Begitu tiba di Terminal Kuching, Sarawak, Malaysia, saya segera bergegas turun dari bus. Bus itu telah mengantar penumpang dari Terminal Antarbangsa, Ambawang, Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Perjalanan dari dua kota dan dua negara itu memakan waktu sekitar 8 jam. Suasana menyenangkan dan menjenuhkan campur aduk jadi satu.
Di terminal yang terhubung dengan malli tu, saya bertanya naik apa bila hendak ke Water Front. Water Front adalah pusat wisata dan belanja di Kuching. Untuk menuju ke Water Front disebut ada dua cara, yakni menggunakan taxi atau bus umum. Perbedaannya adalah bila naik taxi, tarif yang dipasang adalah 25 RM (Ringgit Malaysia) hingga 30 RM. Sedang bila naik bus umum kisaran 1 RM hingga 2 RM. Sebagai pelancong biasa saya memilih menggunakan bus umum.
Untuk mencari bus umum, disarankan menunggu di halte. Halte itu berada di seberang terminal. “Menunggunya agak lama,” ujar orang yang memberi info. Setelah mendapat keterangan, saya bergegas menuju tempat yang ditunjuk. Untuk tiba di halte, harus melalui jalan raya yang padat dan ramai. Untung di pertigaan yang besar itu ada traffic light sehingga ada jeda lalu lalang. Di saat jeda itulah waktu untuk menyeberang. Hingga akhirnya tiba di halte bus.
Dari pembicaraan awal itu mengembang hingga akhirnya tahu sama tahu bahwa semua adalah dari Jawa, wong jowo. Dua pemuda itu adalah tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka sedang menyelesaikan sebuah proyek bangunan di sekitar Water Front yang saat itu sedang bermain ke Kuching Sentral.
Saat itu jam menunjukan hampir pukul 17.00 waktu setempat. Di Kuching jam operasional angkutan umum hanya sampai jam 17.00. Bila saat itu angkutan umum susah didapat, berarti jam operasional telah usai. Banyak diakui oleh pendatang baru, angkutan umum di kota itu susah dan jarang. Tak adanya angkutan umum itulah yang membuat kami sepakat untuk naik taxi. Dalam perjalanan mereka menawari berkunjung ke tempat tinggalnya. Disebut di sana banyak pekerja dari Indonesia. Mendengar hal yang demikian saya senang sebab keingintahuan mengenai kehidupan pekerja Indonesia bisa disaksikan secara langsung.
Selepas melintasi jalan yang berserak besi dan peralatan bangunan, akhirnya tiba di sebuah rumah. Rumah bertingkat dua itu bagian depannya untuk kantor pembangunan, sedang di bagian belakang dan atas untuk hunian pekerja, semua pekerja di tempat itu adalah dari Indonesia, dulu pernah ada dari India namun dikatakan sudah pulang.
Akhirnya tiba di belakang rumah. Di belakang rumah itu ada dua kamar yang tersekat. Di depan dua kamar itu ada dapur dan kamar mandi. Di tempat itulah sekitar 8 orang pekerja tinggal, sedang puluhan pekerja yang lain tinggal di lantai dua atau di ruang samping. Kedatangan saya disambut dengan ramah oleh mereka. Saling memperkenalkan diri. Mayoritas mereka berasal dari kota di Jawa Timur, ada beberapa dari Jawa Barat.
Ketika tiba di tempat itu, waktu menjelang malam dan saat makan malam. Mereka dengan ramah mengajak makan. Sebetulnya menolak ajakan makan namun mereka tetap mengajak sehingga akhirnya saya bersedia. Untuk menghormati maka saya mengambil nasi dan lauk sedikit. Salah satu di antara mereka mengatakan bahwa mereka masak bersama. Tujuannya pasti untuk menghemat pengeluaran.
Sebagai pekerja Indonesia, mayoritas mereka sudah berpengalaman. Mereka sudah biasa bekerja di luar negeri. Tempat kerjanya itu bukan yang pertama, mereka sudah pernah bekerja dalam proyek di Kuala Lumpur, Kinabalu, Johor bahkan negara Timur Tengah. Bahkan mereka ada yang pernah bekerja di perkebunan kelapa sawit.