seperti PDIP sepertinya akan segera menyusul mendukung Ridwan Kamil. Sedang rival Ridwan Kamil seperti PKS dan Gerindra, bisa jadi akan mengusung calon yang lain.
Pilkada Jawa Barat sebagai pertarungan ideologis maka hal ini tidak menguntungkan Ridwan Kamil. Selama ini dirinya lebih banyak disokong oleh masyarakat yang lebih religius. Bila partai religius tidak mendukung dirinya maka anggota dan simpatisan partai yang berhaluan Islam atau tidak memusuhi Islam pasti akan berbanding lurus yakni tidak memilih Ridwan Kamil.
Jadi di sini masih berlaku siapa dan apa partai pendukungnya. Bila ada sosok yang bagus namun kalau didukung oleh partai yang tak seideologi, sosok itu tidak akan didukungnya. Hal demikian berlaku pula ketika Ridwan Kamil didukung oleh partai berhaluan Islam, pasti anggota dan simpatisan partai rivalnya, misal PDIP, maka mereka tidak mencoblos Ridwan Kamil.
Ketiga, Ridwan Kamil secara buru-buru mau menerima pinangan Nasdem. Seharusnya ia tahu dan paham bahwa partai ini di Jawa Barat bukan sebagai lokomotif. Masih banyak partai besar di Jawa Barat yang mempunyai daya tarik yang lebih dahsyat dibanding Nasdem. Nasdem di DPRD Jawa Barat hanya meraih 5 kursi, bandingkan dengan PDIP 20 kursi, Golkar 17 kursi, Demokrat dan PKS 12 kursi, serta Gerindra 11 kursi.
Bila Nasdem ingin menjadi lokomotif tentu itu sangat berat sebab ia hanya mempunyai 5 kursi. Dengan demikian ia harus menarik satu partai bersar atau dua partai lainnya agar syarat yang diwajibkan terpenuhi. Jadi Ridwan Kamil sebenarnya diusung oleh partai kecil.
Entah mengapa Ridwan Kamil mau didukung oleh Nasdem. Apakah dirinya tidak sadar bahwa sebenarnya partai pendukungnya itu partai baru dan masih kurang pengalaman dalam berpolitik. Lebih menyedihkan lagi bahwa partai pendukung Ridwan Kamil itu adalah partai pengusung Ahok di Pilkada Jakarta dan mendukung habis-habisan Ahok. Dan selama ini sikap masyarakat Jawa Barat, meski tidak semua namun kebanyakan, bersikap kontradiksi dengan perilaku Ahok. Bila demikian, bisa-bisa Ridwan Kamil layu sebelum berkembang karena sikap buru-burunya.