Pagi itu pesawat yang saya tumpangi dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten, akhirnya berhenti sempurna di Bandar Udara Sultan Babullah, Ternate, Maluku Utara. Penumpang yang sudah duduk manis sekitar 4 jam di kursi-kursi pesawat memperlihatkan wajah yang lega meski setelah dirundung rasa kebosanan.
Setelah pintu pesawat dibuka, satu persatu dengan tertib penumpang keluar dari perut pesawat yang berbentuk kapsul itu. Saya sendiri di antara ratusan penumpang menyeruak keluar. Setelah berjalan menyusuri jalan yang dibeton, tempat parkir pesawat, tibalah di ruang kedatangan. Di luar terlihat orang berkerumun, entah siapa mereka, apakah para penjemput, penjual jasa transportasi, atau orang yang mempunyai kepentingan lain berada di tempat itu.
Dalam perjalanan itu, saya tidak memasukkan barang dalam bagasi sehingga tidak perlu berlama-lama berada di ruang kedatangan. Saya langsung meninggalkan ruang kedatangan. Di luar beberapa orang menawarkan jasa transportasi. Tawaran yang memang dibutuhkan itu saya tolak dengan senyuman dengan alasan ada kawan yang menjemput.
Setelah mandi dan sarapan yang disediakan, saya minta ijin kepada teman saya itu untuk jalan-jalan. Daerah yang pertama saya tuju adalah melihat Gunung Gamalama dari dekat. Untuk melihat Gamalama dari dekat, disarankan oleh teman saya dan berdasarkan pencarian dalam google adalah berada di kawasan wisata Danau Tolire. Untuk menuju ke Tolire, kita harus meninggalkan Kota Ternate. Daerah ini berada di luar kota, sekitar 10 km. Jalan menuju ke sana berlika-liku, di kanan kiri kalau tidak rumah penduduk, ladang, kebun, atau pantai. Suasana di sekitar jalan masih terlihat alami. Rumah berdinding kayu dan beratap rumbai masih sering kita jumpai.
Tiba di pinggir danau itu rasa kekaguman begitu mendecak dalam bibir saya. Danau itu berair hijau lumut kebiru-biruan dan sangat indah. Di kanan kirinya ditumbuhi oleh pepohonan, semak belukar, sehingga menampakkan suasana yang masih alami. Keindahan yang menghinggapi diri saya juga dibarengi dengan kengerian sebab antara saya berdiri dan danau itu, terdapat jurang yang dalam. Jurang itu yang memisahkan kita dengan air danau. Air yang memenuhi danau terlihat begitu jauh bila kita lihat dari atas. Bila wisatawan hendak mengambil foto atau yang sekarang terkenal disebut dengan selfie, harus hati-hati sebab bila kita ceroboh, bahaya jatuh mengancam.
Dari tepi Danau Tolire ini pula kita akan menyaksikan gagahnya Gunung Gamalama yang berdiri menjulang. Dari Kota Ternate saja gunung yang masih aktif itu terlihat dengan sangat jelas, apalagi bila dilihat dari pinggir Tolire. Setiap hari gunung yang memiliki tinggi 1.715 meter dan dikepung oleh Hutan Montane dan Ericaceous itu mengeluarkan asap putih. Asap putih yang dihembuskan dari mulut gunung itu menandakan bahwa sewaktu-waktu Gamalama bisa mengeluarkan isinya. Gamalama muntah pertama kali terjadi pada tahun 1538 dan tercatat sudah 60 kali gunung yang asal namanya dari kata Kie Gam Lamo (negeri yang megah) itu membuat bencana.
Dari kejauhan, Gamalama yang menjulang tinggi diselimuti kebiruan, kehjiauan, dan awah putih berpadu menjadi satu dengan warna langit sehingga membentuk Landscape yang seharusnya dijadikan sebagai geopark. Landscape ini menjadi landmark bagi Pulau Ternarte.
Puas menikmati Tolire dan Gamalama, saya kembali ke kota. Tempat yang hendak saya tuju adalah Benteng Tolukko. Tolukko merupakan salah satu benteng yang ada di Ternate. Benteng lain yang pernah berdiri tegak dan kokoh di daerah itu adalah Benteng Kalamata, Kastela, Oranje, Janji, Naka, Takome, Kalafusa. Benteng-benteng yang berdiri itu ada yang dibangun oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda. Banyaknya benteng itu menjadi bukti bahwa Ternate adalah wilayah yang diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa. Mereka memperebutkan Ternate karena daerah itu merupakan penghasil rempah-rempah, sebuah komoditas yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa pada masa lalu.
