Mohon tunggu...
Ardiva Paramita
Ardiva Paramita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah mahasiswi Universitas Airlangga, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Dampak Junk Food pada Kesehatan Remaja di Surabaya

8 Januari 2025   06:47 Diperbarui: 8 Januari 2025   06:47 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surabaya. Sumber ilustrasi: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Saat ini, kita sedang berada di Era Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan konektivitas tinggi antara perangkat, mesin atau sistem online dan manusia. Sehingga manusia saling menukar dan mendapatkan informasi secara cepat melalui Internet Of Things (IoT). Adanya perubahan era ini salah satunya dipengaruhi oleh globalisasi. Globalisasi menurut Srijanti dalam Sajidiman (2014) adalah masuknya atau meluasnya pengaruh dari suatu wilayah/negara ke wilayah/negara lain dan/atau proses masuknya suatu negara dalam pergaulan dunia.

Globalisasi mempengaruhi di berbagai bidang, seperti teknologi, pendidikan, ekonomi, politik dan sosial budaya. Salah satu contoh pengaruh globalisasi di bidang sosial budaya yaitu westernisasi. Menurut Koentjaraningrat (1922), westernisasi merupakan sesuatu hal yang meniru gaya hidup orang barat dan dilakukan secara berlebihan. Westernisasi di Indonesia dibuktikan dengan meningkatnya perilaku konsumtif (hedonisme), menyusutnya penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian, pergaulan bebas, dan meningkatnya produk luar negeri atau makanan cepat saji (junk food).

Junk food merupakan makanan siap saji yang digemari oleh semua kalangan terutama kalangan remaja. Menurut penelitian Alfora, Saori, Fajriah (2023), makanan cepat saji memiliki banyak jenis, mulai dari makanan ringan hingga makanan berat. Semakin populernya makanan cepat saji atau fast food di kalangan remaja, didukung dengan meningkatnya porsi serta energi di dalam makanan cepat saji. Agusni, Nurmalasari, Mandala, Putri (2024) menyatakan bahwa remaja umur 12-16 paling banyak mengkonsumsi junk food. Makanan cepat saji kaya akan lemak, garam, gula dan juga penyedap yaitu MSG.

Berdasarkan penelitian Tanjung, Amira, Muthmainah, Rahma (2022) disebutkan bahwa menurut badan kesehatan dunia (WHO), beberapa golongan makanan yang termasuk dalam kategori junk food yang berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan, yaitu makanan olahan yang telah melewati proses tertentu, seperti pembekuan, pengalengan, makanan yang dibakar dan sebagainya. Makanan yang mengandung bahan pengawet, merupakan makanan yang mengandung bahan-bahan sintetis atau alami yang sehingga dapat disimpan dalam waktu lebih lama tanpa membuat perubahan rasa (tidak cepat basi).

Makanan siap saji jika dikonsumsi berlebihan akan berdampak negatif pada kesehatan para konsumen. Berdasarkan Kemenkes Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (2024), dampak negatif yang akan timbul bila sering mengkonsumsi junk food adalah obesitas (kegemukan), penyakit jantung, kanker, kurang gizi, stroke, mengganggu fokus dan energi, kecanduan junk food, melemahkan sistem kekebalan tubuh, mengalami penurunan akademik, dan diabetes.

Penelitian dari Yuniah, Feriandi, Yulianto (2023) menyajikan bahwa prevalensi masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi makanan cepat saji, yaitu 69% dengan rincian 33% makan siang, 25% makan malam, 9% makanan selingan, dan 2% sarapan. Fakta berdasarkan penelitian Adhi, Ratu, Astuti, Ilmi, Sulistiyani (2023) bahwa kota-kota besar di Indonesia seperti Denpasar, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung, dan Jakarta merupakan tempat dimana jumlah peminat pada makanan cepat saji atau fast food yang paling banyak digemari.

Kota Surabaya merupakan kota kedua terbesar di Indonesia. Kota ini dijuluki dengan kota metropolitan dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat penduduk kota Surabaya pada tahun 2022 mencapai 2.887.223, dan kota ini juga merupakan kota dengan tingkat konsumsi fast food pada saat malam hari sebesar 78,8%, presentase ini lebih besar dibanding kota Makassar dan Denpasar.

Indeks kesehatan kota Surabaya tahun 2023 tercatat 0,86%, angka ini naik sebanyak 0,1% dari tahun 2022. Namun, masih terdapat 5,48% penduduk Surabaya yang menderita obesitas,  selain itu data penelitian Minanton, Oktavia, Rahagia (2022) menyebutkan bahwa berdasarkan Sistem Informas Penyakit Tidak Menular (SIPTM) Dinas Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2021 menunjukkan kasus penyakit jantung di Surabaya tahun 2021 sejumlah 1.000 kasus, dan kanker pada tahun 2020 masih mencapai angka 2.619 kasus. Hal ini menandakan bahwa walaupun tingkat kesehatan di Surabaya sudah meningkat, tetapi masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, salah satunya konsumsi junk food yang berlebihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun