Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan budi jasa. Pepatah yang demikian menggambarkan sebuah hikmah bahwa makhluk hidup yang mempunyai banyak manfaat, banyak nilainya, bagi masyarakat maka kepergiannya akan dikenang sepanjang masa. Dengan apa yang diberikan kepada masyarakat itu maka jejak seseorang bisa ditapak.
Di akhir masa jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan berbagai kebijakan, entah dengan tujuan apa, namun bisa jadi kebijakan itu untuk memberi ‘tetenger’ (tanda) ada sesuatu yang penting di masa pemerintahannya. Dengan tetenger itu maka sejarah dirinya bisa ditapak. Kebijakan yang mungkin bisa menjadi tetenger itu seperti menandatangani Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2014 Tentang Pergantian Istilah China Menjadi Tiongkok; dan pembelian pesawat kepresidenan.
Alasan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan keputusan presiden itu sebab aturan yang membahas istilah China atau Tiongkok yang sebelumnya berlaku, yakni Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No SE-06/Pred. Kab/6/1967, 28 Juni 1967, di mana menggunakan istilah Cina sebagai pengganti istilah Tiongkok, dirasa diskriminatif sehingga surat edaran itu harus dicabut dengan keputusan presiden yang baru itu.
Sedang dalam soal pembelian pesawat kepresidenan dirasa dengan pembelian pesawat seharga Rp847 miliar itu maka pemerintah bisa menghemat anggaran sebesar Rp114,2 miliar per tahun. Sebelum ada pesawat itu, Presiden dan Wakil Presiden dalam melakukan perjalanan di dalam dan keluar negeri melakukan sewa pesawat komersial. Pesawat buatan Boeing itu dengan spesifikasi panjang 39,5 meter, rentang sayap 35,8 meter, tinggi 12,5 meter, dua mesin jet, mampu terbang selama 10 jam nonstop, dan mampu mengangkut 67 orang.
Apa yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono seperti di atas patut dipuji sebab dengan demikian pria berasal dari Pacitan, Jawa Timur, itu mampu menghilangkan stigma yang kurang baik yang selama ini ditimpakan kepada etnis Tiongkok. Demikian pula dalam masalah pembelian pesawat kepresidenan, Susilo Bambang Yudhoyono mampu menyetarakan Indonesia dengan negara-negara lain dalam soal kepemilikan pesawat kepresidenan.
Sayangnya, dalam soal tetenger, kebijakan yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya diberikan kepada salah satu etnis dan presiden yang akan datang dengan fasilitas pesawat kepresidenan namun juga buat dirinya. Tetenger yang buat dirinya itu bisa kita lihat dengan Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2013 tentang pembentukan Paspampres Grup D. Dengan adanya peraturan ini maka dirinya selepas jabatan menjadi Presiden tetap dikawal layaknya pengawalan-pengawalan sebelumnya yang dilakukan oleh pasukan elit dan khusus.
Entah dengan alasan apa peraturan itu dibuat, apakah ancaman yang demikian tingginya bagi para mantan sehingga mereka harus dikawal dengan pasukan khusus. Bukankah para mantan selama ini tak ada masalah yang berarti dalam soal keamanan bagi mereka? Peraturan itu bisa jadi selain untuk memberi tanda bahwa di masa pemerintahannya, Susilo Bambang Yudhoyono memberi perhatian yang lebih kepada para mantan juga untuk kepentingan dirinya. Mungkin Susilo Bambang Yudhoyono berpikir dirinya banyak dibenci orang sehingga harus perlu pengamanan yang ketat selepas dirinya tak lagi menjadi Presiden.
Selain tetenger yang ditujukan untuk kepentingan dirinya dengan pembentukan Paspampres Grup D, juga ada tetenger untuk keluarga besarnya. Hal itu ditunjukkan dalam pemberian Kapal Nasional milik Badan SAR. Dua kapal milik badan itu dinamakan kapal nasional Pacitan dan Purworejo. Pacitan kota kelahirannya, sedang Purworejo kota kelahiran Sarwo Edhi Wibowo yang tak lain adalah ayah Ani Yudhoyono alias menantunya.
Baik-baik saja orang membuat tetenger agar dikenang namun yang paling penting adalah bagaimana tetenger itu bisa dinikmati oleh rakyat banyak dan tak terputus-terputus seperti amal jariah. Kalau soal tetenger yang bisa dinikmati oleh rakyat banyak, kita bisa belajar pada Presiden Soekarno.
Pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, itu banyak membangun fasilitas umum yang menjadi tetenger yang monumental dan nasional. Tetenger yang dibangun oleh Soekarno itu seperti Stadion Gelora Bung Karno, Istora, Masjid Istiqlal, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Bunderan HI, pusat belanja Sarinah, dan lain sebagainya. Kalau kita amati dan lihat tetengger itu sampai saat ini masih bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia. Setiap hari ribuan orang melewati dan menggunakan fasilitas umum itu. Tetenger itu bisa jadi menjadi ‘amal jariah’ bagi Bung Karno karena dimanfaatkan oleh masyarakat tak putus-putus. Lalu bagaimana pesawat kepresidenan, apakah itu bisa dinikmati oleh rakyat banyak? Dan berapa umur pesawat itu?
Tak hanya Soekarno, Presiden Soeharto pun juga banyak membangun tetenger yang keberadaannya bisa dinikmati oleh banyak orang hingga saat ini. Pembangunan sarana irigasi pertanian selama kepemimpinan membuat jejak Soeharto bisa ditapak di sawah-sawah.
Penguasa boleh-boleh saja membuat tetenger-tetenger namun tetenger yang ada seharusnya bisa memberi manfaat yang banyak dan luas kepada masyarakat secara langsung atau tak langsung. Jangan sampai tetenger yang ada hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan, pribadi, segelintir orang, dan fungsinya tak mendesak. Bila tetenger itu ditujukan hanya untuk itu maka tapak dalam jejak tak membuat harum namanya malah dicaci maki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H