Saya mengunjungi Tolukko dengan alasan benteng ini tak jauh dari jalan. Alasan lain, benteng benteng berdiri kokoh dan utuh, mungkin sudah dilakukan pemugaran. Benteng yang tegak berdiri di Kelurahan Sangaji, Kecamatan Ternate Utara, itu dibangun oleh Portugis pada tahun 1540. Seperti diungkapkan di atas, benteng ini dibuat untuk kepentingan dagang Portugis, menguasai cengkih, salah satu rempah-rempah. Penguasaan Portugis pada Ternate membuat Belanda tidak rela sehingga negeri Orange itu merebut Tolukko pada tahun 1610.
Sebagai tempat pertahanan militer, Tolukko memiliki tiga bastion, ruang pengintai. Benteng yang dibangun oleh tentara Portugis di bawah pimpinan Panglima Tentara Fransisco Serao itu memiliki bunker (ruang bawah tanah). Benteng itu bisa jadi dibangun dari batu-batuan yang dimuntahkan dari perut Gamalama dicampur dengan batu karang yang banyak ditemui di pantai-pantai Ternate.
Saat mengunjungi Tolukko, saya bertemu dengan seorang petualang yang menggunakan sepeda keliling Ternate. Saya pun mengelilingi benteng itu. Benteng itu berdiri di atas bukit cadas menghadap ke laut. Bongkahan-bongkahan batu besar yang terserak di bukit kecil itu seolah menjadi penyangga benteng. Benteng yang dilindungi oleh undang-undang cagar budaya itu setiap hari dijaga oleh orang yang rumahnya tepat berada di depan benteng itu. Bila hendak berkunjung ke Tolukko, diharapkan meminta ijin lebih dahulu kepada penjaga.
Puas melihat Tolukko, saya melanjutkan perjalanan ke tengah kota, tepatnya menuju Keraton Kesultanan Ternate. Keraton Kesultanan Ternate ini berhadapan dengan alun-alun. Keraton itu bangunannya dicat dengan dominasi warna kuning. Seperti keraton kesultanan yang lain, Keraton Kesultanan Ternate memiliki halaman yang luas di mana di halaman terdapat taman bunga dan kolam. Keraton ini dipisahkan dengan jalan raya oleh sebuah pagar. Ada dua pintu gerbang di keraton itu. Di pintu gerbangnya terdapat simbol Kesultanan Ternate, burung berkepala dua.
Menurut catatan sejarah, Kesultanan Ternate didirikan oleh Sultan I, Baab Mashur Malamo, pada tahun 1257. Kesultanan ini disebut sebagai kesultanan tertua yang bersendikan Islam di nusantara. Dari awal berdiri hingga sampai saat ini, Kesultanan Ternate masih ‘berkuasa’ terbukti setiap periode berganti kepemimpinan. Tercatat sebagai sultan terakhir, yang berkuasa dari tahun 1975 hingga 2015, adalah Haji Mudaffar Syah. Pada masa hidupnya, Haji Mudaffar Syah menjadi anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), sebuah lembaga negara yang setingkat dengan DPR, mewakili Provinsi Maluku Utara. Kesultanan itu menunggu sultan yang baru.
Dalam masa penjajahan, para Sultan Ternate, dari periode ke periode, tak kenal lelah mengusir bangsa-bangsa Eropa yang berbuat curang dan menguasai daerah itu. Dari perjalanan itulah Kesultanan Ternate tercatat dalam tinta emas sejarah Indonesia.
Ternate sebagai kesultanan yang pernah memiliki kekuasaan di Indonesia bagian timur bahkan hingga Filiphina dan Kepulauan Marshall di Lautan Pasifik, memang menjadi incaran bagi bangsa-bangsa Eropa pada masa lalu. Kesultanan itu tak hanya kaya dengan rempah-rempah namun juga mempunyai tempat wisata sejarah dan alam yang indah. Kejayaan Ternate pada masa lalu diabadikan dalam nama Gunung Gamalama (Kie Gam Lamo).Kata ini mempunyai arti, sebuah negeri yang megah, yang mengundang banyak negara, Eropa dan Timur Tengah, untuk berlayar ke Pulau Ternate.
Sumber foto: Dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H