Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sertifikasi Halal KPK pada Kabinet Jokowi

28 Oktober 2014   18:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:26 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disebut dalam konstitusi bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Hak yang demikian disebut sebagai hak prerogatif atau hak istimewa presiden. Dengan hak itu, presiden bisa memilih menterinya sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Hak prerogatif sangat terlihat sekali di masa pemerintahan Orde Baru, di mana Presiden Soeharto dalam memilih menteri sesuai dengan kriterianya. Tak ada pihak-pihak lain yang melakukan intervensi terhadap presiden untuk bagaimana ia memilih para pembantunya.

Hak prerogatif bisa tegak di masa Orde Baru, bisa jadi karena sistem politik yang ada mendukungnya. Hak prerogatif bisa tegak bila presiden bersikap tegas. Soeharto bisa tegas selain karena ia militer juga karena sistem politik yang terjadi sangat otoriter, parlemen dikuasai, dan kekuatan oposisi bisa dikendalikan.

Selepas runtuhnya Orde Baru, hak prerogatif presiden masih dijamin dalam konstitusi namun implementasinya sangat lemah. Dalam kekuatan politik, tak ada satupun kekuatan yang dominan. Akhirnya semua kekuasaan dibangun secara koalisi atau bersama. Akibat yang demikian maka kekuasaan dibagi-bagi. Dari sinilah maka presiden di saat menentukan para menterinya, ia harus mendengar dan menerima masukan dari kekuatan penyokongnya sehingga kabinet yang tersusun merupakan kesepakatan bersama. Dengan demikian maka di sini hak prerogatif hanya sebatas tertulis dalam konstitusi.

Akibat yang demikian maka kabinet menteri banyak terdiri dari para pengurus partai, entah itu ketua umum, ketua, sekretaris jenderal partai atau orang yang direkomendasi partai. Kondisi yang demikian ada baiknya namun ada pula boroknya.

Sekarang dalam menyusun kabinet menteri tidak hanya adanya campur tangan partai namun juga ada peran lembaga lain. Lembaga lain di masa pemerintahan Jokowi yang ikut berperan dalam menyusun kabinet menteri itu adalah KPK dan PPATK. Entah apa maksud Jokowi melibatkan kedua lembaga itu, apakah karena ia ingin membentuk kabinet yang bersih atau takut dari gertakan Ketua KPK Abraham Samad yang akan menangkap menteri yang terlibat tindak korupsi.

Sebagai mana diketahui KPK telah memberi rekomendasi kepada Jokowi nama calon menteri yang disinyalir terlibat dalam tindak korupsi. Dengan adanya rekomendasi itu, membuat Jokowi mengubah komposisi kabinet yang telah disusunnya. Calon menteri yang distabilo merah atau kuning dicoret dan diganti dengan yang lain. Bila Jokowi tetap mengangkat mereka, bisa jadi setahun atau dua tahun kemudian, menteri itu akan digaruk oleh KPK.

Masukan yang diinginkan Jokowi dari KPK dan PPATK itu bagus, di satu sisi ada komitmen Jokowi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan mendengar masukan KPK maka kabinet Jokowi akan menjadi kabinet menteri yang bersih sehingga kinerja para pembantu presiden itu tidak diganggu dan diusikusik oleh pemberitaan korupsi yang dilakukan.

Namun di satu sisi, apa yang dilakukan Jokowi itu akan membuat KPK semakin menjadi superbody. Seolah-olah KPK bisa melarang ini, membolehkan itu. Menambah kekuatan superbody KPK bisa membuat lembaga ini menjadi tidak terkontrol dan bisa-bisa KPK akan mempermainkan wewenangnya. Bila para calon menteri itu terindikasi melakukan dugaan korupsi, mengapa tidak ditangkap sekarang saja. Mengapa harus menunggu waktu satu atau dua tahun. Seolah-olah di sini ada semacam proses tawar menawar antara presiden dan KPK.

Kewenangan KPK hingga sampai ikut urusan penyusunan kabinet menteri itu bila dibiasakan, kelak akan menjadi semacam lembaga yang memberi sertifikasi ‘halal.’ Bila presiden mau mengangkat menteri, ia harus menyerahkan nama kepada KPK. Dan oleh KPK nama itu akan diselusuri, bila bersih maka ia akan diberi sertifikasi halal dan bila ada indikasi tersangkut korupsi maka ia dilabeli haram.

Hal demikian bisa membahayakan kredibilitas KPK sendiri, sebab menteri yang sudah mendapat sertifikat halal itu bisa-bisa sedikit demi sedikit akan melakukan tindak korupsi. Mereka tenang melakukan tindakan korupsi sebab sebelumnya sudah dinyatakan bebas dari korupsi alias halal.

Untuk mencegah rusaknya kredibilitas KPK, sebaiknya lembaga yang beralamat di Kuningan, Jakarta, itu tidak usah ikut-ikut urusan menyusun kabinet menteri. Siapa saja yang sudah terindikasi kuat melakukan korupsi, tangkap saja langsung, tidak perlu menunggu waktu besok, minggu depan, bulan depan, dan tahun depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun