Perpecahan di tubuh partai politik atau lembaga negara seperti DPR, merupakan trend yang terjadi selepas Pemilu Presiden 2014 meski hal demikian pernah terjadi di masa-masa sebelumnya, baik semasa pergerakan, di masa Orde Lama, dan Orde Baru. Lihat saja di jaman pergerakan, tahun 1920-an, Sarekat Islam pecah menjadi Sarekat Islam Merah dan Sarekat Islam Putih.
Namun latar belakang perpecahan di masa dulu, prinsipnya berbeda dengan saat ini. Pada masa lalu, perpecahan lebih banyak diakibatkan karena idealisme atau metode perjuangan. Pada masa-masa pergerakan dan perjuangan, perpecahan yang terjadi dikarenakan di satu pihak ada yang ingin metode perjuangan keras dan radikal, tak kenal kompromi; di sisi yang lain ada yang menginginkan cara perjuangan lebih lembut, melakukan dialog, dan kompromi. Meski demikian, semuanya ingin masa depan lebih baik.
Sekarang perpecahan yang terjadi bukan karena faktor idealisme dan metode perjuangan namun lebih banyak dilatarbelakangi oleh perebutan kekuaasan, kursi, dan kedudukan. Lihat saja perpecahan di antara dua kubu di DPR faktornya bukan untuk membuat undang-undang yang membuat bangsa ini lebih baik namun karena rebutan pimpinan DPR beserta komisi dan alat kelengkapan yang lain.
Tak ada perdebatan bagaimana mensejahterakan rakyat, tak ada sikap bagaimana kalau kapal asing ditenggelamkan, dan tak ada yang hirau ketika presiden blusukan padahal tugas-tugas itu bisa dijalankan oleh menterinya, bukankah tugas presiden banyak, tak sampai harus sampai urusan teknis nis. Akibat rebutan kursi membuat pemerintah seperti delman berlari tanpa kusir.
Pun demikian, perpecahan yang terjadi di PPP, faktornya bukan karena masing-masing ingin menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih islami, rahmattan nil‘alamin, namun lebih dikarenakan rebutan posisi ketua umum partai. Dengan merebut posisi ketua umum partai maka yang meraihnya akan melabuhkan partai itu kepada kekuasaan atau tempat yang lain. Perpecahan pada tubuh partai berlambang rumah Allah itu membuat tak ada sikap bagaimana KTP tanpa kolom agama. Padahal ini masalah bagi banyak orang yang nyoblos PPP.
Dinamika Partai Golkar menjelang munas biasanya kencang namun kali ini dinamikanya luar biasa. Dua kubu untuk bisa merebut pucuk pimpinan partai berlambang pohon beringin itu melakukan tindakan anarkhis, kekerasan dan bentrok fisik, akibatnya terjadi deadlock kesepakatan menggelar munas. Dampak dari sikap yang merasa paling benar di antara kedua kubu, membuat beringin menjadi terbelah menjadi dua.
Faktornya, pasti semua tahu dan menjadi rahasia umum bahwa ini masalah kekuasaan. Ada pihak-pihak yang ingin menjauhkan partai yang dibentuk di awal Orde Baru dari kekuasaan namun ada pula yang ingin mendekatkan bahkan melekatkan partai itu dengan kekuasaan.
Politisi saat ini berani melanggar undang-undang, AD/ART organisasi, hingga bentrok fisik untuk meraih jabatan, ketua umum partai, ketua lembaga negara, ketua komisi, dan ketua-ketua alat kelengkapan sebab mereka telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk berkecimpung dalam dunia yang penuh intrik itu. Bayangkan untuk menjadi wakil rakyat, uang yang dikeluarkan minimal Rp1 miliar. Kita ragukan kalau ada anggota DPR yang mengatakan tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk bisa berkantor di Senayan, Jakarta.
Uang Rp1 miliar bagi siapapun bukan uang yang kecil, uang itu sangat tinggi. Nah rata-rata politisi menghabiskan uang untuk menjadi wakil rakyat lebih dari itu. Bahkan ada anak seorang pengusaha yang mengeluarkan uang di atas Rp8 miliar untuk kampanye.
Faktor inilah yang membuat mereka berpikir bagaimana uang itu kembali. Bila mengandalkan gaji bulanan sebagai wakil rakyat, tentu tidak cukup bahkan kurang. Untuk mensiasati itulah maka mereka berusaha mempunyai kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan. Mereka bertekad untuk berkuasa atau mendekati kekuasaan sebab kekuasaan sekursi dengan kekayaan (uang).
Bila mempunyai kekuasaan atau dekat kekuasaan maka mereka bisa mengatur pos-pos anggaran. Dari mengatur hal yang demikianlah mereka bisa mengakali anggaran yang ada, selain masuk ke kantong juga menguntungkan diri dan partainya.
Faktor inilah yang membuat politik kita seperti politik di masa kerajaan-kerajaan nusantara. Demi tahta, antar keluarga, sahabat, dan teman saling membunuh agar bisa duduk di singgasana kursi raja. Bila mempunyai kekuasaan maka harta akan bergelimang. Politik yang demikian sangat sadis, akan ada pihak-pihak yang terbunuh.
Tentu kita tidak mudah menasehati para politisi itu untuk berdamai. Mereka pasti merasa benar dan menjunjung idealisme. Meski ada kesepakatan hitam di atas putih perdamaian, itu bukan jaminan konflik reda. Kesepakatan itu bisa jadi loncatan untuk konflik-konflik selanjutnya. Mungkin ini semua bagian dari transisi politik bangsa Indonesia. Kita baru sekitar 14 tahun berdemokrasi. Usia sebanyak itu kalau diibaratkan umur orang, ia masuk katagori anak baru gede. Tak heran bila polah tingkahnya seperti anak-anak yakni mau menang sendiri dan senang kalau diberi uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H