Sebuah postulat ekonomi mengatakan bahwa bisnis adalah mencari keuntungan/profit. Dengan menggunakan beberapa faktor produksi yang ada seseorang dapat menghasilkan raupan laba. Sehingga seorang pebisnis biasanya akan memanfaatkan Opportunity Cost yang bisa menghasilkan keuntungan. Opportunity Cost dalam pengertian bahwa akan membuang aktivitas yang tidak menghasilkan recehan rupiah tentunya. Pengakumulasian modal dalam sebuah bisnis menjadi sesuatu yang lumrah dengan memanfaatkan Opportunity Cost yang ada. Tapi makna Opportunity Cost akan jadi berbeda jika ia masuk dalam ranah sosial dan budaya masyarakat.
Hal ini terjadi ketika pada suatu hari saya ingin berbelanja salah satu kebutuhan sehari-hari, di tengah teriknya panas sinar matahari saya akan belanja di sebuah kios. Setelah beberapa kali singgah di beberapa kios tak satupun kutemui kios yang terbuka, pikiranku langsung menerka bahwa ini hari dan tanggal berapa, jangan sampai hari ini adalah hari raya dimana biasanya banyak kios/warung yang tutup. Tapi pikiran itu langsung hilang ketika saya yakin bahwa hari ini bukan hari raya. Tiba-tiba seseorang teman memberitahu kalau sekarang waktu istirahat sehingga kebanyakan pemilik warung sedang tidur siang. Saya terkaget mendengar kata teman tadi, masyarakat rela melepaskan sebuah Opportunity dalam meraup pundi-pundi rupiah dan memilih aktivitas lain. Kejadian ini berulang ketika suatu hari tepatnya hari minggu saya ingin membeli suatu barang, saya dengan asyiknya memacu kendaraan saya hingga sampailah di tempat yang menyediakan barang itu. Ternyata toko itu tertutup, pikiran saya flashback pada kejadian pertama jangan sampai ini waktu istirahat (baca: tidur siang), tapi jam masih menunjukkan pukul 09.00 pagi. Nanti setelah sampai di rumah, seorang teman memberitahu bahwa biasanya kalau hari minggu beberapa toko tutup karena itu adalah waktu untuk keluarga. Saya kembali tertegun mendengarnya dan berpikir bagaimana mungkin seseorang melepaskan kesempatan untuk meraup keuntungan secara ekonomis dengan menutup toko sumber penghasilannya. Hal serupa kembali terjadi ketika beberapa hari yang lalu saya menemani seorang teman yang ingin meng-laundry pakaian kotornya, sang penjaga laundry menolak keinginan teman untuk menggunakan jasa laundrynya. Hingga sang teman sempat mengatakan 'barusannya ada yang dak mau uang'.
Fenomena di atas memang terkadang melawan arus dominan dalam bisnis atau aktivitas ekonomi bahwa kita harus memanfaatkan Opportunity Cost yang menguntungkan secara ekonomis. Melepaskan sesuatu hal yang sifatnya dapat mendatangkan profit merupakan keputusan yang diluar kebiasaan dalam mengelola entitas bisnis. Akumulasi modal atau profit yang selama ini menjadi karakteristik sebuah bisnis dengan memanfaatkan Opportunity Cost yang ada menjadi sirna dengan fenomena sosial di atas. Ada satu alasan kuat yang muncul, misal bahwa ada tipologi masyarakat yang tidak ingin mau bersusah-susah dalam menjalankan bisnisnya sehingga tidak terlalu mengejar keuntungan. Tapi satu fakta menarik yang didapatkan bahwa sifat ingin mengakumulasi modal seperti semboyan kapitalisme tidak menjadi orientasi bisnisnya. Mereka membuka usaha/bisnis karena sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari mereka. Sehingga jika dirasakan keuntungan sehari sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka maka mereka tidak akan melepaskan kebutuhan personal/privat seperti istirahat (tidur siang) dan berkumpul dengan keluarga sambil karaoke atau piknik. Dengan kata lain mereka ingin berkata hidup ini tidak selamnya hanya dimonopoli oleh aktivitas akumulasi modal tapi kita butuh yang lain (istirahat/tidur siang, karaoke, berkumpul dengan keluarga, dll) atau "hidup ini perlu dinikmati tidak harus disiksa dengan mengakumulasi keuntungan/laba sebanyak-banyaknya"
Sekedar pengisi waktu di dini hari sembari menunggu si CataLunya beraksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H