Satu persatu menteri di Kabinet Kerja memberi kejutan kepada masyarakat, baik dari cara kerjanya maupun ide dan gagasannya. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, pun juga memberi kejutan kepada masyarakat dengan ide membolehkan pengosongan agama atau kepercayaan di luar agama yang resmi diakui oleh pemerintah.
Ide yang demikian bisa jadi pemerintah melihat dan mengakui adanya agama dan kepercayaan di luar yang resmi hidup di tengah-tengah masyarakat dan komunitas itu jumlanya tidak sedikit sehingga pemerintah harus ikut peduli pada mereka.
Namun apa yang diusulkan oleh Tjahjo itu menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Masyarakat gaduh bisa jadi mereka menangkap apa yang dikatakan Tjahjo itu tidak utuh sehingga masyarakat salah tafsir. Salah tafsir pada masyarakat adalah kolom agama di KTP dihapus secara total padahal tidak demikian, penganut agama resmi masih diwajibkan mengisi status agama yang dipeluk. Meski demikian sebagaian masyarakat tetap yakin apa yang diusulkan itu bila diberi ruang, kelak bisa melebar lebih jauh dengan dihapuskan secara total kolom agama di KTP.
Apa yang diusulkan Tjahjo itu sebenarnya pernah diusulkan oleh Wakil Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dan reaksi masyarakat pun sama, ada yang menolak, ada pula yang mendukung.
Kelompok masyarakat yang ingin kolom agama dihilangkan, dihapus, atau dikosongkan bisa jadi mereka trauma dengan pengalamannya. Dengan status agama yang dipeluk, seseorang bisa terdiskriminasi. Kelompok ini biasanya mendera pada kelompok agama minoritas. Namun perlu diingat, ummat Islam yang tinggal di daerah di mana ia bukan mayoritas, juga pernah mengalami hal yang demikian.
Dari pengalaman ketidakadilan inilah maka mereka yang terdiskriminasi karena agama, ingin kolom agama di KTP dihapuskan agar status mereka tidak diketahui. Dengan tidak diketahui statusnya maka mereka berkeyakinan bisa mendapat keadilan yang sama.
Di Indonesia kalau kita cermati, seseorang didiskriminasi tidak hanya karena faktor agama. Faktor lain seperti suku, alamat, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan yang semuanya itu ada di kolom di KTP, juga bisa membuat orang terdiskriminasi. Ada pengalaman dalam sebuah seminar, seorang dari Indonesia timur mengungkapkan saudaranya tidak bisa diterima menjadi pegawai negeri sipil di sebuah kota di Jawa bagian barat karena ia bukan putra daerah atau bukan etnis setempat.
Apa yang dikatakan oleh orang itu terjadi di banyak tempat. Dengan melihat nama, nama orang biasanya menunjukan sukunya, pihak-pihak tertentu bisa melakukan diskriminasi. Mereka didiskriminasikan sebab bukan bagian dari sukunya. Pihak administrasi kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, bahkan pihak swasta, biasanya dalam melihat identitas orang tidak hanya agama namun juga melihat nama (suku) dan tempat tanggal lahir.
Tidak hanya agama dan suku yang membuat orang terdiskriminasi, jenis pekerjaan juga bisa membuat mereka merasa tidak diadili. Banyak orang yang KTP-nya menunjukan dirinya pekerja kasar, seperti buruh, kuli, tani, tukang becak, membuat ia tidak bisa menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah favorit. Kalau kita lihat sekolah-sekolah favorit, mayoritas orangtua siswa di sekolah itu adalah orang mampu. Sekolah memilih anak orang kaya sebab mereka tak sukar kalau diminta berbagai macam dana dan sumbangan. Sekolah menolak orang miskin, dengan melihat jenis pekerjaan di KTP mereka pekerja kasar dan rendahan, sebab dikhawatirkan mereka tidak bisa memberi sumbangan atau mengikuti ritme sekolah yang membutuhkan banyak dana.
Jenis kelamin pun bisa mendiskriminasi seseorang. Dalam urusan pekerjaan, orang bisa saja mendiskriminasi seorang pelamar karena melihat jenis kelaminnya. Mereka didiskriminasi dengan alasan tidak mampu bekerja, tenaganya lemah, atau masalah sosial budaya.
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa semua kolom di KTP, baik itu agama, suku, jenis kelamin, pekerjaan, dan alamat semuanya bisa membuat orang terdiskriminasi. Bila demikian, seandainya kolom agama dihapus dengan tujuan untuk menghilangkan diskriminasi, itu sebuah pandangan yang terlalu menyalahkan agama sebagai faktor diskriminator. Toh ketika kolom agama dihapuskan di KTP, masyarakat bisa terdiskriminasi dengan ukuran yang lain seperti suku, pekerjaan, jenis kelamin, dan alamatnya.
Bila ada yang membandingkan di Malaysia kolom agama tidak dicantumkan, bisa jadi orang yang membandingkan itu hanya mencari pembenaran untuk menghapuskan kolom agama di KTP. Sebab agama resmi di Malaysia adalah Islam maka identitas yang resmi yang ada, KTP, pastinya terkait dengan Islam.
Jadi yang perlu ditekankan di sini adalah bagaimana kita tidak menyalahkan salah satu unsur SARA sebagai biang dari masalah. Semua pihak, baik pemerintah atau swasta, jangan mengukur seseorang dari apa yang tercantum di KTP. Bila yang ada di kolom KTP dituduh mendiskriminasikan orang, apakah semua kolom itu dihapus? Lalu apa isi KTP kita nanti?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H