Dinamika Pilkada Jakarta yang akan digelar 2017 geliatnya terasa dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud hingga Timor bahkan hingga sampai keluar negeri. Mereka yang bukan warga Jakarta, yang tidak memiliki hak untuk memilih dalam Pilkada ini, ikut membahas, mendukung, bahkan menolak terhadap calon-calon yang ada. Perbincangan Pilkada menyeruak, di media-media sosial masyarakat di berbagai tempat, wartawan di daerah pun ketika ada ketua umum partai politik berkunjung ke sana, yang ditanyakan bukan hanya soal rencana Pilkada di daerah namun juga Pilkada Jakarta.
Menariknya Pilkada Jakarta bisa jadi dikarenakan seringnya dinamika Pilkada ditayangkan di mass media, terutama televisi. Media massa tak henti-hentinya mengumbar berita Pilkada setiap hari. Suguhan yang massif itulah yang akhirnya menginternalisasi ke dalam pikiran masyarakat sehingga dalam otak mereka yang ada dan menarik Pilkada Jakarta bukan Pilkada di daerahnya. Di sini ada ketidakseimbangan media massa dalam memberitakan hajatan lima tahunan itu.
Hajatan yang hendak diselenggarakan secara serentak pada tahun 2017 itu sebenarnya juga terjadi di banyak tempat, termasuk tetangga Jakarta sendiri, Provinsi Banten, namun karena Pilkada yang lain tidak diberitakan secara massif maka geliat Pilkada di daerah tertutup oleh Pilkada Jakarta.
Apakah Pilkada Jakarta sangat strategis dan penting hingga orang sekelas Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Prabowo, dan ketua umum partai lain harus turun gunung? Kalau ditanya seperti itu, jawabannya iya, Pilkada Jakarta merupakan hajatan yang strategis. Sebagai daerah khusus ibu kota, daerah ini selain bergeliat dalam  urusan Jakarta juga menjadi pusat segala aktivitas bangsa Indonesia. Segala urusan eksekutif, judikatif, legislatif, ekonomi, informasi, militer, dan lain sebagainya ada di sini.
Sebagai pusat segala aktivitas, Jakarta, tidak hanya sekarang bahkan sejak tahun 1500-an sudah menjadi tujuan banyak orang untuk mencari kehidupan. Saat ini setiap hari Jakarta tidak hanya kedatangan orang dari Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, namun juga dari Purwakarta, Subang, Sukabumi, dan Serang. Setiap pagi dan sore terjadi migrasi yang massif dari dan ke Jakarta dari daerah-daerah tadi.
Sebagai daerah tempat orang mencari kehidupan, tak heran bila jumlah penduduk Jakarta lebih dari 9.988.329 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu dan dibanding dengan luas wilayahnya, Jakarta merupakan provinsi terpadat di antara provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Jumlah penduduk yang padat inilah yang bisa jadi membuat Jakarta sebagai daerah yang strategis bagi partai politik dalam Pemilu.
Namun bila kita mengacu pada jumlah penduduk, untuk urusan Pemilu, sebenarnya Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat-lah sebagai daerah yang lebih strategis dibanding Jakarta. Jumlah penduduk ketiga provinsi itu di atas 30 juta bahkan mencapai 46 juta jiwa. Jutaan penduduk yang terpusat di ketiga provinsi itu membuat saat Pilpres 2014, gerak timses kedua capres lebih banyak terkonsentrasi di sini. Pilpres 2014, kemenangan Joko Widodo dengan suara 70.997.833 juta, jumlah ini merupakan jumlah gabungan antara Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Timur atau Jawa Tengah. Bila politik ketiga provinsi itu dikuasai maka selesailah Pilpres. Hanya faktor sebaran kemenangan dalam Pilpres yang harus dipenuhi membuat kemenangan di provinsi dan daerah lain juga harus diperhitungkan.
Terkonsentrasi timses di ketiga provinsi tersebut sebab dilandasi pikiran efisiensi. Satu jumlah penduduk sebuah kabupaten di luar Jawa, sama dengan jumlah satu penduduk di sebuah kecamatan di kabupaten yang di Jawa. Sehingga kemenangan seorang capres di salah satu kabupaten atau kota di luar Jawa tidak terlalu berpengaruh bila daerah-daerah Jawa tidak mencapai kemenangan.
Menjadi pertanyaan mengapa Pilkada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, tidak seheboh Jakarta? Nah di sinilah masalahnya. Apakah karena provinsi itu tidak sepenting Jakarta, sebagai segala pusat aktivitas, sehingga para politisi sepertinya tidak seheboh saat mengurus Pilkada Jakarta.
Terfokusnya masyarakat kepada Pilkada Jakarta ini menunjukkan bahwa pembangunan yang ada masih terkonsentrasi di sini. Hal demikian tidak bagus dalam soal pemerataan pembangunan, juga tidak bagus dalam masalah pendidikan politik dan demokrasi. Selama ini masyarakat belajar politik pada apa yang terjadi di Jakarta, syukur kalau yang di Jakarta bisa memberikan pendidikan yang bagus dan benar, masalahnya bila yang terjadi di Jakarta tidak bisa ditiru dan ditauladani untuk orang-orang daerah.
Untuk itulah di sini kita pentingnya memikirkan bagaimana pemerataan terjadi, tidak hanya pemerataan di bidang ekonomi namun juga di bidang informasi dan demokrasi. Tak ada pemerataan di bidang informasi dan demokrasi membuat energi masyarakat dikeluarkan bukan pada tempatnya sehingga menjadi sia-sia. Apa pentingnya masyarakat di luar Jakarta sampai ngotot-ngotot, ikut-ikut, mendukung atau menolak salah satu calon di Pilkada Jakarta. Meski mereka mendukung atau menolak calon kalau tidak mempunyai hak memilih secara legal, kan sia-sia. Mengapa mereka tidak berkonsentrasi saja di Pilkada daerahnya yang benar-benar real di depan mata. Â Â Â