Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Naik dan Turun karena Citra

20 April 2014   09:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:27 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah terlihat hasil Pemilu Legislatif 2014 dari data hasil hitung cepat yang disajikan oleh berbagai lembaga survei. Dengan melihat data itu kita bisa melihat siapa partai yang menang, partai mana suaranya yang naik, partai mana yang suaranya jeblok, dan partai mana yang tak akan lolos parlement threshold.

Dari data survei yang disajikan, terlihat PDIP mengalami kenaikan suara yang sangat signifikans dibanding dengan Pemilu 2009. Pada Pemilu 2009, partai banteng bermoncong putih itu mendapat suara hampir mendekati 17 persen, sedang pada pemilu tahun ini mencapai 20 persen. Partai Gerindra pada Pemilu 2009 hanya meraih suara 4,64 persen namun dalam pemilu tahun ini melompat mencapai 11,80 persen. Demikian pula PKB naik perolehan suaranya hampir mencapai 10 persen dari sekitar 6 persen pada pemilu sebelumnya. Meski Partai Hanura menjadi juru kunci namun partai besutan Wiranto ini tetap mengalami kenaikan sebesar 2 persen, lumayan.

Dalam pemilu tahun ini tak membuat semua partai bahagia sebab ada beberapa partai yang perolehan suaranya tetap bahkan ada yang anjlok. PKS pada Pemilu 2009 meraih suara 10 persen namun pada pemilu tahun ini pada kisaran kurang dari 7 persen. Demikian pula partainya SBY, Partai Demokrat, yang pada tahun 2009 menjadi pemenang dengan raihan suara 20 persen, pada pemilu tahun ini anjlok menjadi setengahnya. Ada lagi partai sebagai pendatang baru namun mampu meroket dan menyalip partai yang sudah mapan sejarahnya, partai itu adalah Nasdem yang bisa mendapat suara hampir 7 persen.

Hidup itu seperti gelombang, ada naik, ada turun, jadi apa yang terjadi pada pemilu itu sebagai suatu hal yang biasa. Jangan dianggap sebagai sebuah kiamat bila suara jeblok. Demikian pula jangan dianggap seperti berada di surga ketika raihan suaranya meloncat. Semuanya menjadi evaluasi ke depan bagaimana untuk meningkatkan dan menjaga suara.

Ada yang menarik dikaji dari perolehan suara pada Pemilu 2009, faktor apa yang menyebabkan suara partai bisa naik dan bisa pula turun? Menurut analisa penulis, yang menyebabkan partai itu suaranya naik atau turun adalah citra (pencitraan). Citra yang bisa membuat suara partai itu naik atau turun adalah citra baik dan atau citra buruk.

Kalau kita lihat, Partai Gerindra jumlah kursinya dalam DPR periode 2009-2014 hanya sekitar 26 kursi. Jumlah kursi partai berlambang kepala burung garuda itu di parlemen nomer dua dari belakang alias partai kecil. Sebagai partai yang kecil, kiprah Gerindra harus kita akui tak banyak alias minim prestasi dalam hal pengawasan, legislasi, dan anggaran. Vokalitas Gerindra di DPR lebih tak terdengar ketika Prabowo melarang anggotanya bersuara lantang mengkritik pemerintah. Entah dengan maksud apa Prabowo melarang anggota fraksinya bersuara keras. Mungkin Prabowo takut masa lalunya dibongkar oleh rival-rivalnya di DPR dengan membentuk komisi orang hilang.

Dengan melihat kinerja Gerindra di DPR sebenarnya partai itu tak berbuat banyak kepada rakyat namun untungnya partai itu tertolong dengan pencitraan dari Prabowo sebagai antitesa SBY, di mana Prabowo dianggap tegas, pro rakyat kecil, dan nasionalisme. Pencitraan itulah yang membuat Gerindra menjadi popular. Bila Gerindra tak memiliki sosok citra yang kuat, partai itu bisa jadi terseok-seok dalam mendulang suara.

PDIP sebagai partai yang mempunyai jumlah kursi yang signifikans di DPR periode 2009-2014 sebenarnya bisa memainkan perannya untuk membangun citra yang baik dan benar namun partai ini malu-malu menyebut dirinya sebagai oposisi bahkan dalam menjalankan tugasnya dalam periode itu, partai berlambang kepala banteng ini hanya sekadarnya saja. Dalam bersikap oposisi PDI tak lebih dari partai-partai lainnya padahal kekuatan yang dimiliki sangat potensial untuk membangun citra yang lebih kuat di mata rakyat.

Untung PDIP memiliki Jokowi yang sering blusukan dan mampu membangun citranya sebagai orang yang dekat dengan masyarakat. Sebagai orang PDIP rupanya mantan Walikota Solo itu mampu sebagai superhero mengangkat perolehan suaranya melejit menjadi nomer satu. Di sini citra Jokowi-lah yang mampu menolong PDIP bukan kinerja dari fraksi PDIP di parlemen.

Bila PDIP dan Gerindra suara yang diraih naik karena citra yang baik, lain dengan Partai Demokrat dan PKS. Kedua partai ini suaranya anjlok karena citra yang buruk. Harus kita akui, selama pemerintahan SBY ada pembangunan infrastruktur dan ada kebijakan yang pro rakyat namun sisi baik ini tidak dibarengi dengan perangai positif wakilnya di DPR. Banyaknya anggota Partai Demokrat yang melakukan tindakan korupsi membuat citra baik pemerintahan SBY terhapus oleh citra negatif sikap koruptif anak buahnya.

Banyaknya anggota DPR dari Partai Demokrat yang ditahan KPK, ditambah sikap SBY yang lembek terhadap Malaysia dan Australia membuat citra negatif lebih dominan di partai berlambang mercy itu daripada citra pembangunan yang dilakukan selama 10 tahun. Citra negatif yang lebih dominan itulah yang mengakibatkan rakyat tak percaya lagi kepadanya.

Pun demikian, awalnya ummat Islam menaruh harapan kepada PKS. Partai ini awalnya mampu mencitrakan diri di masyarakat sebagai partai yang bersih, jujur, dan peduli namun begitu kasus Lutfhi Hasan Ishak dan Fathanah terbongkar, hanguslah citra bersih pada partai itu dan menjadi partai yang penuh noda. Citra yang demikian membuat suara yang diinginkan atau cita-cita menjadi 3 besar tak tercapai.

Citra baik dan buruk bila diambil sebagai sikap dalam menentukan sebuah pilihan sebenarnya sangat merugikan. Pencitraan biasanya menipu. Sikap ini umurnya pendek. Selepas keinginan tercapai citra aslinya terlihat. Pencitraan bisa dibuat-buat seperti sebuah adegan seperti bagaimana festival film di mana bila pemerannya bermain bagus maka ia mendapat Piala Citra. Tak heran bila dalam pemilu dan pilkada ada konsultan citra. Untuk menentukan sebuah pilihan seharusnya berpijak sejauh mana partai itu mampu bekerja bukan dengan ukuran citra. Namun demikianlah realitas masyarakat kita. Masyarakat masih silau dan terjebak pada citra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun